공유

Chapture 4

SRATTT… BRAKKK

Zuzu terpeleset dan jatuh ke tanah, semua kue dagangannya ikut jatuh berantakan dan habis terkena lumpur basah.

“Aduh,” lenguhnya kesakitan di bagian punggung.

“Ya Allah cucuku jatuh,” kata seorang nenek yang melihat Zuzu jatuh dan menghampirinya untuk membantu memunguti dagangan Zuzu yang sudah tidak bisa lagi dijual.

“Hati-hati Cu,” kata nenek itu mengiba.

“Iya Nek, Tidak apa-apa,” katanya menahan rasa ngilu di punggung.

“Dimana rumahnya emang Cu?” tanya Nenek.

“Di desa seberang Nek,”

“Ya Allah Cu, hati-hati ya,”

“Iya Nek, terimakasih ya Nek,” ucap Zuzu pada sang nenek yang baik hati sudah menolongnya.

Zuzu pun pulang dengan membawa pulang beberapa kue yang sudah kotor itu .

Setibanya ia di rumah, Zuzu menyerahkan kue kotor itu kepada bu Ariah.

“Bu, tadi aku jatuh terpeleset dijalanan, terus kue nya jatuh berantakan dan pada kotor,” katanya pada bu Ariah.

“Terus kamunya gapapa?” tanya bu Ariah khawatir.

“Gak apa-apa Bu,” jawab Zuzu menyembunyikan punggungnya yang masih nyeri.

“Yaudah istirahat dulu, Ibu mau bikin kue buat jualan siang,” kata bu Ariah langsung membawa nampan kue itu ke dapur.

“Bu, Zuzu mau nonton TV dulu ya Bu di rumah Sri,”

“Iya,” sahut bu Ariah.

Zuzu pun dengan semangat berangkat ke rumah Sri Bersama adik-adiknya untuk menonton film Mahabarata yang sedang trend di zaman itu.

Ia Bersama anak-anak lain yang juga menumpang nonton film seri itu sangat menikmati tontonan mereka, wajah-wajah yang serius, terkadang mereka tertawa Bersama saat adegan lucu dalam film tersebut.

Akhirnya adzan dzuhur pun berkumandang. Bu Ariah sudah memanggil Zuzu untuk keliling menjual kue.

“Zuzu. Pulang, cepetan sudah dzuhur,”

“Iya Bu, sebentar lagi,” sahutnya.

“Cepetan nanti kesorean kelilingnya,” kilah bu Ariah.

Dalam hatinya, ia masih ingin sekali nonton film bersama teman-temannya.

‘Ya Allah, kapan aku bisa nonton film sepuasnya seperti anak-anak yang lain’ batinnya merintih.

Untuk membantah ibunya pun ia tidak bisa, karena sekali ia membantah perintah itu seperti yang pernah ia lakukan, tubuhnya akan terkena hujaman, cubitan dan yang paling ia takuti adalah Ketika bambu sudah menghantam tubuhnya sampai bambu itu hancur, bahkan meski ia berpura-pura pingsan sekalipun, bu Ariah tidak akan berhenti memukulnya.

"Buuu... Udah Buuu... Sakittt," keluh Zuzu.

"Mau ngapain emang dirumah terus? Maunya maen doang kaya gitu?" amuk bu Ariah

Zuzu hanya terisak menahan sakit bekas cubitan bu Ariah.

Ia cepat beranjak kejadian itu terlintas kembali dalam fikirannya.

"Ini saja Bu yang dijual?" Katanya berpura-pura bertanya.

"Iya itu saja,"

Zuzu sangat takut sekali jika ibunya sudah marah, lebih baik ia menuruti saja perintah ibunya meski dengan berat hati ia melakukannya.

'apakah aku ini anak pungut sampai diperakukan seperti ini pada ibu? Padahal aku sangat peduli dengan keluargaku dan rela menjadi tulang punggung bagi mereka. Aku sangat Ikhlas melakukan semua itu demi mencukupi kebutuhan keluargaku, aku Ikhlas jika uang tabunganku diminta ibu untuk membeli beras. Aku Ikhlas dengan semua itu. Tapi, kenapa tidak ada belas kasih untukku sedikitpun? Aku hanya ingin seperti anak-anak yang lain, bermain dengan riang serta menonton serial Mahabarata bersama-sama di rumah Sri, itu saja'. Tangis ZuU pecah saat ia mulai mengelilingi dagangan yang ia susun di kepala.

