MasukHujan baru saja berhenti ketika pesawat yang membawa Naila mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Aroma aspal basah bercampur dengan udara lembap Jakarta menyambut langkahnya yang ragu.
Di antara gemuruh roda koper dan suara pengumuman bandara, ada sesuatu di dalam dirinya yang diam-diam patah. Ia sudah memutuskan, sejak menjejak tanah air, bahwa ia tidak lagi memiliki seorang ibu.
Bagi Naila, kunjungan ke Emma tidak sekadar perjalanan fisik, tapi sebuah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri. Semua luka, semua perjuangan yang ia lalui di Malaysia, akan terasa sia-sia jika ia kembali mengulurkan tangan pada perempuan itu.
Jadi, ia memilih menjauh. Menutup pintu rapat-rapat, bahkan untuk sekadar memikirkan kemungkinan memaafkan.
“Kalau suatu hari aku menyesal, ya sudah,” gumamnya pelan di dalam mobil, tatapannya kosong menembus kaca jendela yang masih berembun. “Itu urusan aku nanti.”
Galih yang duduk di sebelahnya hanya melirik
Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s
Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na
Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i
Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum
Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h
Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta







