Beranda / Romansa / Terpaksa Menikahi Sopir Bapak / 5. Desas Desus bikin Ilfill

Share

5. Desas Desus bikin Ilfill

Penulis: Banyu Biru
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 23:23:26

Setelah subuh bersama, aku berencana untuk tidur lagi seperti biasa, sayangnya Fatih justru menarik selimutku dan mengajakku untuk jalan-jalan.

"Habis sholat jangan tidur lagi!"

"Ya ampun. Aku ngantuk Fatih. Rese banget sih. Udah sana sama Bapak. Biasanya juga sama Bapak jogingnya. Sana sana!" Tanganku mengibas udara.

"Gak bisa. Mulai hari ini jogingnya sama kamu. Ayo buruan!" Fatih kembali menarik tanganku.

"Gak mau!"

"Oke. Kalau gak mau joging pagi ini berarti kita ....!"

"Kita apa! Jangan aneh-aneh ya. Kita cuma pasangan di atas kertas!" Tanganku menunjuk Fatih dengan panik. Tentu saja semua ini tanpa sepengetahuan bapak.

"Kalau gak mau joging, kita ngaji bareng. Maksud kamu?" Fatih menatapku dengan heran. Perlahan telunjukku menurun lalu menggaruk tengkukku yang tak terasa gatal.

"Buruan ganti! Aku tunggu di depan!" Fatih geleng-geleng kepala melihatku yang masih mematung.

Dengan malas, aku segera mengganti piyama juga kerudungku lalu menyusul Fatih yang sedang melakukan pemanasan.

"Eh, tumben anak Ibu keluar kamar jam segini! Ibu gak lagi mimpi kan, Pak?" Ibu menepuk pipinya lalu menatap bapak yang sedang mencuci motorku. Kedua orang tuaku hanya saling pandang sesaat. Maklum, diusiaku yang hampir menginjak usia dua puluh tujuh, gak pernah sekalipun aku keluar kamar kurang dari jam enam pagi. Itupun aku hanya makan lalu segera tancap gas ke sekolah untuk mengajar.

"Udah deh, Bu. Gak usah drama. Ntar aku masuk lagi nih!" Aku menatap Fatih dengan dongkol. Laki-laki itu hanya tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Pak, Bu. Saya sama Safira mau joging dulu!" Fatih segera menarikku keluar halaman. Bapak dan Ibu hanya mengangguk lalu melambaikan tangannya.

"Tuh, masih gelap kan. Enakan tidur!" Aku masih saja sewot saat melihat sekitarku yang masih lengang.

"Udara jam segini bisa memberi efek tenang dan menyegarkan pikiran. Jadi bisa bikin kamu gak gampang emosi. Secara spiritual, waktu pagi adalah waktu yang penuh keberkahan. Jadi sayang kalau dilewatkan cuma dengan tidur!" Dih, teori dari mana itu! Mau tak mau aku berjalan mengikuti Fatih yang mulai lari-lari kecil sambil menggerakkan kedua tangannya.

"Gerak dong. Diem aja kayak orang mikir hutang!"

"FATIH!" Aku berlari mengejar Fatih karena tangannya yang usil menyentil dahiku, meskipun pelan.

Tak beberapa lama, kami berhenti sambil mengatur nafas.

"Fatih, capek. Duduk dulu!" Aku segera duduk di bangku yang tersedia di pinggir jalan, Fatih kemudian menyusul dan duduk di sebelahku. Tak berapa lama, lewat beberapa ibu-ibu yang sepertinya akan senam pagi.

"Ngerti gak kalau anak Pak Lurah nikahnya malah sama sopir?"

"Oh, itu. Si Safira?"

"Udah bagus sama Damar. Meskipun masih tenaga kontrak tapi kan pegawai kelurahan. Ini malah milih sopirnya!"

"Jangan-jangan sudah affair sama sopir bapaknya. Kan mereka serumah!"

"Gak nyangka ya, Safira kayak gitu anaknya. Untung anakku gak mau deketin dia!"

Mataku membulat menatap mereka yang berjalan menjauh. Suasana yang masih temaram, tak membuat ibu-ibu itu mengenaliku yang sedang duduk bersama Fatih.