***

Kini, Zuzu sudah beranjak menjadi gadis remaja yang mempesona. Kulitnya putih, body yang indah, rambut kemerahan hasil keturunan dari bu Ariah. Itulah mengapa orang-orang kampung menyebutnya sebagai kembang desa.

“Teh Ariah, besok malam ada layar tancap di kampung Duren, hajatannya Pak Lurah,” kata teman bu Ariah yang kebetulan lewat depan rumah.

“Emang iya? Yaudah besok mau jualan disana lah,” sahut bu Ariah.

“Iya Teh, guede banget lagi layarnya sudah dipasang tuh, pasti rame,” katanya antusias.

“Yaudah, Zu, siap-siap kita belanja bahan-bahannya,” ajak bu Ariah.

“Iya Bu,” kata Zuzu menurut.

Selesai belanja, sorenya, bu Ariah mengeksekusi apa saja barang-barang yang diperlukan untuk berjualan nanti.

“Mirah, Zuzu, ayo kita angkutin barangnya dari sekarang di tempat hiburan,” Zuzu dan Mirah pun segera mengikuti ibunya membawa perlengkapan dagang.

ZuU membawa kuali besar dan beberapa baskom, Mirah membawa kompor, sedangkan bu Ariah membawa peralatan tenda seadanya.

Malam pun tiba, hanya Zuzu dan bu Ariah yang menjaga dagangan, dan  Mirah bertugas menjaga adik-adik di rumah.

Kue-kue mereka sudah berjejer di meja, kue cucur dan jalabia yang terlihat nikmat sudah siap diserbu para penonton yang mulai berdatangan.

"Bi beli jalabianya Bi," 

"Neng kue cucurnya tiga Neng," 

Para pembeli berdatangan mengelilingi dagangan mereka, sampai kami kewalahan untuk menggoreng lagi dan lagi kue cucur dan jalabianya.

Kue mereka memang sudah terkenal sangat lezat di berbagai kampung, tidak heran jika mereka selalu bersemangat jika ada hiburan seperti ini, karena jualan mereka akan mendapat serbuan oleh para penggemar kue dan segera habis hanya dalam dua jam.

"Tunggu Roma!" 

"Apa kamu sengaja berselingkuh di hadapanku karena kamu sudah tidak mencintaiku lagi Ani!" 

"Tidak Roma!" 

"Atau kau sengaja membuatku patah hati dan meninggalkanmu?" 

"Cukup Roma!"

Suara film layar tancap terdengar seru hingga penonton terbawa oleh adegan film yang terkenal pada zaman 90an itu.

Di Tengah kerepotan Zuzu, seorang pria diam-diam telah memperhatikannya, ia berdiri di dekat tenda tempat Zuzu berjualan. Ia taksir umurnya mungkin sekitar 20 tahunan, tubuhnya gagah, kulitnya sawo matang dan terlihat sangat macho memakai jaket hijau dan celana loreng.

Zuzu sama sekali tidak menghiraukannya, mungkin saja dia hanya menginginkan kue yang Zuzu jual, tapi tidak punya uang. Namun anehnya, netranya tak lepas dari memandangi Zuzu, bukan dagangannya.

“Alhamdulillah sudah habis jualannya Bu,” kata Zuzu pada bu Ariah.

“Iya alhamdulillah. Yu kita rapi-rapikan barangnya, habis itu pulang, kita hitung uangnya,” kebahagiaan terpancar di wajah bu Ariah.

“Ayo Bu,” kata Zuzu bersemangat.

Hanya dalam waktu dua jam, dagangan mereka sudah habis tak bersisa, cuaca malam itu memang sangat bagus, tidak ada hujan, sehingga mereka bisa pulang dengan keuntungan yang lumayan.

Jika cuacanya hujan mendadak, Zuzu masih harus menjual sisa-sisanya esok subuh seperti yang sudah pernah ia lalui. Seperti itulah suka duka mereka menjadi buruh dagang di tempat hiburan.

