Hari ini, aku masih menikmati masa cuti. Kugunakan waktuku di halaman depan mengurus tanaman bunga ibu dengan sedikit emosi. Bagaimana tidak, jeda kecil yang harusnya bisa kunikmati bersama Damar, kini pupus hangus tanpa sisa.
Berdiam diri di kamar pun tak mungkin. Suara-suara haram dari kamar Meta, bukannya mereda tapi justru seakan ingin memancing. Tak lama, mobil yang biasa digunakan Fatih untuk antar jemput bapak sudah pulang. Hari ini, Fatih harus mengantar bapak dan ibu ke kelurahan. Bapak biasa dengan aktifitas pekerjaannya sedang ibu harus ikut karena ada kunjungan istri petinggi kecamatan untuk cek kegiatan UMKM yang sedang di canangkan. "Sudah pulang?" Tanyaku basa basi saat Fatih mendekat. Tangannya tampak membawa bungkusan plastik. "Di suruh Bapak pulang. Biar bisa nemenin kamu!" Fatih melirikku sambil tersenyum lalu duduk di kursi teras. Aku segera mematikan kran air lalu ikut duduk di sisinya saat Fatih mengeluarkan tinwall dari dalam plastik. "Apa tuh?" Tanyaku ingin tahu. "Rujak nih, dari Bapak!" Seketika mataku melebar. Bapak memang paling tahu kesukaanku. "Tumben, gak di kamar. Biasanya ngendon aja di kamar. Kenapa sekarang jadi nangkring di halaman?" Aku menatap Fatih dengan malas. "Gak denger tuh?" Tunjukku ke dalam rumah. Seketika Fatih diam dan memasang telinga rapat-rapat ke tembok. "Biasa aja. Mau coba?" Matanya mengerjap aneh. "Idih. Ogah" Jawabku sambil memasukkan potongan buah ke dalam mulut setelah kucocolkan ke sambal rujak. “Pedas nggak?” tanyanya sambil tersenyum kecil. Pipinya tampak kemerahan tertimpa cahaya matahari. Aku mengangguk sambil membuang muka. Lama-lama melihatnya aku bisa tergoda, ya Tuhan. “Pedas... tapi enak.” Fatih terkekeh pelan, lalu mengambil satu potong mangga muda untuk dirinya sendiri. "Loh. Siang-siang udah makan rujak. Udah berapa bulan?" Aku dan Fatih menoleh bersamaan ke arah suara. "Eh, Bu Dewi!" Aku menyapa Bu Dewi yang baru turun dari motornya lalu berjalan mendekat. Aku dan Fatih berdiri lalu bersalaman dengan Bu Dewi. "Jadi. bener kamu hamil duluan?" Aku terdiam beberapa saat. "Apa hubungannya makan rujak sama hamil, Bu?" Tanya Fatih dengan sopan. "Adalah. Biasanya kalau hamil muda, pasti maunya yang asem-asem!" Kini Bu Dewi menatapku dengan pandangan sinis. "Perasaan, setiap hari saya makan rujak deh, Bu! Suka di bawain Bapak dari kantor tuh!" Aku menjawab dengan mulut penuh. "Ya udah saya balik dulu. Ini, nitip buat Meta!" Tanpa permisi, Bu Dewi meletakkan bungkusan makanan begitu saja lalu berbalik pergi. "Cie..cie.. nitip rujak juga buat mantunya. Jangan-jangan mantunya tuh yang lagi hamil!" Sahutku sewot setelah Bu dewi tancap gas. "Hus. Gak usah ikutan nyinyirin orang!" Fatih kembali duduk lalu merapikan bungkusan plastik millik Meta yang telah ku buka. "Sana, serahin ke Meta!" Perintah Fatih tiba-tiba. "Ogah!" Aku kembali duduk. Enak aja main suruh. Dipikirnya aku siapa? Sayangnya ketenangan itu tak bertahan lama. Suara deru mobil kembali terdengar dan masuk ke halaman rumah. Dua pria turun dengan wajah serius, mengenakan jaket dan celana jeans. Keduanya tampak asing. Yang satu tinggi dengan kacamata hitam, yang satu lagi lebih pendek namun bertubuh kekar. Aku menoleh pada Fatih, ia langsung berdiri. “Mau ke mana?” tanyaku. “Mereka mencariku,” jawabnya pelan. “Aku ke sana sebentar ya!" Fatih berjalan cepat menyambut dua orang itu dan langsung mengajak mereka menjauh dari halaman rumah. Mereka bertiga berdiri di dekat pohon mangga tetangga, dekat pagar. Aku masih tenang, sampai... “Eh, itu siapa?” suara Meta tiba-tiba muncul dari balik pintu, lalu berjalan keluar teras dengan langkah terburu-buru. Di belakangnya, Damar ikut menyusul, sambil memakai kaos oblongnya. “Fatih kayaknya kenal deket tuh,” gumam Damar curiga. Meta menyipitkan mata ke arah tiga pria itu, lalu melirikku tajam. “Jangan-jangan itu debt collector?” Aku mengernyit. “Debt collector?” “Iya! Penagih utang! Mukanya sangar begitu! Jangan-jangan, dia banyak utang di kampungnya sana. Gila, bisa-bisanya sopir kayak dia ngasih mahar segitu pas nikah sama kamu, Fir.” Meta masih menatap mereka bertiga tanpa berkedip. Damar menimpali cepat, “Kamu yakin, Fir, itu mahar murni dari hasil kerja halal? Jangan-jangan hasil ngutang atau hasil ngrampok!" Darahku naik seketika. “Tuh mulut gak punya rem ya.. Jangan asal ngomong!” Tapi, entah kenapa... benakku mulai goyah. Aku memang tak pernah tanya secara detail soal uang mahar yang Fatih berikan saat akad. Aku melirik ke arah Fatih lagi. Ekspresinya serius, sesekali menunduk, sesekali mengangguk. Salah satu dari dua pria itu bahkan membuka map di tangan dan memperlihatkan sesuatu pada Fatih. “Fir, kamu pikirin deh. Jangan sampai kamu kena tipu,” ujar Meta, suaranya kali ini lebih pelan namun menusuk. “Bisa jadi kita semua dalam bahaya kalau orang itu ternyata buronan atau penipu." "Ah, Gak ngaruh! Udah pernah di tipu. Udah pengalaman!" sahutku cepat. Mereka berdua menatapku lalu terdiam serba salah. "Nih, rujak dari mertuamu. Sana makan di dalam. Keburu ngiler nanti anakmu!" Lanjutku gemas. Entah kenapa, aku suka bicara kasar pada mereka berdua sekarang. Meta menerima plastik yang kusodorkan lalu berdecak meninggalkanku yang diikuti Damar. Aku menggigit bibir. Tangan ini menggenggam sendok rujak, tapi rasanya tak sanggup lagi melanjutkan makan. Lidahku mendadak kelu, jantungku mulai berdebar aneh. Ada sesuatu yang disembunyikan Fatih. Aku berdiri dari dudukku, tak tahan lagi melihat percakapan yang terlalu jauh dari telingaku. Fatih masih bersama dua pria itu, tapi ada yang berubah. Ekspresinya mendadak tegang—dan saat pria berkemeja abu itu menyodorkan selembar kertas, aku sempat melihat Fatih terdiam membeku. Kemudian, Fatih menoleh padaku. Tatapan kami bertemu. Sekilas saja. Dan dalam tatapan itu, aku tahu—ada sesuatu yang tak pernah ia ceritakan. Sesuatu yang besar. Tak berapa lama, dua laki-laki itu berpamitan dan kembali pergi dengan mobilnya. Langkah Fatih mulai mendekat. Aku menelan ludah dengan susah payah. Fatih berhenti tepat di depanku. Napasnya terdengar berat. Lalu ia berkata pelan—terlalu pelan, tapi cukup menusuk, “Safira... kita harus bicara. Sekarang.”Sekembalinya dark klinik, aku mendapati Isna dan Tante Arini yang telah bersiap-siap. SementaracDipta bermain di ranjang dengan beberapa mainannya. Seperti biasa, Dipta akan tertawa riang saat melihatku lalu berusaha turun dari ranjang dan menghampiriku. "Sudah beres semua, Safira?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Tante Arini sambil terus bermain dengan Dipta. Sesekali tangannya menepuk pipiku pelan laku tertawa lebar. "Bram sudah siap?" Kali ini, Tante Arini mengulurkaj tangannya untuk menggendong Dipta. "Barangkali sedang merapukan barangnya di kamar sebelah. Sebentar lagi pasti datang bantu kita bawa barang!" Tante Arini urung menggendong Dipta karena aku sudah lebih dulu memberikan Dipta pada Isna. Benar saja, saat aku sedang membenahi pashminaku, terdengar pintu kamar yang di ketuk. Bram masuk setelah Tante Arini membuka kamar. "Sudah siap? Saya bawa barang-barang ke mobil sekarang?" Tanya Bram sopan. "Sudah, Mas. tinggal bawa aja!" Isna segera menunjuk dua koper dan t
Pagi seperti biasa. kami sarapan di kamar tanpa banyak bicara. Tante Arini cukup gesit membantu Isna menjaga Dipta. Beberap hari ini, aku memang sering meninggalkan Dipta dengan Tante Arini dan Isna saja. Baru sebentar aku menyusui Dipta, anak itu sudah ribut ingin turun dan bermain di balkon. Aku yang berniat mengikuti anakku, segera di cegah oleh Tante Arini yang segera menyudahi makannya demi bisa menjaga Dipta."Sudah, biar sama Tante dan Isna. Kamu lanjutin makan aja!" Aku mengangguk lalu meneruskan makanku yang tertunda. Baru saja satu suap, ponselku berdering cukup nyaring. Nama Bayu terpampang di layarnya. "Iya, Bayu?" Tanyaku sambil mengunyah makanan. "Safira, sepertinya aku sudah menemukan orang yang sabotase proyek kita di Indramayu!" Suara Bayu terdengar tegang di seberang. Aku tercekat, jemariku otomatis mengepal. “Kau yakin?!” “Sangat yakin, Safira. Lewat beberapa orang yang menutupi pekerjaannya. Ada baiknya kamu segera balik di Jakarta. Lagian Kakek dan Ayah