Tunggu!

Anaknya gak mau deketin aku? Anaknya kali yang minder sama ASN kayak aku!

"Safira siapa yang mereka bicarakan?" Tanpa merasa bersalah, Fatih justru bertanya padaku dengan muka tanpa dosa.

"Safira siapa lagi yang anaknya Pak Lurah? Safira mana lagi yang nikahnya sama sopir? Pake nanya lagi?" Jawabku.

"Oh!"

"Udah? Cuma oh aja gitu? Gak marah dikata punya affair?"

"Gak. Kenapa marah? Toh apa yang mereka katakan gak benar. Nanti juga bakal tahu!"

"Tunggu nanti, tunggu nanti. Kelamaan!" Aku berdiri dan mengambil jalan pulang.

Mataku mulai berembun. Ya, siapa yang tak sakit hati jika kini, justru aku yang tampak buruk di mata orang-orang.

"Gak usah di ambil hati. Biarkan saja. Nanti juga berhenti kalau capek sendiri!" Fatih menjajari langkahku.

"Kalau gak capek-capek?" Tanyaku ingin tahu.

"Ya, nerusin gibahnya!" Astaga. Nyesel aku nanya.

"Mau ke mana?" Lanjut Fatih.

"Pulang!" Jawabku.

Eh, gak bisa!" Fatih menghentikanku. Aku kembali berhenti dan menyusulnya. Lagi-lagi, Fatih kembali menyentil dahiku pelan dan berlari pulang meninggalkanku.

"FATIH!"

****

"Gimana jalan-jalannya? Seru?" Tanya bapak. Tangannya menerima cangkir kopi yang ibu sodorkan.

Aku hanya memajukan bibirku dua senti.

Setelah mandi, aku segera bergabung dengan bapak dan ibu di meja makan.

"Gak. Enakan tidur!" Jawabku. Kini ganti aku yang menerima gelas berisi teh hangat dari tangan ibu.

"Fatih, mana? Cari sana. Kita sarapan bareng di sini!" Astaga. Aku lupa kalau sekarang Fatih sudah menjadi suamiku.

"Hem!" Aku segera beranjak mencari Fatih yang kini sedang memanasi mobil dinas bapak.

"Fatih! Di cari bapak. Suruh sarapan katanya!" Aku berteriak dari teras dan memanggilnya.

"Oh, Bapak yang suruh. Gak usah. Makasih! Biasa sarapan di warung dekat kelurahan!" Fatih hanya menoleh sesaat lalu kembali fokus dengan mobil bapak.

Manja juga ni anak. Udah tahu bapak gak suka nunggu.

"FATIH! BURUAN!" Teriakku.

"Baik istriku, Sayang!" Huek. Perutku tiba-tiba terasa geli. Entah siapa yang memulai, aku dan Fatih malah tertawa lucu.

Tanpa sengaja, aku perhatikan Fatih yang berjalan mendekat. Andai saja Fatih bukan sopir, pasti aku akan suka rela untuk mencintainya. Sayangnya, hatiku masih penuh dengan kenangan bersama Damar. Bukan waktu yang singkat bersama Damar menjalani hari-hari selama ini, tapi apa mau di kata. Damar ternyata lebih memilih Meta.

"Pagi, Safira!" Meta berjalan mendekat dengan pakaian kurang bahan.

Rambutnya di cepol tinggi-tinggi memamerkan bekas gigitan. Dari leher sampai dada penuh merah-merah! Sementara itu, Damar tampak mendorong motor Meta keluar garasi.

"Ayo, Sayang. Kita sarapan! Eh, Mbak Meta. Gak sarapan bareng?" Fatih merangkulku.

"Gak ah, Mas Fatih. Mau jalan-jalan cari sarapan di luar aja!" Meta tersenyum penuh arti. Seketika aku melirik Fatih. Laki-laki itu justru melihatku dengan mesra.

"Ayo masuk!" Aku mengangguk mengikuti langkah Fatih yang masih merangkul pundakku.

"Masih cuti kan, Safira?" Bapak memulai pembicaraan ketika aku dan Fatih duduk di depan bapak dan ibu.

