Share

Chapture 3

“Ibu tidak punya uang untuk memberi kamu uang jajan,” kata bu Ariah. Air matanya mulai tergenang di pelapuk.

“Sekolah MI aja ya? Semoga ada rezekinya nanti buat Zuzu sama Teteh jajan,” rayu bu Ariah sambil meyakinkan Zuzu. Ia hanya mengangguk menuruti perkataan ibunya.

Waktu bergulir, pagi-pagi Zuzu hanya berdiam di rumah menunggu waktu sekolah madrasah. Ia melihat ibunya sudah berkecimpung di dapur sejak subuh tadi. Tidak biasanya bu Ariah memasak lama seperti itu.

‘apa kita akan makan enak hari ini?’ batin Zuzu bergembira.

Seperti biasa, untuk menunggu jam sekolah siang nanti, ia pergi bermain dulu Bersama teman-temannya, bermain layangan.

Adzan dzuhur telah berkumandang. Zuzu pun bergegas pulang dan bersiap untuk ke sekolah.

“Zuzu, ini Ibu bikin gorengan, nanti jualin ke temen-temen ya? Satunya lima perak,” kata bu Ariah memberikannya keresek yang berisi gorengan yang dialasi baskom tak terlalu besar.

“Iya Bu. Nanti uangnya boleh buat jajan tidak Bu?”

“Iya boleh. Jangan dijajanin banyak-banyak ya?” pesan bu Ariah.

Zuzu pun berangkat dengan hati riang. Akhirnya ia bisa menikmati jajanan yang enak di sekolah.

Waktu istirahat telah tiba. Kini saatnya Zuzu beraksi.

“Siapa yang mau gorengan? Aku jualan gorengan, satu nya lima perak,” katanya mempromosikan dagangannya.

“Mau Zu mau,”

“Aku mau dua Zu,”

“Aku juga mau Zu,”

Suasana di dalam kelas jadi ramai mengelilingi dagangan Zuzu. Betapa bahagia dagangannya diserbu abis oleh teman-temannya.

Setelah selesai menjual semua gorengan. Zuzu pun keluar kelas untuk melihat-lihat tukang jajanan yang masih mangkal di halaman. Dengan beberapa lembar uang ribuan yang ia pegang, rasanya ia ingin sekali membeli semua jajanan-jajanan itu. Tapi,

“Jangan dijajanin banyak-banyak ya?” kata-kata bu Ariah terngiang-ngiang di kepalanya.

Akhirnya Zuzu melangkahkan kakinya menuju tukang es serut warna warni yang belum pernah ia coba sekalipun itu.

Belum selesai tukang es itu membuatkan untuknya, mata Zuzu sudah berbinar melihat serutan es yang di siram oleh sirup warna warni di atasnya.

“Ini Neng,” kata si penjual.

“Terimakasih Bang,” katanya sambil memberikan uang seratus perak pada penjual.

Tak perlu tunggu lama, ia langsung sigap menyendok es tersebut sambil berjalan, hingga remahan es itu berjatuhan karena terlalu bersemangat ingin mencobanya. Nikmat sekali saat rasa dingin dan manis sirup yang berpadu menjadi satu menyentuh lidahnya.

"Enaaak," ucapnya untuk pertamakali merasakan jajan.

Darisanalah di setiap ia mendapatkan keuntungan, ibunya akan selalu berinisiatif untuk membuat dagangan menjadi bervariasi. Menambah macam-macam es dan gorengan.

***

Waktu berjalan begitu cepat. Keuntungan dari hasil berjualan di sekolah pun tak kunjung mencukupi biaya sekolah Zuzu, hingga akhirnya untuk yang kedua kalinya ia harus meninggalkan sekolah yang sudah menginjak kelas empat MI itu.

Entah bagaimana perasaannya saat itu, sepertinya ia sudah mati rasa merasakan pahitnya berhenti sekolah.

Beberapa hari setelah Zuzu berhenti sekolah, Trisna terlihat berjalan pulang, memakai pakaian rapi dan membawa buku tulis yang digulung serta pensil di tangannya, kali ini ia terlihat lesu dan bersedih.

“Kenapa Tris?” tanya Zuzu padanya.

“Tadi aku sekolah Teh, gantiin Teteh,” katanya. “Pas sudah sampai kelas, aku ditanya sama Bu Guru. Kamu siapa? Terus aku jawab, aku adiknya Teh Zuzu, mau gantiin Teh Zuzu sekolah. Terus kata Bu Guru, tidak boleh begitu, harus daftar dulu kalo mau sekolah. Akhirnya aku pulang lagi Teh karena tidak boleh ikut belajar di kelas,” beber Trisna.

Dia menangis tersedu-sedu menceritakan yang baru saja ia alami.

Zuzu pun ikut menangis mendengar penjelasan Trisna, dia adalah adik yang sangat ambisius, sejak usianya baru empat tahun, ia sudah ingin sekali sekolah bersama kakak-kakaknya.

