Share

7. Sopir Pengganti

Penulis: Banyu Biru
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 12:27:33

Fatih berhenti tepat di depanku. Napasnya terdengar berat. Lalu ia berkata pelan—terlalu pelan, tapi cukup jelas terdengar telinga, “Safira... kita harus bicara. Sekarang.”

Aku mengangguk, agak heran kenapa ekspresinya berubah serius. "Bicarakan saja."

"Kita masuk saja," ucapnya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku menuruti Fatih yang melangkah ke kamar tanpa banyak bicara.

Sesampainya di kamar, Fatih menghembuskan nafas keras lalu duduk di ranjang. Aku segera duduk di sisinya setelah menutup pintu kamar.

"Aku... harus pergi hari ini juga."

Aku mengernyit. “Kemana? Pakai izin segala.”

Fatih menghela napas lagi. “Jauh. Beberapa hari. Aku ada urusan dan harus pulang ke rumah.”

Ucapannya seperti tamparan keras. Baru saja badai mereda dan kini dia akan pergi? Apa kata orang-orang nanti?

"Urusan apa?"

Fatih tak langsung menjawab. “Panjang kalau diceritain. Tapi nanti aku kasih tahu kok, kalau urusannya udah kelar.”

Rumah Fatih jauh. Dia bukan orang asli desa sini. Bapak pernah cerita kalau Fatih sudah tidak punya keluarga lalu merantau ke luar kota. Setelah melihat lowongan kerja Bapak, dia tertarik lalu mendaftarkan diri sebagai sopir. Itu sudah setahun yang lalu.

“Ini ada hubungannya sama orang-orang tadi ya?” selidikku, mengingat dua orang sangar yang mendatanginya tadi.

Fatih menggaruk kepala. “Ya… bisa dibilang gitu.”

Aku tiba-tiba teringat ucapan Meta tentang debt collector. “Tapi ini bukan yang aneh-aneh kan? Kamu gak lagi kabur karena utang kan?”

“Astaghfirullah. Gak, Fir, suer!” Dia mengangkat kedua tangannya seperti bersumpah. Aku mengangguk. Sudah kuduga Fatih memang bukan orang seperti itu.

“Ya udah…” jawabku akhirnya.

Fatih mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dari saku kemeja lengan panjangnya. Tangannya menekan layar beberapa kali sebelum menempelkannya ke telinga.

"Assalamualaikum, Pak… Maaf mengganggu. Saya izin pamit sementara waktu. Ada keperluan mendesak yang harus saya urus. Saya juga mohon izin untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai sopir Bapak… dan menitipkan Safira kepada Bapak untuk sementara."

Fatih menjeda kalimatnya sesaat lalu melirikku, "Jangan cari sopir lain, Pak! Besok saya akan minta teman saya untuk menggantikan tugas saya sementara."

Aku mendesah pelan. Kalau Fatih pergi, artinya aku ditinggal bersama Meta dan Damar di rumah.

"Baik Pak, terima kasih!" Fatih meletakkan ponselnya di ranjang. Dia lalu menatapku, "Aku harus pulang. Hanya beberapa hari. Jangan khawatir, aku pasti pulang!"

Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus bagaimana dan berkata apa. Entah kenapa rasanya begitu berat melepasnya pergi.

"Maaf, Aku nggak bisa jelaskan sekarang," ucapnya pelan sambil menggenggam tanganku erat. “Tapi nanti aku bakal jelasin. Aku janji.”

Mendengar itu, aku mengangguk saja, meskipun sebenarnya aku mau menanyakan lebih banyak.

Satu jam kemudian, aku hanya bisa berdiri di beranda rumah sambil menatap mobil hitam yang tadi datang, kini menjemputnya pergi, menghilang di tikungan jalan desa.

*****

Keesokan harinya, rumah kembali ramai. Tapi bukan karena kabar Fatih. Melainkan... karena Meta.

"Fatih pergi ya? Kenapa? Jangan-jangan dia....?" Ekor matanya melirikku dan dia tersenyum sinis.

“Bukan urusan kamu!” jawabku, tak menghiraukannya.

“Kamu gak kesepian kan, Fir? Ditinggalin suami gitu aja!” Meta memanas-manasi. “Nyesel kali tuh abis nikah.”

Aku mencibir. “Emangnya kamu sama Damar, yang lengket terus tiap hari, gak tahu waktu, gak punya malu.”

“Kamu iri kan? Iyalah, suamimu aja pergi tuh!”

"Sudah cukup!" suara Ayah membentak dari dalam. "Kamu Meta, jangan sembarangan kalau bicara!" Bapak datang sambil merapikan seragamnya. Akhir-akhir ini, beliau selalu tegas kepada Meta.

Menjelang sore, sebuah mobil pa***o spo** berhenti di depan rumah. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan postur tegap turun dari kursi kemudi.

“Permisi, apa ini rumah Pak Lurah Atmojo?” tanyanya sopan pada Ibu yang sedang membersihkan halaman. Aku yang sedang mengelap motor di garasi, menoleh ingin tahu.

“Betul. Maaf, Anda siapa ya?” Ibu meletakkan gagang sapu dan melap tangannya dengan ujung baju.

