Share

Hak Seorang Suami

Keringat membasahi kemeja yang Amisha pakai. Dari apartemen Anggara hingga kampus dia harus berjalan kaki. Padahal jaraknya lumayan jauh. Amisha sampai terlambat masuk jam kuliah pertama.

Wanita itu kini tengah duduk di taman kampus sendirian. Matanya terpejam dengan menyelonjorkan kakinya. Napasnya masih terdengar tidak beraturan. Dia tengah merasakan lelahnya berjalan jauh.

"Hai, Sha! Tumben gak masuk?" Lastri menghampiri sahabatnya. Dia menatap Amisha dengan tatapan heran.

"Kamu habis ngapain, Sha? Keringetan gini?" Lastri mengeluarkan tisu dari dalam tas dan memberikannya pada Amisha.

"Aku habis nyari kerjaan, Las," jawab Amisha.

"Lah, kok, kerja? Emang Kak Dito gak ngasih uang? Suami ka–?" Amisha membekap mulut Lastri. Matanya celingukan takut ada yang mendengar obrolan mereka.

"Jangan sebut kata suami di sini, Las. Aku takut Salman denger." Amisha bicara dengan berbisik.

"Maaf," ucap Lastri tidak enak.

"Kamu tahu sendiri semua fasilitas dari Kak Dito sudah kukembalikan dan masalah pria itu, dia tidak mungkin mau memberiku uang. Kulkas saja dipakai tulisan supaya aku gak menggunakan apa pun yang ada di dalam kulkas." Lastri merasa iba dengan nasib sahabatnya. Semua berubah drastis. Amisha yang biasanya hidup bak putri di istana, kini berubah menjadi Upik Abu.

"Dapat gak kerjaannya?" tanya Lastri. Amisha menggelengkan kepalanya dengan lemas.

"Tidak jauh dari sini ada yang lagi nyari pegawai untuk laundry. Kerjaannya enteng, cuma ngirim barang yang sudah dicuci saja. Motor sudah termasuk fasilitas yang diberikan. Kalau kamu tertarik, nanti aku antar ke sana." Tanpa menunggu lama, Amisha langsung menjawab mau. Dia bersedia bekerja di sana.

Lastri akan mengantar Amisha selesai kuliah. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kampus mereka. Cukup dengan berjalan sepuluh menit saja, mereka sudah sampai.

"Memangnya kamu gak capek kuliah sambil kerja?" tanya pemilik laundry.

"Tidak, Bu. Saya bisa atur waktunya," jawab Amisha dengan semangat.

Pemilik laundry menerima Amisha sebagai karyawan. Dia akan bekerja pagi-pagi untuk mengantarkan pakaian bersih ke konsumen. Setelah selesai, dia baru akan kuliah. Beruntung pemilik laundry mau mempekerjakan dirinya sebagai pekerja paruh waktu.

"Makasih, ya, Las. Berkat kamu, aku dapat kerjaan." Amisha merasa beruntung memiliki sahabat seperti Lastri yang selalu peduli padanya. Persahabatan mereka tidak diragukan lagi. Saling mengenal sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

"Jangan segan jika kamu butuh bantuan. Sebisa mungkin aku akan bantu kamu." Amisha memeluk Lastri.

Keluarga Lastri memang tidak sekaya keluarga Amisha, tetapi jika berurusan membantu orang apalagi dia adalah Amisha, Lastri akan berdiri di garda terdepan.

Setelah urusan mereka selesai, Amisha dan Lastri langsung pulang. Mereka berpisah di pertigaan jalan. Jalan yang mereka tempuh berbeda. Sebelum pulang, Amisha membeli makanan untuknya. Dia juga membeli beberapa makanan ringan sebagai pengganjal perutnya di malam hari. Dia sudah menyakinkan dirinya untuk tidak makan makanan yang ada di apartemen Anggara.

"Tumben sudah pulang? Sudah tobat, ya?" sindir Anggara.

Di mata Anggara, apa pun yang Amisha lakukan selalu salah. Wanita itu mengabaikan perkataannya. Dia berlalu begitu saja.

"Wah, kayaknya dapat mangsa besar. Banyak bener belanjaannya." Kembali Anggara mencibir Amisha.

"Bisa diam tidak?" Amisha membungkam mulut Anggara dengan bentakan. Dia tidak menyangka kalau wanita itu bisa marah padanya.

"Lebih baik kamu urus saja pekerjaanmu dari pada mengurus urusanku!" Amisha mendorong dada Anggara hingga kaki pria itu mundur beberapa langkah.

"Waw, menarik juga. Dia cantik kalau sedang marah." Anggara tersenyum. Untuk pertama kalinya dia memuji kecantikan seorang wanita.