"Masih, Pak!" Jawabku sambil menyendokkan nasi goreng ke piringku lalu mulai memasukkannya ke mulutku.

"Ehem!" Bapak mendehem membuatku terhenti memasukan nasi berikutnya. Mataku melirik Fatih dan ibu bergantian.

"Ehem!" Haduh, Bapak. Kenapa sih gak langsung ngomong aja pake kode-kode begitu mana aku paham.

Aku menatap mata ibu yang kini memberi arahan lewat matanya. Menunjukkan piring Fatih yang masih kosong. Astaga. Kenapa Fatih gak ambil sendiri aja sih, bikin repot orang aja.

Aku berlagak cuek, tapi deheman bapak masih saja terus berlanjut. Akhirnya dengan gemas, aku mengisi piring Fatih dengan beberapa centong nasi. Syukurin tuh, habis gak tuh!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mommy Lily
Safira pe'a gak paham apa tugasnya istri itu apa dasar gak peka SDH diingatkan sama bapak malah marah...gak ikhlas meladeni suami gak jadi dapat pahala deh....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   113. Terluka tapi Bertahan

    Sekembalinya dark klinik, aku mendapati Isna dan Tante Arini yang telah bersiap-siap. SementaracDipta bermain di ranjang dengan beberapa mainannya. Seperti biasa, Dipta akan tertawa riang saat melihatku lalu berusaha turun dari ranjang dan menghampiriku. "Sudah beres semua, Safira?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Tante Arini sambil terus bermain dengan Dipta. Sesekali tangannya menepuk pipiku pelan laku tertawa lebar. "Bram sudah siap?" Kali ini, Tante Arini mengulurkaj tangannya untuk menggendong Dipta. "Barangkali sedang merapukan barangnya di kamar sebelah. Sebentar lagi pasti datang bantu kita bawa barang!" Tante Arini urung menggendong Dipta karena aku sudah lebih dulu memberikan Dipta pada Isna. Benar saja, saat aku sedang membenahi pashminaku, terdengar pintu kamar yang di ketuk. Bram masuk setelah Tante Arini membuka kamar. "Sudah siap? Saya bawa barang-barang ke mobil sekarang?" Tanya Bram sopan. "Sudah, Mas. tinggal bawa aja!" Isna segera menunjuk dua koper dan t

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   112. Mengurai Benang

    Pagi seperti biasa. kami sarapan di kamar tanpa banyak bicara. Tante Arini cukup gesit membantu Isna menjaga Dipta. Beberap hari ini, aku memang sering meninggalkan Dipta dengan Tante Arini dan Isna saja. Baru sebentar aku menyusui Dipta, anak itu sudah ribut ingin turun dan bermain di balkon. Aku yang berniat mengikuti anakku, segera di cegah oleh Tante Arini yang segera menyudahi makannya demi bisa menjaga Dipta."Sudah, biar sama Tante dan Isna. Kamu lanjutin makan aja!" Aku mengangguk lalu meneruskan makanku yang tertunda. Baru saja satu suap, ponselku berdering cukup nyaring. Nama Bayu terpampang di layarnya. "Iya, Bayu?" Tanyaku sambil mengunyah makanan. "Safira, sepertinya aku sudah menemukan orang yang sabotase proyek kita di Indramayu!" Suara Bayu terdengar tegang di seberang. Aku tercekat, jemariku otomatis mengepal. “Kau yakin?!” “Sangat yakin, Safira. Lewat beberapa orang yang menutupi pekerjaannya. Ada baiknya kamu segera balik di Jakarta. Lagian Kakek dan Ayah

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   111. Luka yang Tersayat

    Sejak pertemuanku dengan Fafih, pikiranku tak pernah lagi bisa tenang. Sosok Fatih yang kini mengenalkan dirinya sebagai Raka terus saja menghantuiku setiap detik. Tatapan matanya yang kosong dan penuh kebingungan seperti menggoreskan luka baru di hatiku. Aku tak bisa hanya diam dan menunggu. Aku harus mendapatkan kepastian. Jika benar dia adalah Fatih, maka aku harus tahu sejauh mana hubungannya dengan Aryani. Sore itu, setelah urusan di klinik milik dokter Aryani selesai dan para pekerja sudah diperbolehkan untuk pulang, aku memberanikan diri untuk berjalan-jslsn sebentar di area klinik hingga di ujung belakang. Udara yang terasa panas dan sedikit lembab yang bercampur aroma debu membuat Jantungku semakin berdeguo tak karuan saat langkahku semakin dekat. Di halaman belakang, aku melihat Fatih yang sedang duduk sendirian sambil merapikan beberapa kardus. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap saja memancarkan pesona yang selalu kurindukan. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatka

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   110. Langit yang Redup

    Dengan berbagai pertimbangan, aku segera menenggelamkan diri dalam pekerjaan pembangunan kembali proyek di Indramayu. Selain aku bisa memantau perkembangannya, aku juga ingin lebih dekat dan mengetahui sosok laki-laki yang aku yakini sebagai Fatih. Hingga kesempatan itu datang saat aku merasa lelah setelah seharian menemani pekerja yang akan pulang. dari klinik. Karena lelah, aku memutuskan ke warung depan klinik untuk mencari segelas kopi. Dan.. di sanalah aku melihatnya. Fatih. Nafasku tercekat. Dia memang Fatih. Suamiku. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ia duduk sendirian di sebuah bangku kayu panjang, menghadap ke jalanan yang ramai. Dengan hanya mengenakan kaus oblong polos dan celana kargo, ia masih saja tampan seperti dulu. Saat pertama kali ia datang bersama Bapak untuk menjadi sopir. Meskipun dengan penampilannya yang begitu sederhana, tetap saja tak mampu membuang aura mahal yang biasa tampak dengan stelan berkelasnya. Secangkir teh hangat masih mengepul di

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   109. Selesaikan satu-satu

    Pak Asep, manajer lapangan yang selama ini setia mendampingi para pekerja yang di rawat, ternyata sudah menunggu di pintu klinik saat mobil yang kutumpangi berhenti. Begitu melihatku turun, ia langsung berlari kecil menghampiri sambil merapikan helm proyek yang masih dikenakannya. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya penuh rasa hormat.“Assalamualaikum, Bu Safira,” sapanya sambil menunduk sopan.“Waalaikumussalam, Pak Asep,” jawabku sambil tersenyum tipis. “Bagaimana kondisi para pekerja, Pak?” Tanyaku membuka percakapan. “Alhamdulillah, sebagian besar sudah membaik dan pulang ke rumah masing-masing, Bu Safira. Tinggal beberapa yang patah tulang saja yang masih dirawat di sini,” jelasnya sambil mempersilakan aku masuk. “Mereka sangat senang karena Ibu langsung turun tangan menangani semua administrasi dan biaya. Mereka tak menyangka perusahaan benar-benar peduli seperti ini.” Ulangnya berkali-kali.Aku mengangguk kecil, tersenyum dan .encoba menahan rasa haru. Fatih pasti juga a

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   108. Mencoba Mencari Cara

    Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju hotel.Mobil yang kami tumpangi terasa begitu sesak, bukan karena ruangnya yang sempit, tetapi karena pikiranku yang penuh dengan pertanyaan dalam kepalaku. Jika hanya sekali aku melihatnya, mungkin saja itu halusinasu. Tapi aku melihatnya hungga dua kali. Tak mungkin kan jika halusinasi sejelas itu? Bram sesekali melirikku melalui spion tengah, tampak khawatir melihatku hanya duduk terpaku sambil menggenggam tangan Dipta erat-erat. Tante Arini duduk di sampingku, berkali-kali mencoba mengajakku bicara, tapi aku hanya mengangguk atau menggumam pendek tanpa benar-benar mendengar ucapannya.Bram sepertinya juga tak ingin banyak bicara. Namun, dari tatapan sekilas yang sesekali kulihat melalui cermin, jelas ia ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu. Tidak mungkin salah. Itu Fatih. Aku mengenal cara dia berjalan, cara dia menoleh… bahkan dari kejauhan pun aku bisa merasakan jika laki-laki itu adalah Fatih.Air mataku hampir jatuh lagi, tapi kuu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status