Waktu telah berlalu, di suatu pagi, seperti biasa Zuzu berkeliling berjualan di kampung sebelah. Pagi ini terasa Terik sekali, Zuzu memilih untuk beristirahat sebentar di bawah pohon. Ia taruh dagangannya di atas rumput tempatnya duduk. Menyandarkan diri di badan pohon sambil memandangi awan yang terbentuk dengan indah nan bersih.

“Zu,” sapa seseorang dari belakang.

Zuzu terperanjat mendengar suara pria tersebut. Ia takut jika dia akan melakukan jahatnya.

Namun, tak ia sangka, pria itu ikut duduk di samping Zuzu dan melirik dagangannua yang masih tersisa setengah. Pria itu, ternyata pria yang curi-curi pandang padanya saat hiburan layar tancap minggu lalu.

“Cape yah?” katanya memandang Zuzu dengan teduh.

“Sudah biasa,” Zuzu menjawab cuek.

“Kalau ada yang bantuin kamu, kamu mau tidak?” kata pria itu.

“Aku bisa sendiri ko, lagian Cuma sedikit jualnya,” kata Zuzu masih cuek.

“Kamu kenapa sih ko mau berjualan keliling seperti ini? Jarang sekali anak muda yang mau seperti ini,”

“Yah, mau bagaimana lagi, keluargaku mungkin tidak seperti keluarga mereka. Aku harus mengurungkan rasa maluku demi mencukupi keluargaku,” kata Zuzu jujur.

“Masyaallah,” kagum pria itu.

“Kamu ingat tidak minggu kemarin di layar tancap? Aku ngeliatin kamu, tapi kamu malah jutek,” katanya membuat Zuzu tersipu.

“Mulai dari situ aku sudah mengagumimu. Dengan mendengar kejujuran kamu yang berjuang untuk keluargamu, aku semakin kagum sama kamu,” ungkapnya.

“Terus Kang Jalal mau apa? Saya bukan dari keluarga yang berada kaya Kang Jalal,”

“Aku serius sama kamu Zubaidah. Aku ingin menikahi kamu,”

Zuzu tertegun. Baru kali ini seseorang telah berani mengungkapkan hal itu kepadanya, bahkan ia tidak pernah memikirkan soal itu.

“Maaf Kang Jalal, aku tidak bisa,”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa Kang,”

“Katakan saja Zu, aku ingin kepastian darimu,”

“Umurku baru 14 tahun Kang, ada yang ingin aku capai dalam masaku ini,”

“Apa?” tanyanya lagi.

“Kang Jalal tidak perlu tahu,”

“Aku akan membantumu untuk mencapai impianmu Zu,”

Zuzu menoleh pada pria yang juga sedang memandanginya. Sedetik dunia berhenti berputar untuk menyadari titik keseriusan pria di hadapannya.

“Apa Kang Jalal serius?”

“Iya Zu, aku serius. Apa keinginanmu saat ini?”

“Aku ingin pergi ke pesantren, seperti teman-temanku. Aku ingin merasakan bagaimana hidup bersama-sama dan belajar ilmu agama disana,”

“Aku bisa memenuhi keinginanmu Zu. Aku akan bicara pada Bapak untuk bisa memberangkatkanmu ke pesantren,” kata Kang Jalal meyakinkan.

“Tidak usah Kang. Itu malah membuatku tidak enak pada Kang Jalal dan keluarga,” tolaknya.

“Tenang saja Zu, tapi kamu janji ya mau menikah sama aku? Aku akan setia menunggumu disini sampai kamu selesai dari pesanten,” pinta Jalal.

“Insyaallah Kang,” jawab Zuzu. “kalau begitu, Aku lanjut keliling dulu ya Kang?” pamit Zuzu.

“Iya silahkan Zu, hati-hati,”

***

Malam-malamnya kini ia habiskan untuk merenung, di usianya yang masih menginjak 14 tahun,  sudah bisa menyadari banyak hal tentang hidup. Rasanya ia sudah Lelah dengan dunia yang ia habiskan untuk berjualan keliling, ia ingin merasakan hidup baru seperti teman-temannya yang sudah meninggalkannya untuk mengarungi kehidupan di pesantren. Ia ingin sekali pergi bersama mereka.

TOK TOK TOK

“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari balik pintu rumah.

“Wa’alaikumussalam,” jawab keluarga Zuzu dari dalam rumah.

Betapa terkejutnya saat pak Aman membukakan pintu.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status