Fatih berhenti tepat di depanku. Napasnya terdengar berat. Lalu ia berkata pelan—terlalu pelan, tapi cukup jelas terdengar telinga, “Safira... kita harus bicara. Sekarang.”
Aku mengangguk, agak heran kenapa ekspresinya berubah serius. "Bicarakan saja." "Kita masuk saja," ucapnya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku menuruti Fatih yang melangkah ke kamar tanpa banyak bicara. Sesampainya di kamar, Fatih menghembuskan nafas keras lalu duduk di ranjang. Aku segera duduk di sisinya setelah menutup pintu kamar. "Aku... harus pergi hari ini juga." Aku mengernyit. “Kemana? Pakai izin segala.” Fatih menghela napas lagi. “Jauh. Beberapa hari. Aku ada urusan dan harus pulang ke rumah.” Ucapannya seperti tamparan keras. Baru saja badai mereda dan kini dia akan pergi? Apa kata orang-orang nanti? "Urusan apa?" Fatih tak langsung menjawab. “Panjang kalau diceritain. Tapi nanti aku kasih tahu kok, kalau urusannya udah kelar.” Rumah Fatih jauh. Dia bukan orang asli desa sini. Bapak pernah cerita kalau Fatih tertarik menjadi sopir Bapak setelah melihat lowongan kerja yang Bapak iklankan. Itu sudah setahun yang lalu. “Ini ada hubungannya sama orang-orang tadi ya?” selidikku, mengingat dua orang sangar yang mendatanginya tadi. Fatih menggaruk kepala. “Ya… bisa dibilang gitu.” Aku tiba-tiba teringat ucapan Meta tentang debt collector. “Tapi ini bukan yang aneh-aneh kan? Kamu gak lagi kabur karena utang kan?” “Astaghfirullah. Gak, Fir, suer!” Dia mengangkat kedua tangannya seperti bersumpah. Aku mengangguk. Sudah kuduga Fatih memang bukan orang seperti itu. “Ya udah…” jawabku akhirnya. Fatih mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dari saku kemeja lengan panjangnya. Tangannya menekan layar beberapa kali sebelum menempelkannya ke telinga. "Assalamualaikum, Pak… Maaf mengganggu. Saya izin pamit sementara waktu. Ada keperluan mendesak yang harus saya urus. Saya juga mohon izin untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai sopir Bapak… dan menitipkan Safira kepada Bapak untuk sementara." Fatih menjeda kalimatnya sesaat lalu melirikku, "Jangan cari sopir lain, Pak! Besok saya akan minta teman saya untuk menggantikan tugas saya sementara." Aku mendesah pelan. Kalau Fatih pergi, artinya aku ditinggal bersama Meta dan Damar di rumah. "Baik Pak, terima kasih!" Fatih meletakkan ponselnya di ranjang. Dia lalu menatapku, "Aku harus pulang. Hanya beberapa hari. Jangan khawatir, aku pasti pulang!" Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus bagaimana dan berkata apa. Entah kenapa rasanya begitu berat melepasnya pergi. "Maaf, Aku nggak bisa jelaskan sekarang," ucapnya pelan sambil menggenggam tanganku erat. “Tapi nanti aku bakal jelasin. Aku janji.” Mendengar itu, aku mengangguk saja, meskipun sebenarnya aku mau menanyakan lebih banyak. Satu jam kemudian, aku hanya bisa berdiri di beranda rumah sambil menatap mobil hitam yang tadi datang, kini menjemputnya pergi, menghilang di tikungan jalan desa. ***** Keesokan harinya, rumah kembali ramai. Tapi bukan karena kabar Fatih. Melainkan... karena Meta. "Fatih pergi ya? Kenapa? Jangan-jangan dia....?" Ekor matanya melirikku dan dia tersenyum sinis. “Bukan urusan kamu!” jawabku, tak menghiraukannya. “Kamu gak kesepian kan, Fir? Ditinggalin suami gitu aja!” Meta memanas-manasi. “Nyesel kali tuh abis nikah.” Aku mencibir. “Emangnya kamu sama Damar, yang lengket terus tiap hari, gak tahu waktu, gak punya malu.” “Kamu iri kan? Iyalah, suamimu aja pergi tuh!” "Sudah cukup!" suara Ayah membentak dari dalam. "Kamu Meta, jangan sembarangan kalau bicara!" Bapak datang sambil merapikan seragamnya. Akhir-akhir ini, beliau selalu tegas kepada Meta. Menjelang sore, sebuah mobil pa***o spo** berhenti di depan rumah. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan postur tegap turun dari kursi kemudi. “Permisi, apa ini rumah Pak Lurah Atmojo?” tanyanya sopan pada Ibu yang sedang membersihkan halaman. Aku yang sedang mengelap motor di garasi, menoleh ingin tahu. “Betul. Maaf, Anda siapa ya?” Ibu meletakkan gagang sapu dan melap tangannya dengan ujung baju. Pria itu menunduk hormat. “Nama saya Bram. Saya ditugaskan oleh Mas Fatih untuk menggantikan Mas Fatih sementara sebagai sopir. Sekaligus menjaga Ibu Safira selama Mas Fatih tidak ada.” Aku menatapnya dengan penuh curiga. "Menjaga... aku? Maksudnya?" Gumamku pelan. “Betul, Bu. Saya menjalankan perintah Mas Fatih!” jawabnya sopan, seperti seorang prajurit yang siap melindungi tanpa banyak bicara. Ibu mengangguk lalu membawa Bram masuk menemui bapak. Aku bermaksud menyusul, sayangnya langkahku berhenti di depan pintu saat melihat Damar. Dia tersenyum dengan aneh. "Buruan minggir, mau lewat nih!" halauku gemas. "Kamu makin galak aja, sih Fir,” katanya memancing. "Bukan mahram. Gak usah sok perhatian. Minggir!" Tanganku mengibas udara. Bukannya minggir, Damar justru semakin mendekat. "Ehem!" Meta berdehem. Damar sontak mundur saat Meta berjalan mendekatiku. Tanpa banyak kata, aku melewati mereka berdua. "Siapa, Pak?" Aku mendekat ke arah Bapak yang sedang membaca laporan di meja kerjanya. Bapak menatapku sambil melepas kacamatanya. "Oh, Bram? Suruhan Fatih. Biar bapak.gak repot cari sopir lain. Katanya juga yang jaga kamu selama Fatih pergi!" Sejak kapan aku jadi seseorang yang perlu dijaga? Dasar. Mataku melihat Bram yang sedang keluar dari pintu kamar yang dulu dipakai Fatih. Tiba-tiba saja aku merindukannya! Ah, bukan-bukan. Aku menggelengkan kepala pelan. "Safira. Kamu gak lagi sibuk, kan?" Ibu berjalan sambil merapikan sanggulnya. "Kenapa, Bu. Rapi banget!" tanyaku heran melihat penampilan Ibu yang tak biasa. “Ibu mau ke mall kota. Kita beli sayur dan lauk untuk beberapa hari ke depan!" "Sekarang?" "Ya iya. Masak tahun depan!" Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sekalian angin-anginan. Kepala Ibu sumpek!" "Ya udah. Aku siap-siap!" Ibu mengangguk tapi belum sempat aku melangkah, Bram mendekat. “Bu Lurah mau jalan?” tanyanya dengan suara tenang. “Iya, Bram,” jawab Ibu ramah. “Sama Safira.” “Biar saya yang antar Bu,” ucap Bram cepat. “Mobil sudah saya panaskan!" Aku menatap Ibu dan Bapak bergantian. "Ini perintah Mas Fatih!" Bram seperti menegaskan sesuatu. "Oh!" Ibu mengangguk-angguk paham. "Mari, Bu. Mbak Safira biar siap-siap dulu. Mari Pak!" Bram mengantar Ibu ke depan. sekarang, tinggal aku dan Bapak yang saling pandang. Tak butuh waktu lama, mobil segera melaju ke arah kota. Tapi aku bisa merasakan sorot mata orang-orang di jalan yang kami lewati. Beberapa bahkan sengaja berhenti hanya untuk memandangi kami, lalu berbisik-bisik dengan tatapan mencurigakan. “Orang-orang ini... memang nggak ada capeknya ngomongin orang,” decakku sebal. Bram yang fokus menyetir langsung menoleh. Tatapan matanya menajam lalu kembali menatap jalanan desa. "Yah, beginilah di desa, Safira. Segala hal yang kita lakukan akan selalu jadi perhatian. Kamu anak lurah. Apalagi sejak masalah kamu sama Damar dan Meta itu. Entah bagaimana mereka tiba-tiba memojokkan kita. Ibu sampai pusing ditanya macam-macam soal kalian," keluh Ibu. Aku terdiam merasa bersalah. Sampai hari ini, aku dan Bapak menutup rapat masalah Damar dan Meta. Begitu kami tiba di tujuan, dengan sigap Bram turun membukakan pintu. "Gak usah dibukain pintu, Mas Bram. Gak papa!" tolakku halus. “Maaf, Mbak Safira. Saya hanya menjalankan tugas dari Mas Fatih!" kata Bram sopan. Aku mengangguk singkat mengalah. “Baiklah!" Bram begitu telaten mengikuti kami. Bahkan memaksa untuk membawakan semua barang belanjaan ibu tanpa mengeluh. Dalam hatiku, aku mulai bertanya-tanya sambil menatap postur Bram yang tak seperti sopir pada umumnya. Badannya tegap dan gagah, seperti tentara. Siapa sebenarnya Bram? Apa kaitannya sama Fatih sampai Fatih mempercayakanku dan keluargaku padanya?Sekembalinya dark klinik, aku mendapati Isna dan Tante Arini yang telah bersiap-siap. SementaracDipta bermain di ranjang dengan beberapa mainannya. Seperti biasa, Dipta akan tertawa riang saat melihatku lalu berusaha turun dari ranjang dan menghampiriku. "Sudah beres semua, Safira?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Tante Arini sambil terus bermain dengan Dipta. Sesekali tangannya menepuk pipiku pelan laku tertawa lebar. "Bram sudah siap?" Kali ini, Tante Arini mengulurkaj tangannya untuk menggendong Dipta. "Barangkali sedang merapukan barangnya di kamar sebelah. Sebentar lagi pasti datang bantu kita bawa barang!" Tante Arini urung menggendong Dipta karena aku sudah lebih dulu memberikan Dipta pada Isna. Benar saja, saat aku sedang membenahi pashminaku, terdengar pintu kamar yang di ketuk. Bram masuk setelah Tante Arini membuka kamar. "Sudah siap? Saya bawa barang-barang ke mobil sekarang?" Tanya Bram sopan. "Sudah, Mas. tinggal bawa aja!" Isna segera menunjuk dua koper dan t
Pagi seperti biasa. kami sarapan di kamar tanpa banyak bicara. Tante Arini cukup gesit membantu Isna menjaga Dipta. Beberap hari ini, aku memang sering meninggalkan Dipta dengan Tante Arini dan Isna saja. Baru sebentar aku menyusui Dipta, anak itu sudah ribut ingin turun dan bermain di balkon. Aku yang berniat mengikuti anakku, segera di cegah oleh Tante Arini yang segera menyudahi makannya demi bisa menjaga Dipta."Sudah, biar sama Tante dan Isna. Kamu lanjutin makan aja!" Aku mengangguk lalu meneruskan makanku yang tertunda. Baru saja satu suap, ponselku berdering cukup nyaring. Nama Bayu terpampang di layarnya. "Iya, Bayu?" Tanyaku sambil mengunyah makanan. "Safira, sepertinya aku sudah menemukan orang yang sabotase proyek kita di Indramayu!" Suara Bayu terdengar tegang di seberang. Aku tercekat, jemariku otomatis mengepal. “Kau yakin?!” “Sangat yakin, Safira. Lewat beberapa orang yang menutupi pekerjaannya. Ada baiknya kamu segera balik di Jakarta. Lagian Kakek dan Ayah
Sejak pertemuanku dengan Fafih, pikiranku tak pernah lagi bisa tenang. Sosok Fatih yang kini mengenalkan dirinya sebagai Raka terus saja menghantuiku setiap detik. Tatapan matanya yang kosong dan penuh kebingungan seperti menggoreskan luka baru di hatiku. Aku tak bisa hanya diam dan menunggu. Aku harus mendapatkan kepastian. Jika benar dia adalah Fatih, maka aku harus tahu sejauh mana hubungannya dengan Aryani. Sore itu, setelah urusan di klinik milik dokter Aryani selesai dan para pekerja sudah diperbolehkan untuk pulang, aku memberanikan diri untuk berjalan-jslsn sebentar di area klinik hingga di ujung belakang. Udara yang terasa panas dan sedikit lembab yang bercampur aroma debu membuat Jantungku semakin berdeguo tak karuan saat langkahku semakin dekat. Di halaman belakang, aku melihat Fatih yang sedang duduk sendirian sambil merapikan beberapa kardus. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap saja memancarkan pesona yang selalu kurindukan. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatka
Dengan berbagai pertimbangan, aku segera menenggelamkan diri dalam pekerjaan pembangunan kembali proyek di Indramayu. Selain aku bisa memantau perkembangannya, aku juga ingin lebih dekat dan mengetahui sosok laki-laki yang aku yakini sebagai Fatih. Hingga kesempatan itu datang saat aku merasa lelah setelah seharian menemani pekerja yang akan pulang. dari klinik. Karena lelah, aku memutuskan ke warung depan klinik untuk mencari segelas kopi. Dan.. di sanalah aku melihatnya. Fatih. Nafasku tercekat. Dia memang Fatih. Suamiku. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ia duduk sendirian di sebuah bangku kayu panjang, menghadap ke jalanan yang ramai. Dengan hanya mengenakan kaus oblong polos dan celana kargo, ia masih saja tampan seperti dulu. Saat pertama kali ia datang bersama Bapak untuk menjadi sopir. Meskipun dengan penampilannya yang begitu sederhana, tetap saja tak mampu membuang aura mahal yang biasa tampak dengan stelan berkelasnya. Secangkir teh hangat masih mengepul di
Pak Asep, manajer lapangan yang selama ini setia mendampingi para pekerja yang di rawat, ternyata sudah menunggu di pintu klinik saat mobil yang kutumpangi berhenti. Begitu melihatku turun, ia langsung berlari kecil menghampiri sambil merapikan helm proyek yang masih dikenakannya. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya penuh rasa hormat.“Assalamualaikum, Bu Safira,” sapanya sambil menunduk sopan.“Waalaikumussalam, Pak Asep,” jawabku sambil tersenyum tipis. “Bagaimana kondisi para pekerja, Pak?” Tanyaku membuka percakapan. “Alhamdulillah, sebagian besar sudah membaik dan pulang ke rumah masing-masing, Bu Safira. Tinggal beberapa yang patah tulang saja yang masih dirawat di sini,” jelasnya sambil mempersilakan aku masuk. “Mereka sangat senang karena Ibu langsung turun tangan menangani semua administrasi dan biaya. Mereka tak menyangka perusahaan benar-benar peduli seperti ini.” Ulangnya berkali-kali.Aku mengangguk kecil, tersenyum dan .encoba menahan rasa haru. Fatih pasti juga a
Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju hotel.Mobil yang kami tumpangi terasa begitu sesak, bukan karena ruangnya yang sempit, tetapi karena pikiranku yang penuh dengan pertanyaan dalam kepalaku. Jika hanya sekali aku melihatnya, mungkin saja itu halusinasu. Tapi aku melihatnya hungga dua kali. Tak mungkin kan jika halusinasi sejelas itu? Bram sesekali melirikku melalui spion tengah, tampak khawatir melihatku hanya duduk terpaku sambil menggenggam tangan Dipta erat-erat. Tante Arini duduk di sampingku, berkali-kali mencoba mengajakku bicara, tapi aku hanya mengangguk atau menggumam pendek tanpa benar-benar mendengar ucapannya.Bram sepertinya juga tak ingin banyak bicara. Namun, dari tatapan sekilas yang sesekali kulihat melalui cermin, jelas ia ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu. Tidak mungkin salah. Itu Fatih. Aku mengenal cara dia berjalan, cara dia menoleh… bahkan dari kejauhan pun aku bisa merasakan jika laki-laki itu adalah Fatih.Air mataku hampir jatuh lagi, tapi kuu