"Sabar ya Tris. Kapan-kapan kita sekolah bareng lagi," kata Zuzu menyemangati adiknya.

Matahari sudah berwarna jingga, Zuzu hanya berdiam diri di rumah menunggu adzan maghrib berkumandang dan menunggu abahnya pulang dari pekerjaannya. Hal yang paling ia dan saudara-saudaranya tunggu setelah puas bermain adalah menunggu abah mereka. Karena setiap kali pak Aman pulang, ia pasti akan membawa buah tangan untuk anak-anaknya, meski hanya beberapa belalang untuk mereka makan.

Beberapa menit kemudian, akhirnya yang ditunggu pun telah sampai.

“Bah, apa itu Bah?” tanya Didin melihat abahnya membawa karung yang tidak diketahu apa isinya.

“Jambu air,” jawab pak Aman. Teringat sekarang sudah memasuki musim jambu air. Beberapa tetangga yang memiliki pohon jambu air, menginginkan hasil panennya dijualkan oleh siapapun yang ingin menjualkannya.

Pak Aman mengeluarkan semua jambu air di dalam karung dan mulai memilih jambu air tersebut untuk dijual.

"Jangan tercampur ya. Sebelah sini jambu yang bagus-bagus untuk dijual," kata bu Ariah. Sambil mengemasnya dalam keresek. Sedangkan anak-anaknya asyik menyantap beberapa buah yang sudah pak Aman pilihkan untuk mereka makan.

Manis dan mengkal sekali jambu-jambu itu, sungguh menggoda ditambah dengan warnanya yang merah mengkilap.

"Zu. Ni kelilingin jambunya," kata bu Ariah.

"Iya Bu," angguknya.

Matahari sudah berada di atas ubun-ubun, sudah pukul satu siang, Zuzu mulai berkeliling membawa sebaskom jambu air yang sudah dibungkusi tadi. Berjalan menyusuri jalan setapak dari rumah ke rumah untuk menawarkan jambu air yang ia jual.

"Bi jambu Bi," tawar Zuzu pada ibu-ibu yang berada di bale.

"Jambu apa itu Neng?" 

"Jambu air Bi," 

"Coba sini dilihat," 

Ia pun mendekati mereka. 

'alhamdulillah laku dua plastik' syukurnya dalam hati.

Seperti itulah kehidupan Zuzu setelah putus sekolah. Jika ada tetangga yang memanen kacang Panjang, ia ikut menjuali kacang Panjang, jika ada yang memanen cabai, ia ikut menjuali cabai. Semua ia lakukan demi abah dan ibu juga saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil.

***

 Sedikit demi sedikit, Zuzu bisa mengumpulkan uang untuk ibunya, dan bisa untuk menambahkan modal untuk ibunya berjualan aneka kue. Setiap malam, bu Ariah dan  Mirah  akan bergelut di dapur untuk membuat kue-kue yang akan Zuzu jual di pagi hari. 

Adzan subuh berkumandang. Matanya masih terasa berat untuk bangun. Belum lagi gemericik hujan yang menjadi senandung dalam tidurnya.

”Zu, bangun. Sudah jam lima pagi, cepetan kue-kuenya sudah siap ini,” kata bu Ariah.

Dengan berat hati dan mata yang masih ngantuk luar biasa, Zuzu memaksakan diri untuk bangun dan keliling menjual kue-kue itu dari kampung ke kampung.

'bagaimana aku berkeliling? Cuaca sangat dingin dan jalananpun banjir' gumamnya dalam hati.

Jalanan sangat banjir akibat diguyur hujan semalaman, ia harus menyincing celana untuk terhindar dari genangan air meski itu akan sia-sia, banjir akan tetap membasahi pakaiannya.

"Kue... Kue..." Tawar Zuzu dari rumah ke rumah.

"Sepi banget, ke desa seberang aja lah," katanya berbicara sendiri.

Sekarang, saatnya ia akan menyebrangi jembatan untuk sampai ke desa seberang. Jembatan bambu yang hampir tidak terlihat karena derasnya arus Sungai, tetap harus ia seberangi tanpa ragu dan tanpa takut, ia mengeratkan pegangannya pada kue-kue yang ia susun di kepala, sedang tangan kirinya mulai memegang pegangan jembatan, ia langkahkan kakinya pada bambu tua itu.

KREOT… KREOT

Bunyi jembatan tersebut saat menerima beban tubuh Zuzu bersama kue-kuenya. Dengan sangat hati-hati dan percaya diri melewati arus sungai di atas jembatan reot itu, akhirnya ia selamat dan sampai ke desa seberang, ia pun mulai mendatangi rumah-rumah untuk menawarkan dagangannya. Jalanan tampak licin, ia masih membawa dagangan itu  di atas kepala. Hingga akhirnya

SRATTT… BRAKKK

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status