Jejak Sandrina tak kunjung ditemukan. Bahkan ketika Tara mencoba bertanya kepada keluarga Samuel, mereka memilih bungkam, seolah kompak merahasiakan keberadaan Samuel, juga Yasmin.Tara hanya bisa menangis, berharap Sandrina akan kembali. Namun tiba-tiba perutnya terasa mual. Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi.“Mualnya makin parah... Aku juga jadi nggak berselera makan,” gumam Tara pelan.Ia menatap wajahnya yang pucat di depan cermin, lalu ingat dan baru tersadar, sejak kejadian penyekapan itu hingga sekarang, ia belum memastikan apakah ia benar-benar hamil.Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka laci lemari dan mengambil alat tes kehamilan yang sudah lama disimpannya. Ia menarik napas dalam, memberanikan diri untuk mencari kepastian.“Aku harus memastikannya,” bisiknya pelan.Ia mencelupkan alat tes itu ke dalam wadah berisi urin. Saat mengangkatnya, matanya refleks terpejam. Ia tidak langsung berani melihat hasilnya.Beberapa detik yang teras
Tara merogoh ponselnya, lalu menunjukan foto terbaru Sandrina. Meski pemilik panti bersikeras tak ada seorang nenek yang menitipkan bayi, Tara masih terus berusaha, menolak menyerah."Loh, ini Sandrina?" Nafisa tampak terkejut, suaranya lirih namun jelas menyiratkan keterkejutan.Tara dan Dewa kompak mengangguk. Senyum yang sempat hilang itu perlahan kembali merekah di wajah Tara, secercah harapan yang nyaris padam, kembali menyala.Namun tidak dengan Nafisa. Perempuan paruh baya itu mendadak tampak bingung. Matanya gelisah, sesekali melirik ke arah pengasuh panti yang sejak tadi berdiri diam di sampingnya."Bu, Pak... saya mohon maaf," Nafisa membuka suara, nadanya pelan, penuh penyesalan. "Kemarin... saya menyerahkan Sandrina kepada sepasang suami istri yang ingin mengadopsi anak dari panti ini. Maafkan saya... saya telah melanggar isi surat wasiat itu."Wajahnya menunduk, terbebani oleh rasa bersalah."Saya sebenarnya sempat menolak, mencoba mencegah agar Sandrina tidak diadopsi...
Dewa dan Tara sudah hampir putus asa mencari keberadaan Sandrina, hingga detik ini tidak ada kabar sama sekali dari pihak polisi.Tapi tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk. Dewa segera beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamar, terlihatlah Adit berdiri di luar, napasnya sedikit memburu."Tuan, ada kabar terbaru soal Sandrina," ujar Adit dengan wajah penuh antusias, matanya berbinar membawa harapan yang hampir padam.Tara mendengar suara Adit dari dalam. Seketika ia bangkit, jantungnya berdegup kencang, dan bergegas menghampiri."Kabar terbaru apa, Adit? Coba katakan," desak Tara, suaranya nyaris bergetar karena tak sabar."CCTV waktu kejadian sudah bisa diakses. Ternyata file-nya tidak dihapus… hanya disembunyikan," jelas Adit, sambil buru-buru membuka layar ponselnya dan menunjukkannya."Saya sudah menyalinnya ke dalam ponsel," sambungnya cepat, seraya memperlihatkan layar ponselnya.Dewa dan Tara tercengang saat menyaksikan rekaman CCTV malam itu, malam saat Sandrin
"Kita harus cari Sandrina ke mana, Kak? Aku takut terjadi sesuatu sama dia..."Tara tak henti-hentinya memikirkan Sandrina. Kekhawatirannya semakin hari semakin menjadi. Setiap malam, ia hanya bisa memeluk erat baju Sandrina, mencium aromanya, berharap rindu itu sedikit mereda."Aku dan Adit sudah buat laporan ke polisi, tapi sampai sekarang belum ada kabar apa-apa," ujar Dewa dengan nada berat."Kalau aku nggak disekap waktu itu, pasti Sandrina masih ada di sampingku sekarang..." Tara mengusap sudut matanya yang mulai basah, menahan air mata yang hendak jatuh.Dewa memandangi wajah Tara cukup lama. Ia bisa melihat jelas betapa dalam kasih sayang Tara pada Sandrina, tidak dibuat-buat, begitu tulus.Liora memang sudah berlaku sekejam itu, tapi Tara, dengan hati yang luas, masih mau menerima dan merawat anak dari perempuan yang sudah menyakitinya."Aku yakin kamu pasti akan dipertemukan lagi sama Sandrina. Dia beruntung bisa merasakan kasih sayang sedalam itu dari kamu, meskipun ibunya
"Dewa... Oma sudah mengusirnya, kenapa kamu ajak dia kembali masuk?"Tatapan Oma Widya menajam, manik matanya menyorot tajam ke arah Tara. Raut wajahnya yang dulu penuh kehangatan kini berubah dingin, keras, tanpa sisa kasih. Bagi Oma, Tara tak lebih dari bayangan kelam yang tak diinginkan lagi kehadirannya."Tara masih istriku, Oma," jawab Dewa, suaranya mantap, tegas tak tergoyahkan."Istri macam apa? Yang mesra-mesraan dengan lelaki lain dan malah minta cerai? Kamu lupa surat yang dikirim Tara itu?" suara Oma meninggi, nadanya tajam penuh luka yang belum sembuh."Tara dipaksa, Oma. Dia disekap, dipukuli, dan dipaksa menikah," sanggah Dewa, suaranya mulai bergetar, menahan amarah dan perih di dada."Dan kamu percaya begitu saja? Dewa... buka pikiran kamu!" bentak Oma, napasnya memburu, nyaris tercekat oleh kecewa."Aku percaya sama Tara, Oma. Dan akan selalu percaya, apapun yang terjadi," ujar Dewa, sebelum akhirnya menggenggam pergelangan tangan Tara, menariknya masuk ke dalam ruma
"Pak, ini rumah suami saya. Mari turun sebentar, saya ingin mengenalkan Bapak dengan suami saya," ucap Tara sambil tersenyum hangat kepada Arman, yang telah dengan sukarela mengantarnya pulang ke rumah Dewa.Setelah serangkaian kejadian yang begitu mengguncang hidupnya, Tara merasa lega bisa kembali menginjakkan kaki di rumah Dewa. Hatinya dipenuhi rasa syukur, sekaligus kerinduan yang tak tertahankan. Ia begitu ingin segera bertemu dengan Dewa."Rumahnya besar sekali… suami kamu pasti orang kaya dan terpandang, ya?" Arman menatap bangunan megah di hadapannya dengan kagum."Waktu pertama kali saya datang pun, saya terkejut. Nggak menyangka kalau suami saya ternyata anak pemilik perusahaan terbesar di kota Tamada," ujar Tara, mengenang saat awal pernikahannya dengan Dewa."Kamu beruntung sekali," kata Arman, tulus.Mereka pun melangkah menuju pintu gerbang. Saat tiba di sana, penjaga rumah Dewa tampak terkejut bukan main melihat Tara kembali. Matanya membesar, ekspresi wajahnya berubah