Di kamarnya yang sangat kecil, Amisha duduk termenung. Hinaan Anggara sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dia tidak masalah dipanggil seperti itu jika memang Amisha seorang wanita hina. Dia marah karena memang tuduhan Anggara tidak sesuai faktanya.

Rasa kesal membuat dia lupa akan perutnya yang lapar. Dia memilih untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.

Dari ruang televisi, Anggara memperhatikan gerak-gerik Amisha. Tubuh kecilnya terlihat seringan kapas. Bergerak dengan leluasa.

"Bodinya memang tidak seindah Raisya, tapi dia jauh lebih menarik," puji Anggara. Pikiran liarnya mulai beraksi.

Anggara membayangkan bagaimana jika dia menghabiskan malam bersama Amisha. Bibirnya tersungging senyum penuh kelicikan. Dia tidak mau membuat kehadiran wanita itu di apartemennya sia-sia, apalagi status Amisha adalah istri sah.

Mengingat Amisha yang berstatus sebagai istrinya, Anggara merasa berhak atas wanita itu. Dia akan meminta haknya sebagai seorang suami. Mau tidak mau, Amisha harus memberikannya.

Selesai membersihkan tubuhnya, Amisha menikmati makanan yang tadi dibelinya. Dia mengabaikan makanan yang sudah dingin. Yang penting baginya makanan itu bisa meredakan rasa laparnya.

Tanpa Amisha ketahui, Anggara melihat ritual makannya. Entah apa yang membuat Anggara tersenyum saat melihat Amisha yang terlihat begitu menikmati makanannya.

Amisha tersedak. Dia lupa belum membawa air minum. Anggara masuk dan membawakan wanita itu air minum. Amisha menolaknya, tetapi Anggara memaksa dan menyodorkan gelas hingga menempel di mulutnya. Dengan terpaksa dia meminumnya.

"Lain kali kalau mau makan, bawa air sekalian. Jadi kamu gak harus merepotkan orang lain." Amisha merasa geli dengan apa yang Anggara ucapkan. Dia sama sekali tidak meminta pria itu membawakan air minum. Anggara sendiri yang berinisiatif.

"Oh gitu. Emang kapan aku minta kamu bawain air?" Amisha mengangkat alisnya untuk meledek Anggara. Dia tersenyum sinis.

Anggara merasa gemas dengan sikap Amisha, apalagi melihat bibir wanita itu yang ranum dengan warna bibir merah muda. Pikiran liarnya mulai bekerja. Dia sampai membayangkan bagaimana rasanya jika dia mencium wanita itu.

"Jaga otakmu! Jangan biarkan kepalamu membayangkan hal-hal yang jorok." Apa yang Amisha katakan sama dengan yang pria itu pikirkan.

"Jangan mimpi! Aku tidak sudi menyentuh Wanita Jalang seperti kamu!" Apa yang Anggara katakan tidak sama dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dia kini malah tengah memikirkan bagaimana caranya supaya bisa menikmati malam bersama Amisha.

"Bibir bisa berbohong, tapi tatapan mata tidak. Jangan harap kamu bisa menyentuhku walau seujung rambut." Amisha bicara sambil mendorong Anggara keluar.

Dia bisa menebak isi kepala pria itu. Amisha merasa perlu hati-hati, apalagi mengingat ruangan yang dipakainya untuk tidur tidak memiliki pintu. Sesuatu bisa saja terjadi padanya di saat dia tertidur.

"Percaya diri sekali kamu. Perlu kamu tahu, seleraku bukan wanita seperti …." Anggara meledek bentuk tubuh Amisha. Dia menatap wanita itu dari atas sampai bawah tanpa minat.

Amisha meninggalkan Anggara yang masih berdiri mematung di ambang pintu. Dia kembali menikmati makanan yang sempat tertunda karena tersedak. Jika bukan karena perutnya yang masih lapar, dia enggan menghabiskan makanan itu.

Anggara berlalu. Dia masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Pikiran kotornya mulai beraksi. Dia membayangkan Amisha berada di atas kasur bersamanya. Menikmati malam dengan beradu peluh dan rintihan.

Anggara merutuki dirinya. Tidak biasanya dia membayangkan hal seperti itu. Jika dia menginginkan hal itu, Anggara tidak harus membayangkannya. Dia tinggal memanggil Raisya, dengan senang hati wanita itu selalu datang padanya.

"Maafkan aku, Raisya. Kamu tidak membuatku tertarik lagi," gumam Anggara.

"Haruskah aku menghampirinya dan …." Senyum tipis penuh muslihat itu mampir di wajahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status