Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Tes… Tes… Tes… “Deeeek! Hujan Deeek!” seru Zuzu pada adik-adiknya sambil mengadahkan telapak tangan menampung air hujan. Bibirnya merekah tersenyum, matanya menatap langit hitam yang sudah menurunkan bala tentaranya. Adik-adik Zuzu pun berlari menuju depan rumah gubuk mereka yang hampir roboh itu. Meski rumah mereka akan segera bocor dengan air hujan, tapi Zuzu dan adik-adiknya sangat gembira saat hujan datang. “Ambil panci dan baskomnya Dek,” perintah ZuU pada adik bungsunya yang bernama Didin. “Ini Teh,” kata Didin memberikan apa yang diperintah Zuzu tadi. “Kali ini tidak ada petir Teh. Apa kita boleh hujan-hujanan?” tanya si bungsu dengan mata yang penuh harap. “Bilang ibu dulu, boleh atau tidak,” kata Zuzu sambil berharap juga. “Buuu… Buuu…” Didin gegas berlari memanggil ibu. “Boleh hujan-hujanan tidak Bu? Tidak ada petir ko,” terdengar Didin bermanja merayu ibu yang sedang menadahi atap-atap rumah mereka dengan ember. “Dih jangan, sebentar lagi maghrib,” kata ibu mereka.
“Abah… Abah bawa apa Bah?” sambut Didin melihat abah pulang membawa plastik hitam di tangannya.“Abah bawa beras. Nih kasih Ibu biar langsung dimasak,” kata abah memberikan sekantung plastik beras pada adik bungsu Zuzu.“Abah bawa beras teh,” kata Didin dengan bahagianya mengumumkan.Zuzu pun tersenyum bahagia melihat yang dibawa oleh Didin. Sedangkan Mirah langsung bergegas mengikuti Didin hendak memasak nasi membantu ibunya di dapur.Adik kedua Zuzu bernama Amah tiba-tiba terbangun dari tidurnya, langsung terduduk di sebelah Zuzu.“Lah ko bangun Mah?” tanya Zuzu pada Amah.“Tidak bisa tidur lagi Teh. Mau nunggu nasi mateng aja,” katanya sambil merapikan rambutnya yang semrawut.Seperti itulah keadaan keluarga mereka, mereka tidak pernah bersedih jika tidak ada dan berbahagia pada hal yang datang tak biasa.Beberapa menit kemudian, nasi yang ditanak Mirah sudah mengeluarkan harum khas nasi kukus dan siap untuk dipindahkan ke wadah untuk segera disantap bersama.“Hmmm wangiiiii…” ujar
“Ibu tidak punya uang untuk memberi kamu uang jajan,” kata bu Ariah. Air matanya mulai tergenang di pelapuk.“Sekolah MI aja ya? Semoga ada rezekinya nanti buat Zuzu sama Teteh jajan,” rayu bu Ariah sambil meyakinkan Zuzu. Ia hanya mengangguk menuruti perkataan ibunya.Waktu bergulir, pagi-pagi Zuzu hanya berdiam di rumah menunggu waktu sekolah madrasah. Ia melihat ibunya sudah berkecimpung di dapur sejak subuh tadi. Tidak biasanya bu Ariah memasak lama seperti itu.‘apa kita akan makan enak hari ini?’ batin Zuzu bergembira.Seperti biasa, untuk menunggu jam sekolah siang nanti, ia pergi bermain dulu Bersama teman-temannya, bermain layangan.Adzan dzuhur telah berkumandang. Zuzu pun bergegas pulang dan bersiap untuk ke sekolah.“Zuzu, ini Ibu bikin gorengan, nanti jualin ke temen-temen ya? Satunya lima perak,” kata bu Ariah memberikannya keresek yang berisi gorengan yang dialasi baskom tak terlalu besar.“Iya Bu. Nanti uangnya boleh buat jajan tidak Bu?”“Iya boleh. Jangan dijajanin b
SRATTT… BRAKKKZuzu terpeleset dan jatuh ke tanah, semua kue dagangannya ikut jatuh berantakan dan habis terkena lumpur basah.“Aduh,” lenguhnya kesakitan di bagian punggung.“Ya Allah cucuku jatuh,” kata seorang nenek yang melihat Zuzu jatuh dan menghampirinya untuk membantu memunguti dagangan Zuzu yang sudah tidak bisa lagi dijual.“Hati-hati Cu,” kata nenek itu mengiba.“Iya Nek, Tidak apa-apa,” katanya menahan rasa ngilu di punggung.“Dimana rumahnya emang Cu?” tanya Nenek.“Di desa seberang Nek,”“Ya Allah Cu, hati-hati ya,”“Iya Nek, terimakasih ya Nek,” ucap Zuzu pada sang nenek yang baik hati sudah menolongnya.Zuzu pun pulang dengan membawa pulang beberapa kue yang sudah kotor itu .Setibanya ia di rumah, Zuzu menyerahkan kue kotor itu kepada bu Ariah.“Bu, tadi aku jatuh terpeleset dijalanan, terus kue nya jatuh berantakan dan pada kotor,” katanya pada bu Ariah.“Terus kamunya gapapa?” tanya bu Ariah khawatir.“Gak apa-apa Bu,” jawab Zuzu menyembunyikan punggungnya yang masi
Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya. Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai."Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman."Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang b
‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan