Setelah subuh bersama, aku berencana untuk tidur lagi seperti biasa, sayangnya Fatih justru menarik selimutku dan mengajakku untuk jalan-jalan.
"Habis sholat jangan tidur lagi!" "Ya ampun. Aku ngantuk Fatih. Rese banget sih. Udah sana sama Bapak. Biasanya juga sama Bapak jogingnya. Sana sana!" Tanganku mengibas udara. "Gak bisa. Mulai hari ini jogingnya sama kamu. Ayo buruan!" Fatih kembali menarik tanganku. "Gak mau!" "Oke. Kalau gak mau joging pagi ini berarti kita ....!" "Kita apa! Jangan aneh-aneh ya. Kita cuma pasangan di atas kertas!" Tanganku menunjuk Fatih dengan panik. Tentu saja semua ini tanpa sepengetahuan bapak. "Kalau gak mau joging, kita ngaji bareng. Maksud kamu?" Fatih menatapku dengan heran. Perlahan telunjukku menurun lalu menggaruk tengkukku yang tak terasa gatal. "Buruan ganti! Aku tunggu di depan!" Fatih geleng-geleng kepala melihatku yang masih mematung. Dengan malas, aku segera mengganti piyama juga kerudungku lalu menyusul Fatih yang sedang melakukan pemanasan. "Eh, tumben anak Ibu keluar kamar jam segini! Ibu gak lagi mimpi kan, Pak?" Ibu menepuk pipinya lalu menatap bapak yang sedang mencuci motorku. Kedua orang tuaku hanya saling pandang sesaat. Maklum, diusiaku yang hampir menginjak usia dua puluh tujuh, gak pernah sekalipun aku keluar kamar kurang dari jam enam pagi. Itupun aku hanya makan lalu segera tancap gas ke sekolah untuk mengajar. "Udah deh, Bu. Gak usah drama. Ntar aku masuk lagi nih!" Aku menatap Fatih dengan dongkol. Laki-laki itu hanya tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Pak, Bu. Saya sama Safira mau joging dulu!" Fatih segera menarikku keluar halaman. Bapak dan Ibu hanya mengangguk lalu melambaikan tangannya. "Tuh, masih gelap kan. Enakan tidur!" Aku masih saja sewot saat melihat sekitarku yang masih lengang. "Udara jam segini bisa memberi efek tenang dan menyegarkan pikiran. Jadi bisa bikin kamu gak gampang emosi. Secara spiritual, waktu pagi adalah waktu yang penuh keberkahan. Jadi sayang kalau dilewatkan cuma dengan tidur!" Dih, teori dari mana itu! Mau tak mau aku berjalan mengikuti Fatih yang mulai lari-lari kecil sambil menggerakkan kedua tangannya. "Gerak dong. Diem aja kayak orang mikir hutang!" "FATIH!" Aku berlari mengejar Fatih karena tangannya yang usil menyentil dahiku, meskipun pelan. Tak beberapa lama, kami berhenti sambil mengatur nafas. "Fatih, capek. Duduk dulu!" Aku segera duduk di bangku yang tersedia di pinggir jalan, Fatih kemudian menyusul dan duduk di sebelahku. Tak berapa lama, lewat beberapa ibu-ibu yang sepertinya akan senam pagi. "Ngerti gak kalau anak Pak Lurah nikahnya malah sama sopir?" "Oh, itu. Si Safira?" "Udah bagus sama Damar. Meskipun masih tenaga kontrak tapi kan pegawai kelurahan. Ini malah milih sopirnya!" "Jangan-jangan sudah affair sama sopir bapaknya. Kan mereka serumah!" "Gak nyangka ya, Safira kayak gitu anaknya. Untung anakku gak mau deketin dia!" Mataku membulat menatap mereka yang berjalan menjauh. Suasana yang masih temaram, tak membuat ibu-ibu itu mengenaliku yang sedang duduk bersama Fatih. Tunggu! Anaknya gak mau deketin aku? Anaknya kali yang minder sama ASN kayak aku! "Safira siapa yang mereka bicarakan?" Tanpa