Udara pagi itu masih menggantung lembap ketika aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan kecil di rumah mereka. Cahaya matahari menembus jendela, menyorot meja kayu yang rapi dengan piring-piring porselen putih dan serbet bergaris biru.
Di antara bunyi sendok beradu pelan dengan cangkir, suara Galih memecah keheningan.
“Sayang, sepertinya aku harus ke kantor lebih awal,” katanya sambil meraih jas hitam dari sandaran kursi. “Tolong antar Jagoan ke sekolah, ya.”
Naila mengangkat wajahnya dari piring, senyum tipis menggantung di bibirnya. “Tidak apa-apa, kamu berangkat saja.”
“Terima kasih.”
Galih menatapnya sejenak, seolah ingin menghafal wajah itu sebelum hari benar-benar dimulai. Ia lalu berbalik menuju pintu, namun langkahnya berhenti ketika terdengar suara langkah kecil tergesa di belakangnya.
“Galih!”
Ia menoleh. Naila datang mendekat, napasnya sedikit memburu, tan
“Aku nggak ada urusan lain, jadi sekalian aja datang duluan,” jawab Mahardika sambil mengangkat bahu dengan santai. Gerakannya ringan, seolah kedatangannya ke kafe itu memang hal paling wajar di dunia.Matanya menatap Naila yang duduk di seberangnya, di balik meja kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar di tepiannya. “Jadi… kamu mau bicara soal apa?”Naila menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya seolah berusaha mengeluarkan semua beban yang menumpuk di dadanya.Suara riuh di sekeliling mereka—pelayan yang berlalu-lalang, denting sendok dari meja sebelah, lagu lembut yang mengalun dari speaker—semuanya terasa jauh.“Aku sudah mikir lagi tentang apa yang kamu bilang waktu itu,” katanya akhirnya, pelan namun tegas. Ia menatap Mahardika, mencoba mencari sesuatu di matanya.“Kamu benar. Bagaimanap
Udara pagi itu masih menggantung lembap ketika aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan kecil di rumah mereka. Cahaya matahari menembus jendela, menyorot meja kayu yang rapi dengan piring-piring porselen putih dan serbet bergaris biru.Di antara bunyi sendok beradu pelan dengan cangkir, suara Galih memecah keheningan.“Sayang, sepertinya aku harus ke kantor lebih awal,” katanya sambil meraih jas hitam dari sandaran kursi. “Tolong antar Jagoan ke sekolah, ya.”Naila mengangkat wajahnya dari piring, senyum tipis menggantung di bibirnya. “Tidak apa-apa, kamu berangkat saja.”“Terima kasih.”Galih menatapnya sejenak, seolah ingin menghafal wajah itu sebelum hari benar-benar dimulai. Ia lalu berbalik menuju pintu, namun langkahnya berhenti ketika terdengar suara langkah kecil tergesa di belakangnya.“Galih!”Ia menoleh. Naila datang mendekat, napasnya sedikit memburu, tan
Galih melirik jam tangannya, jarum panjang baru saja melewati angka empat. Suara detiknya terdengar jelas di antara hening yang menekan. Rapat berikutnya menunggu, dan pikirannya masih berkelindan pada percakapan barusan yang menggantung.“Aku masih ada rapat sebentar lagi. Kamu pulang dulu, ya,” ujarnya pelan.Naila menatapnya sekilas. Tatapan itu tenang di permukaan, tapi ada semburat kecewa yang menari di ujung matanya. Ia mengangguk, tanpa satu pun kata keluar dari bibirnya. Kursi bergeser, bunyinya lirih menembus keheningan ruang kerja yang beraroma kayu manis dan kopi yang mulai dingin.Langkahnya ringan, tapi langkah itu juga membawa jarak. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan gema kecil yang terasa terlalu lama bagi Galih.Beberapa menit setelahnya, suara napasnya terdengar berat. Ia merogoh saku jas, mengambil ponsel, dan tanpa pikir panjang menekan nama yang sejak tadi menghantui pikirannya: Mahardika.Nada s
Langit sore di Jakarta tampak berwarna abu-abu keemasan, seperti menahan hujan yang enggan turun.Dari cara Mahardika berbicara, dari postur tegaknya yang rapi tanpa cela, Naila tahu: anak itu bukan berasal dari kehidupan yang keras. Gerak-geriknya halus, kata-katanya terukur, dan sepatu kulitnya terlalu bersih untuk seseorang yang mengaku datang hanya “menyampaikan pesan”.“Dia hidup dengan baik,” ujar Mahardika akhirnya, setelah jeda canggung yang cukup lama. Suaranya tenang, tapi ada keraguan yang nyaris terdengar di ujung kalimatnya. Ia menunduk sedikit, menghindari tatapan Naila yang tajam dan sulit ditebak.“Hidup dengan baik, tapi tak pernah sekalipun datang mencariku.” Nada dingin itu menusuk, mengiris ruang di antara mereka yang sejak awal memang sudah penuh jarak.“Padahal cuma butuh dua jam penerbangan dari Malaysia ke Jakarta. Katanya rindu... tapi nggak pernah berbuat apa-apa untuk membuktikanny
Usai makan malam, aroma sisa tumisan bawang putih dan mentega masih samar menempel di udara ruang tamu. Gavin duduk bersila di atas karpet, tubuh mungilnya sedikit membungkuk di atas meja rendah, menggoreskan pensil di buku tugas matematika.Cahaya lampu gantung menyorot rambutnya yang berantakan, membuat bayangan kecil bergoyang di dinding. Suara gesekan pensilnya sesekali pecah di tengah keheningan, ritmis, seperti napas rumah yang tenang.Sementara itu, Naila duduk di sofa abu-abu di sisi ruangan. Matanya kosong, menatap ke arah lilin aromaterapi yang padam setengah, seolah sedang mencari sesuatu di balik nyala yang telah hilang. Di pangkuannya, jari-jarinya meremas ujung cardigan, tanda kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Pintu depan berderit pelan ketika Galih masuk. Ia mengganti sepatunya dengan sandal rumah, menyapa keheningan dengan langkah yang tertahan.Jas kerjanya masih menempel, tetapi wajahnya melunak ketika pandangannya menangkap dua s
Menjelang pukul tiga sore, hawa di ruang kerja Galih mulai terasa pengap. Pendingin ruangan yang sejak pagi berdengung seolah kehilangan daya, sementara sinar matahari menembus celah tirai, menebar cahaya keemasan di permukaan meja kayunya yang penuh tumpukan berkas.Ia meneguk kopi yang sudah dingin, menatap layar laptop dengan mata letih.Telepon di sudut meja bergetar. Galih menghela napas, lalu meraih ponsel itu dan menekan nama yang sudah sangat akrab baginya.“Naila,” panggilnya pelan.Suara di seberang terdengar lembut, seperti angin sore yang melintas di sela dedaunan.“Iya, Galih?”“Naila, kamu dan Jagoan nggak usah tunggu aku makan malam, ya. Aku pulang agak malam,” ucapnya sambil memijit pelipis, berusaha terdengar ringan.Senyum tipis terbentuk di bibir Naila meski Galih tak bisa melihatnya. “Kalau begitu, biar Lydia bungkuskan makanan. Aku sama Jagoan antar ke kantor.”