LOGINBeberapa bulan penuh dengan hati-haro yang lelah, kini terbayarkan. Aku berdiri menikmati pemandangan Jakarta siang ini melalui jendela kaca sambil sesekali menghirup kopi hitamku yang masih hangat. Sejak Kakek menginformasikan keinginan Paman untuk rehat, aku mulai menyusun cara agar aku tak perlu bolak balik Jakarta dan Surabaya. Dan untung saja, Fatih memang mendukung keinginanku. Dan kini, di sinilah aku berada. Di ruanganku sendiri. Bukan lagi sebagai sekretaris Fatih tapi sebagai pemimpin Wiratmaja Group. Memang bukan hal yang mudah karena harus ada beberapa perubahan yang harus aku urus tapi selama ada Pramudya sebagai pengacara keluarga, semua bisa aku lalui dengan mudah. Semua perijinan diselesaikan Pramudya dengan cepat. Dari perubahan domisili perusahaan, pembaruan akta juga pemindahan dokumen, aset dan perijinan operasional. Sedikit rumit dan melelahkan, tapi sangat menyenangkan dan memuaskan. Apalagi, Fatih menginginkan Wiratmaja Group berada satu gedung dengan Al Fa
Setelah ashar, kami kembali memenuhi ruang tengah. Beberapa waktu tak bertemu Kakek, membuat kami rindu. Lebih-lebih ingin sekali mendengar cerita Tante Arini yang kini telah bermukim di Surabaya. "Kamu harus siap-siap Safira. Kemungkinan Pamanmu akan mundur dari Wiratmaja. Itu artinya iamu harus maju untuk memimpin perusahaanmu sendiri!" Aku yang duduk di sebelah Kakek hanya bisa menatap Kakek dengan bingung. Maju untuk pegang Wiratmaja? Apakah itu artinya, aku harus di sana? Sementara Fatih di sini? Aku melirik Fatih yang juga sedang melirikku. Hanya saja dia mengangguk samar. Tak ingin membahasnya sekarang. "Dari mana Kakek tahu?" Tanyaku ingin kejelasan. Kakek menyesap teh hangatnya perlahan lalu kembali menatapku lembut. "Mereka sudah membicarakannya. Pamanmu juga Tantemu. Ya, mungkin saja mereka ingin menjalani rumah tangga dengan cara mereka. Jauh dari hingar bingar kota!" Aku mengangguk. Sepertinya aku harus mulai membicarakannya dengan Fatih, secepatnya. Baru saja ak
Beberapa minggu ini, kami sibuk dengan urusan masing,masing. Seperti Bayu, yang sesekali harus ijin karena urusan perceraiannya. Kupikir kedatangan Diana malam itu, akan mengubah keputusan Bayu tapi ternyata, sidang tetap berjalan. Dan Diana tak pernah lagi datang ke rumah sejak hari itu. Sedang Fatih. mulai fokus dengan pekerjaannya, menangani proyek-proyek Al Fath yang mulai berjalan bersamaan. Kadang, aku harus menemaninya dalam momen-momen tertentu. Meski kadang, aku juga harus sibuk dengan urusan Wiratmaja Group. Untungnya, Isna dan Bram kembali bergabung setelah satu minggu libur dengan pernikahannya di kampung Majalengka. "Anak-anak gimana, Ma?" Fatih bertanya setelah sekian kali. Maklum, kami meninggalkan mereka sejak pagi karena meeting mendadak tentang tindak lanjut proyek rusunawa di luar Jawa. "Aman. Barusan Isna kasih kabar. Dipta juga udah pulang sekolah. Katanya sih, lagi main sama Buyutnya!" jawabku menjelaskan sambil menyiapkan berkas selanjutnya. "Syukurlah. Ka
Beberapa hari berlalu. kupikir semua akan bak-bsik saja seperti biasa. Bayu mungkin terluka tapi bisa saja dia mengambil langkah lain yang aku dan Fatih tak tahu. Toh, itu memang area kekuasaan Bayu. Aku dan Fatih tak bisa ikut terlalu jauh, meskipun apa yang Diana lakukan melibatkan aku dan Fatih. Aku sedang di ruang tengah bersama Fatih dan anak-anak yang ditemani oleh Isna. Dipta seperti biasa, selalu fokus dengan menggambarnya sementara Raina, kini suka sekali mengamati kakaknya sambil sesekali menggumam. Sesekali, aku dan Fatih terlibat pembicaraan dengan Isna. Menanyakan tentang kesiapannya menikah dengan Bram dalam waktu dekat ini. Hingga Ketukan pintu terdengar. Fatih berdiri lebih dulu saat aku menatapnya dengan heran. Beberapa saat kemudian, Fatih kembali masuk dengan Pramudya. Laki-laki itu masih rapi dengan kemeja kerja dan jas yang digantung di lengan. "Hai, anak-anak” Sapa Pramudya saat melihat anak-anak. "Ada apa nih, tumben datang dengan tas kerja?" Fatih
Malam ini lebih tenang. Begitu sunyi sampai bunyi ketukan jariku di permukaan cangkir terdengar jelas. "Anak-anak sudah tidur?" tanya Bayu memecah keheningan. "Sudah. Di kamar sama Isna!" jawab Fatih pendek. Bayu menunduk sesaat lalu kembali menatao kami bergantian. suaranya pecah saat mulai bicara. “Maaf… Safira. Fatih!" Bayu menghela nafas sejenak. “Aku… bener-bener nggak nyangka kalau Diana… sampai segitunya. Aku pikir… dia perempuan baik. Lembut. Pandai ngomong. Perhatian… ya ampun, aku bodoh banget.” Aku menggeleng pelan, meraih tisu lalu menyodorkannya ke Bayu. “Kamu nggak bodoh, Bayu… kamu cuma… jatuh cinta sama orang yang salah.” Ia tertawa hambar, mengambil tisu itu dan mengusap matanya. “Tambah sakit dengernya.” Fatih menyandarkan punggungnya, lalu menarik napas panjang. “Aku juga nggak nyangka. Aku kaget banget dia masih nyimpen semua itu. Padahal aku cuma nolong dia waktu itu… itu pun karena dia kelihatan benar-benar putus asa.” Bayu mengangkat wajah. “Fatih, aku n
Ruangan yang tadinya hanya dipenuhi aroma tumisan bawang mendadak berubah menjadi ruang vakum. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya detak jantung yang memukul-mukul gendang kuping. Diana berdiri di hadapanku—wajahnya memerah, napasnya memburu, matanya berkaca-kaca bukan karena sedih… tapi karena marah, kecewa, dan… cinta yang salah tempat. “Aku bilang… aku cinta sama Fatih!” ujarnya lagi, lebih keras, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak sedang terganggu atau salah ucap. “Dari dulu! Sejak pertama kerja bareng! Sejak sebelum kamu, Safira! Dan kamu… dengan mudahnya dapat dia—seolah aku nggak ada!” Aku terpaku. Kata-kata itu seperti tamparan dingin di wajahku. Bayu, yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, terlihat seperti baru saja ditikam. Matanya membesar, napasnya serak ketika mencoba bicara. “Diana… kamu—kamu ngomong apa barusan?” Diana menoleh cepat ke arah suaminya, seperti baru sadar bahwa Bayu juga ada di sana. Namun bukannya menyesal atau meralat, ia justru te