merasa bersalah, Fatih justru bertanya padaku dengan muka tanpa dosa. "Safira siapa lagi yang anaknya Pak Lurah? Safira mana lagi yang nikahnya sama sopir? Pake nanya lagi?" Jawabku. "Oh!" "Udah? Cuma oh aja gitu? Gak marah dikata punya affair?" "Gak. Kenapa marah? Toh apa yang mereka katakan gak benar. Nanti juga bakal tahu!" "Tunggu nanti, tunggu nanti. Kelamaan!" Aku berdiri dan mengambil jalan pulang. Mataku mulai berembun. Ya, siapa yang tak sakit hati jika kini, justru aku yang tampak buruk di mata orang-orang. "Gak usah di ambil hati. Biarkan saja. Nanti juga berhenti kalau capek sendiri!" Fatih menjajari langkahku. "Kalau gak capek-capek?" Tanyaku ingin tahu. "Ya, nerusin gibahnya!" Astaga. Nyesel aku nanya. "Mau ke mana?" Lanjut Fatih. "Pulang!" Jawabku. Eh, gak bisa!" Fatih menghentikanku. Aku kembali berhenti dan menyusulnya. Lagi-lagi, Fatih kembali menyentil dahiku pelan dan berlari pulang meninggalkanku. "FATIH!" **** "Gimana jalan-jalannya? Seru?" Tanya bapak. Tangannya menerima cangkir kopi yang ibu sodorkan. Aku hanya memajukan bibirku dua senti. Setelah mandi, aku segera bergabung dengan bapak dan ibu di meja makan. "Gak. Enakan tidur!" Jawabku. Kini ganti aku yang menerima gelas berisi teh hangat dari tangan ibu. "Fatih, mana? Cari sana. Kita sarapan bareng di sini!" Astaga. Aku lupa kalau sekarang Fatih sudah menjadi suamiku. "Hem!" Aku segera beranjak mencari Fatih yang kini sedang memanasi mobil dinas bapak. "Fatih! Di cari bapak. Suruh sarapan katanya!" Aku berteriak dari teras dan memanggilnya. "Oh, Bapak yang suruh. Gak usah. Makasih! Biasa sarapan di warung dekat kelurahan!" Fatih hanya menoleh sesaat lalu kembali fokus dengan mobil bapak. Manja juga ni anak. Udah tahu bapak gak suka nunggu. "FATIH! BURUAN!" Teriakku. "Baik istriku, Sayang!" Huek. Perutku tiba-tiba terasa geli. Entah siapa yang memulai, aku dan Fatih malah tertawa lucu. Tanpa sengaja, aku perhatikan Fatih yang berjalan mendekat. Andai saja Fatih bukan sopir, pasti aku akan suka rela untuk mencintainya. Sayangnya, hatiku masih penuh dengan kenangan bersama Damar. Bukan waktu yang singkat bersama Damar menjalani hari-hari selama ini, tapi apa mau di kata. Damar ternyata lebih memilih Meta. "Pagi, Safira!" Meta berjalan mendekat dengan pakaian kurang bahan. Rambutnya di cepol tinggi-tinggi memamerkan bekas gigitan. Dari leher sampai dada penuh merah-merah! Sementara itu, Damar tampak mendorong motor Meta keluar garasi. "Ayo, Sayang. Kita sarapan! Eh, Mbak Meta. Gak sarapan bareng?" Fatih merangkulku. "Gak ah, Mas Fatih. Mau jalan-jalan cari sarapan di luar aja!" Meta tersenyum penuh arti. Seketika aku melirik Fatih. Laki-laki itu justru melihatku dengan mesra. "Ayo masuk!" Aku mengangguk mengikuti langkah Fatih yang masih merangkul pundakku. "Masih cuti kan, Safira?" Bapak memulai pembicaraan ketika aku dan Fatih duduk di depan bapak dan ibu. "Masih, Pak!" Jawabku sambil menyendokkan nasi goreng ke piringku lalu mulai memasukkannya ke mulutku. "Ehem!" Bapak mendehem membuatku terhenti memasukan nasi berikutnya. Mataku melirik Fatih dan ibu bergantian. "Ehem!" Haduh, Bapak. Kenapa sih gak langsung ngomong aja pake kode-kode begitu mana