Share

Bab 3 Suami Dadakan

Gadis berlesung pipit itu menahan langkah Arya di depan toko. Ia masih merasa janggal. Mana mungkin ada toko perhiasan yang dengan suka rela memberikan kado pernikahan untuknya, apalagi untuk Arya yang hanya sebagai pelayan rumah makan.

"Maksud apanya, Li?" Arya malah berbalik tanya.

"Mana mungkin ada toko perhiasan memberikan kado dengan nilai seratus juta untuk kamu. Kecuali kamu pewaris toko itu, kamu ini hanya pelayan rumah makan, tak jauh bedanya seperti aku. Katakan, apa yang telah kamu lakukan sebelumnya, Mas?" Liyana melemparkan tatapan nanar penuh tanda tanya. Ia tak akan beranjak dari toko perhiasan sebelum mendapat kejelasan.

"Bagaimana kalau iya?" Arya tampak bergurau.

"Iya apanya? Aku serius, Mas! Please deh jangan main-main." Bola mata Liyana kembali berkaca-kaca. Ia nampak cengeng hari ini.

"Aku sedang dalam masalah besar, Mas. Aku mempertaruhkan kehormatan keluarga. Aku harap, dengan menikah denganmu, masalah ini akan selesai," imbuhnya. Bulir bening Liyana kembali menetes dari sudut matanya.

Pria dewasa berwajah tampan itu segera mengusap pipi Liyana. Segera tangannya melingkari kepala gadis itu, mendekatkannya pada dada bidang miliknya.

"Kamu tenang saja. Aku tak akan membiarkan masalahmu semakin bertambah parah. Perhiasan ini tidak akan menambah masalahmu saat ini," bisik Arya. Ia mengusap punggung Liyana dengan lembut. Berusaha menenangkan gadis yang sangat ia cintai.

"Tapi aku tetap merasa aneh, Mas." Liyana melepaskan dekapan Arya. Menatap pria dewasa di depannya penuh selidik.

Belum sempat Arya membalas ucapan Liyana, terdengar suara tepuk tangan mengejek di samping mereka membuat keduanya membeliak terkejut.

Liyana segera mengeringkan pipinya yang sempat basah oleh air mata, saat melihat Arsenio dengan wanita itu mendekat ke arahnya.

Entah Jakarta memang sudah sempit atau karena hal lain, Liyana merasa sial karena kembali bertemu dengan pria yang kini telah menjadi mantan kekasihnya.

"Wow ini sih keren! Pemandangan yang semakin memperjelas kalau seorang Liyana hanyalah wanita bayaran Om-om yang sudah lapuk," hina Arsenio dengan tatapan yang tajam. Ada yang tengah bergejolak panas di dalam dadanya seperti api yang tengah menyala.

"Jaga ucapan kamu, Arsenio! Kamu tidak pantas bicara seperti itu!" sentak Liyana. Ia tak terima dengan hinaan sang mantan.

"Lalu, ucapan apa yang pantas disematkan? Pelacurkah?" Arsenio kembali dengan hinaannya terhadap Liyana.

Tak terima dengan ucapan pria muda seperti Arsenio, kepalan tangan milik Arya meluncur dengan cepat dan mendarat di pipi kiri Arsenio.

"Heh! Berani kamu pria tua!" Arsenio memberontak tak terima dengan pukulan Arya. Pria yang dianggapnya telah menyewa tubuh Liyana.

Namun, Arsenio tak bisa melawan saat kedua tangannya berhasil dikunci oleh Arya.

"Jaga ucapan kamu anak nakal! Sekali lagi kamu berani menghina calon istri saya, maka bersiaplah menggali lubang kuburanmu sendiri!" ancam Arya. Kobaran amarah nampak jelas pada tatapannya. Ia tak terima saat Liyana dihina dengan kezi.

"Oh wow! Jadi, kalian akan menikah." Arsenio tertawa emosi. Padahal bibirnya nampak merah oleh darah segar akibat pukulan Arya.

"Itu bukan urusan kamu!" sergah Liyana. Sejujurnya ia tak tega melihat wajah Arsenio, tapi luka pada hatinya saat ini kembali terkikis. Ia segera menarik tangan kekar Arya.

"Mas, kita pulang sekarang. Aku mohon," pintanya pada Arya yang masih nampak emosi.

"Tapi, Li—"

"Sudah cukup, Mas. Aku mohon. Kita pulang sekarang," pinta Liyana lirih.

Arya terpaksan melepaskan cengkeraman tangannya pada Arsenio. Ia lebih menuruti permintaan Liyana yang wajahnya kembali sendu.

Dengan mengendarai kendaraan roda dua milik Liyana, Arya akan segera mengantarkan sang calon istri pulang. Tentu saja ia harus segera menghadap sang calon mertua, yaitu orang tua dari Liyana.