Sejak pertemuanku dengan Fafih, pikiranku tak pernah lagi bisa tenang. Sosok Fatih yang kini mengenalkan dirinya sebagai Raka terus saja menghantuiku setiap detik. Tatapan matanya yang kosong dan penuh kebingungan seperti menggoreskan luka baru di hatiku. Aku tak bisa hanya diam dan menunggu. Aku harus mendapatkan kepastian. Jika benar dia adalah Fatih, maka aku harus tahu sejauh mana hubungannya dengan Aryani. Sore itu, setelah urusan di klinik milik dokter Aryani selesai dan para pekerja sudah diperbolehkan untuk pulang, aku memberanikan diri untuk berjalan-jslsn sebentar di area klinik hingga di ujung belakang. Udara yang terasa panas dan sedikit lembab yang bercampur aroma debu membuat Jantungku semakin berdeguo tak karuan saat langkahku semakin dekat. Di halaman belakang, aku melihat Fatih yang sedang duduk sendirian sambil merapikan beberapa kardus. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap saja memancarkan pesona yang selalu kurindukan. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatka
Dengan berbagai pertimbangan, aku segera menenggelamkan diri dalam pekerjaan pembangunan kembali proyek di Indramayu. Selain aku bisa memantau perkembangannya, aku juga ingin lebih dekat dan mengetahui sosok laki-laki yang aku yakini sebagai Fatih. Hingga kesempatan itu datang saat aku merasa lelah setelah seharian menemani pekerja yang akan pulang. dari klinik. Karena lelah, aku memutuskan ke warung depan klinik untuk mencari segelas kopi. Dan.. di sanalah aku melihatnya. Fatih. Nafasku tercekat. Dia memang Fatih. Suamiku. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ia duduk sendirian di sebuah bangku kayu panjang, menghadap ke jalanan yang ramai. Dengan hanya mengenakan kaus oblong polos dan celana kargo, ia masih saja tampan seperti dulu. Saat pertama kali ia datang bersama Bapak untuk menjadi sopir. Meskipun dengan penampilannya yang begitu sederhana, tetap saja tak mampu membuang aura mahal yang biasa tampak dengan stelan berkelasnya. Secangkir teh hangat masih mengepul di
Pak Asep, manajer lapangan yang selama ini setia mendampingi para pekerja yang di rawat, ternyata sudah menunggu di pintu klinik saat mobil yang kutumpangi berhenti. Begitu melihatku turun, ia langsung berlari kecil menghampiri sambil merapikan helm proyek yang masih dikenakannya. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya penuh rasa hormat.“Assalamualaikum, Bu Safira,” sapanya sambil menunduk sopan.“Waalaikumussalam, Pak Asep,” jawabku sambil tersenyum tipis. “Bagaimana kondisi para pekerja, Pak?” Tanyaku membuka percakapan. “Alhamdulillah, sebagian besar sudah membaik dan pulang ke rumah masing-masing, Bu Safira. Tinggal beberapa yang patah tulang saja yang masih dirawat di sini,” jelasnya sambil mempersilakan aku masuk. “Mereka sangat senang karena Ibu langsung turun tangan menangani semua administrasi dan biaya. Mereka tak menyangka perusahaan benar-benar peduli seperti ini.” Ulangnya berkali-kali.Aku mengangguk kecil, tersenyum dan .encoba menahan rasa haru. Fatih pasti juga a
Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju hotel.Mobil yang kami tumpangi terasa begitu sesak, bukan karena ruangnya yang sempit, tetapi karena pikiranku yang penuh dengan pertanyaan dalam kepalaku. Jika hanya sekali aku melihatnya, mungkin saja itu halusinasu. Tapi aku melihatnya hungga dua kali. Tak mungkin kan jika halusinasi sejelas itu? Bram sesekali melirikku melalui spion tengah, tampak khawatir melihatku hanya duduk terpaku sambil menggenggam tangan Dipta erat-erat. Tante Arini duduk di sampingku, berkali-kali mencoba mengajakku bicara, tapi aku hanya mengangguk atau menggumam pendek tanpa benar-benar mendengar ucapannya.Bram sepertinya juga tak ingin banyak bicara. Namun, dari tatapan sekilas yang sesekali kulihat melalui cermin, jelas ia ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu. Tidak mungkin salah. Itu Fatih. Aku mengenal cara dia berjalan, cara dia menoleh… bahkan dari kejauhan pun aku bisa merasakan jika laki-laki itu adalah Fatih.Air mataku hampir jatuh lagi, tapi kuu