aku paham. Aku menatap mata ibu yang kini memberi arahan lewat matanya. Menunjukkan piring Fatih yang masih kosong. Astaga. Kenapa Fatih gak ambil sendiri aja sih, bikin repot orang aja. Aku berlagak cuek, tapi deheman bapak masih saja terus berlanjut. Akhirnya dengan gemas, aku mengisi piring Fatih dengan beberapa centong nasi. Syukurin tuh, habis gak tuh!Setelah hampir satu jam menemaniku, Elena akhirnya pamit. Ia mencium kedua pipiku dan berjanji akan datang lagi besok. Aku mengangguk, mengantarnya dengan senyum tipis. Tapi setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyergap. Aku menatap langit-langit kamar. Sinar matahari mulai redup. Rasanya... damai sekaligus hampa. Tiba-tiba, ponselku yang diletakkan di nakas bergetar. Nada deringnya menyayat sunyi. Aku menoleh, dan nama itu terpampang jelas di layar.Nomof Fatih. Jantungku berdegup. Tanganku ragu saat meraihnya, tapi akhirnya kutekan tombol hijau. "Halo?" suaraku lirih. "Safira!" Suara Fatih terdengar panik. Nafasnya terdengar berat. "Kamu... kamu gak apa-apa, kan? Aku baru tahu dari Bram... kenapa kamu gak kabari aku, Safira?" Aku diam sejenak, menatap luar jendela untuk mengusir lara. Suaranya... hangat sekaligus asing bagiku kini. "Aku baik-baik saja," jawabku datar. "Bram sudah menjagaku. Dokter juga bilang bayinya selamat. Jadi... kamu gak perlu khawatir." "Safira.
Hari kedua dirawat. Aku masih harus bed rest total sesuai saran dokter. Bapak dan Ibu pamit sejak pagi karena ada rapat penting di kelurahan yang tak bisa ditinggalkan. Mereka merasa tenang karena ada Bram yang menjaga dan mengawasi kebutuhanku. Aku sendiri tak masalah karena perutku tak lagi terasa sakit. Dan Bram yang setia menunggu sejak semalam kuminta untuk pulang dan istirahat. “Mbak, saya pulang. Kalau Mbak Safira butuh apa-apa segera telepon saya, ya?" katanya sambil menyisakan segelas air putih dan roti di nakas. Aku mengangguk. "Mbak Safira, beneran gak papa saya tinggal pulang?" Bram kembali menatapku, ragu. Aku mengangguk lemah, "Beneran, Mas Bram. Mas Bram pulang saja. Mas Bram capek nungguin saya dari semalam loh!" Bram manggut-manggut. "Mbak Safira sudah menghubungi Mas Fatih?" Tanya Bram kembali. Aku menggeleng. "Kemaren aku udah menghubungi Fatih berkali-kali. Gak ada tanggapan! Gak papa, Mas Bram. Aku udah baikan kok. Gak usah kabarin Fatih. Biar dia sel
Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Fatih tidak bisa dihubungi. Bram pun terkesan menyembunyikan sesuatu. Aku merasa sendirian di tengah badai informasi yang tiba-tiba menerpaku. Sesaat kemudian, perutku terasa kram. Berita pertunangan Fatih dan Nancy, ditambah kebungkaman Bram, memicu sakit hingga ke perut. Ternyata tak hanya hatiku yang sakit, perutku juga ikut terasa sakit. Aku merosot ke lantai, memegangi perutku yang terasa begitu nyeri. Napasku tersengal, pandanganku mengabur. Apa ini? Kenapa rasanya begini sakit? Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir di antara kakiku. Aku mulai panik. Tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah aku hamil?Kenapa aku tak merasakan kehamilanku? Dengan tangan gemetar, kuraba area itu. Cairan kental, bercampur kehangatan, membuatku merasakan firasat buruk. Aku menunduk, dan pandanganku jatuh pada noda merah pekat yang luruh di kaki. Darah! "MAS BRAMMM!" Teriakanku pecah, membelah keheningan rumah. Suarak