Plak!

Kedatangan Liyana disambut dengan tamparan keras mendarat di pipi mulusnya. Kedua orang tuanya sudah berdiri dengan wajah emosi saat Liyana datang bersama Arya di depan rumah.

"Mengapa Mama melakukan ini?" tanya Liyana pada mamanya yang telah melayangkan tamparan panas di pipinya.

"Jadi benar kalau pria itu yang telah merusak rencana pernikahanmu dengan Arsenio?" Jari telunjuk Ida—mamanya Liyana, melurus ke arah wajah Arya.

"Siapa yang mengatakan itu pada, Mama?" Liyana bertanya lagi. Tak dirasanya pipi yang panas bak terbakar api.

"Arsenio, telah mengatakan semuanya pada, Mama dan Papa," jawab Ida. Tatapannya penuh emosi pada Liyana dan Arya.

"Ma, Pa, jangan dengarkan apa pun yang telah dikatakan Arsenio. Pria itu telah menghancurkan hidupku. Dia telah mempermainkan kehormatan keluarga kita," tegas Liyana langsung membela diri.

"Karena semua itu salah kamu, Li! Kamu yang telah berkhianat!" tukas Ida. Bola matanya berkaca-kaca karena kecewa. Bagaimana tidak, pernikahan anaknya sudah di depan mata. Ia pasti akan malu pada semua orang termasuk keluarga besarnya.

"Aku tidak pernah berkhianat dengan siapa pun, Ma! Arsenio, yang telah berkhianat." Liyana kembali meluruhkan air matanya di pipi. Ia kian lemah sehingga tak kuasa membendung kepedihan.

"Apa!" Kedua orang tuanya terkejut.

"Mama dan Papa, harus percaya padaku. Aku sangat mencintai Arsenio, tapi dia telah mempermainkan keluarga ini. Dia telah menghancurkan semuanya," lanjut Liyana seraya memeras air mata sendunya.

"Lalu bagaimana ini, Li?" Bibir Ida nampak bergetar menahan amarah di dalam dadanya.

"Mama, Papa, tenang saja. Pernikahan itu akan tetap terjadi. Aku akan tetap menikah, tapi bukan dengan pria pengkhianat seperti, Arsenio," kata Liyana. Dihapusnya air mata yang sedari tadi tak mau surut.

"Dengan siapa?" Wira—papanya Liyana.

Liyana menoleh pada Arya yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan.

"Mas Arya, dia adalah calon suami yang akan menikah denganku minggu depan." Liyana meraih tangan Arya. Memperlihatkan pilihannya pada sang orang tua.

"Apa! Kamu sudah gila, Liyana! Pria itu lebih pantas jadi bapakmu ketimbang suami," tolak Ida tanpa menunggu lama.

"Tapi aku mencintainya, Ma, Pa." Entah benar apa tidak, Liyana nampak berusaha meyakinkan orang tuanya.

'Aku yakin ucapan kamu tidak nyata, Li,' batin Arya bergumam.

"Aku tak akan membuat Mama dan Papa malu. Acara pernikahan minggu depan akan tetap terjadi," sambung Liyana.

Perdebatan terjadi di depan rumah orang tua Liyana. Mereka tak rela jika putri satu-satunya menikahi pria dewasa seperti Arya. Terlebih saat Liyana berkata kalau Arya hanyalah pelayan di rumah makan tempatnya bekerja.

Namun, orang tua Liyana akhirnya pasrah. Pernikahan memang tetap harus terjadi, mengingat semua persiapan sudah hampir 90%.

Sampai tiba di hari yang ditunggu-tunggu, di gedung pernikahan yang sekelilingnya telah dihias dengan aneka bunga dan pernak-pernik pernikahan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Liyana Zahira binti Wira dengan mas kawin seperangkat perhiasan berlian dibayar kontan."

"Bagaimana saksi sah?"

"Sah!"

Mendengar itu, air mata Liyana kembali luruh di pipi. Entah apa yang terjadi dengan perasaannya saat ini. Ia seperti tak mampu membendung sendu kehancuran hatinya, padahal masih di tengah-tengah suasana sakhral.

'Mengapa aku mengalami mimpi seburuk ini?' batinnya. Ia tak berharap Arya yang mengucapkan ijab kabul itu.

Setelah acara itu pengantin langsung menuju hotel, di ruang kamar pengantin, Liyana nampak resah. Bagaimana tidak, ini adalah malam pertama dengan pria dewasa yang tak ia cintai. Dia belum menyelesaikan masalahnya, melainkan baru saja memulai masalah.

"Apa kamu sudah siap?" Pertanyaan Arya membuat Liyana terkesiap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status