Aku terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meski bayangan Damar semalam masih menari-nari di benakku. Setidaknya, semua sudah jelas. Aku sudah memilih, dan pilihanku adalah Fatih. Keyakinan itu mengalir hangat, menenangkan sisa bara emosi yang sempat membakar dadaku. Pagi seperti biasa. Aku bersiap dengan rutinitasku untuk mengajar. Sesekali melirik infotainment yang selalu ibu putar untuk menemaninya beraktifitas pagi. Suguhan yang menayangkan berita para selebritis dan sosialita tanah air. Hingga berita itu muncul. Saat pembawa acara dengan intonasi ceria mengumumkan, “Pemirsa, kabar mengejutkan datang dari dunia sosialita! Salah satu pewaris Keluarga Maulana. pemilik Fath Company yang merajai bisnis property dan beberapa tambang ini, kemaren sore resmi bertunangan dengan Nancy Gumelar. Acara meriah ini tentu memakan biaya yang tak sedikit. ...!" Aku tak bisa lagi mendengarnya. Telingaku tak bisa lagi merespon. Jantungku berdebar tak karuan. Maulana? Fath Company? La
Pintu kamar kututup perlahan. Tubuhku lemas, bukan karena lelah secara fisik, tapi karena jiwaku nyaris habis terbakar oleh emosi yang kutahan sepanjang malam. Kukunci pintu, lalu bersandar pada dinding. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya masih ada bara yang menyala di dada. Damar benar-benar sudah melewati batas. Suara dari ruang tengah masih terdengar samar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjauh. Aku ingin malam ini berakhir. Aku hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Namun, baru saja aku hendak duduk di atas tempat tidur, suara berat dan keras terdengar menggema dari luar kamar.Brak! Aku terkesiap. "Kalian kira semudah itu? Kalian pikir apa kesalahan Damar samoai Safira harus kunikahkan dengan sopir!" Aku melangkah pelan ke arah pintu. Tidak membukanya, tapi menempelkan telinga. Nafasku tertahan. "Tapi Pak Atmojo, Damar tidak bisa melupakan Safira. Dia sangat merasa bersalah. Itu ssbabnya dia dia datang maalm ini dan kami terpaksa ikut untuk menga
Selepas isya, seperti biasa, kami berkumpul di ruang tengah. Suasana malam yang seharusnya hangat tiba-tiba jadi hening kala Damar dan Meta kembali datang tanpa pemberitahuan. Bapak dan ibu saling pandang sementara aku memutar mata malas. Entah kenapa dengannya, seharian ini, senang betul cari pekara. "Maaf, Lak Bu saya datang lagi!" Damar duduk seolah tak pernah terjadi apapun. Bapak yang justru tampak canggung, Ibu berusaha tersenyum meski sorot matanya jelas tak menyukai suasana ini. Aku duduk di seberang mereka, masih memegang toples kue yang kubawa sejak tadi. Akhir-akhir ini, nafsu makanku memang meningkat dan aku tak bisa menahannya. Perutku gampang lapar, tapi selera makanku menguap saat dua manusia ini muncul lagi. Meta duduk di sebelah Damar, tangannya bersedekap, wajahnya cemberut sejak awal. Seolah menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sedangkan Damar… ah, pria itu justru terus-menerus menatapku, seakan hanya aku satu-satunya yang ada di ruangan ini. "Safi