Pria itu menunduk hormat. “Nama saya Bram. Saya ditugaskan oleh Mas Fatih untuk menggantikan Mas Fatih sementara sebagai sopir. Sekaligus menjaga Ibu Safira selama Mas Fatih tidak ada.”

Aku menatapnya dengan penuh curiga. "Menjaga... aku? Maksudnya?" Gumamku pelan.

“Betul, Bu. Saya menjalankan perintah Mas.Fatih!” jawabnya sopan, seperti seorang prajurit yang siap melindungi tanpa banyak bicara.

Ibu mengangguk lalu membawa Bram masuk menemui bapak. Aku bermaksud menyusul, sayangnya langkahku berhenti di depan pintu saat melihat Damar. Dia tersenyum dengan aneh.

"Buruan minggir, mau lewat nih!" halauku gemas.

"Kamu makin galak aja, sih Fir,” katanya memancing.

"Bukan mahram. Gak usah sok perhatian. Minggir!" Tanganku mengibas udara. Bukannya minggur, Damar justru semakin mendekat.

"Ehem!" Meta berdehem. Damar sontak mundur saat Meta berjalan mendekatiku.

Tanpa banyak kata, aku melewati mereka berdua.

"Siapa, Pak?" Aku mendekat ke arah Bapak yang sedang membaca laporan di meja kerjanya. Bapak menatapku sambil melepas kacamatanya.

"Oh, Bram? Suruhan Fatih. Biar bapak.gak repot cari sopir lain. Katanya juga yang jaga kamu selama Fatih pergi!"

Sejak kapan aku jadi seseorang yang perlu dijaga? Dasar. Mataku melihat Bram yang sedang keluar dari pintu kamar yang dulu dipakai Fatih.

Tiba-tiba saja aku merindukannya! Ah, bukan-bukan. Aku menggelengkan kepala pelan.

"Safira. Kamu gak lagi sibuk, kan?" Ibu berjalan sambil merapikan sanggulnya.

"Kenapa, Bu. Rapi banget!" tanyaku heran melihat penampilan Ibu yang tak biasa.

“Ibu mau ke mall kota. Kita beli sayur dan lauk untuk beberapa hari ke depan!"

"Sekarang?”

"Ya iya. Masak tahun depan!" Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sekalian angin-anginan. Kepala Ibu sumpek!"

"Ya udah. Aku siap-siap!" Ibu mengangguk tapi belum sempat aku melangkah, Bram mendekat.

“Bu Lurah mau jalan?” tanyanya dengan suara tenang.

“Iya, Bram,” jawab Ibu ramah. “Sama Safira.”

“Biar saya yang antar Bu,” ucap Bram cepat. “Mobil sudah saya panaskan!"

Aku menatap Ibu dan Bapak bergantian.

"Ini perintah Mas Fatih!" Bram seperti menegaskan sesuatu.

"Oh!" Ibu mengangguk-angguk paham.

"Mari, Bu. Mbak Safira biar siap-siap dulu. Mari Pak!" Bram mengantar Ibu ke depan. sekarang, tinggal aku dan Bapak yang saling pandang.

Tak butuh waktu lama, mobil segera melaju ke arah kota. Tapi aku bisa merasakan sorot mata orang-orang di jalan yang kami lewati. Beberapa bahkan sengaja berhenti hanya untuk memandangi kami, lalu berbisik-bisik dengan tatapan mencurigakan.

“Orang-orang ini... memang nggak ada capeknya ngomongin orang,” decakku sebal.

Bram yang fokus menyetir langsung menoleh. Tatapan matanya menajam lalu kembali menatap jalanan desa.

"Yah, beginilah di desa, Safira. Segala hal yang kita lakukan akan selalu jadi perhatian. Kamu anak lurah. Apalagi sejak masalah kamu sama Damar dan Meta itu. Entah bagaimana mereka tiba-tiba memojokkan kita. Ibu sampai pusing ditanya macam-macam soal kalian," keluh Ibu.

Aku terdiam merasa bersalah. Sampai hari ini, aku dan Bapak menutup rapat masalah Damar dan Meta.

Begitu kami tiba di tujuan, dengan sigap Bram turun membukakan pintu.

"Gak usah dibukain pintu, Mas Bram. Gak papa!" tolakku halus.

“Maaf, Mbak Safira. Saya hanya menjalankan tugas dari Mas Fatih!" kata Bram sopan.

Aku mengangguk singkat mengalah. “Baiklah!"

Bram begitu telaten mengikuti kami. Bahkan memaksa untuk membawakan semua barang belanjaan ibu tanpa mengeluh.

Dalam hatiku, aku mulai bertanya-tanya sambil menatap postur Bram yang tak seperti sopir pada umumnya. Badannya tegap dan gagah, seperti tentara.

Siapa sebenarnya Bram? Apa kaitannya sama Fatih sampai Fatih mempercayakanku dan keluargaku padanya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   39. Rencana Dadakan

    Setelah hampir satu jam menemaniku, Elena akhirnya pamit. Ia mencium kedua pipiku dan berjanji akan datang lagi besok. Aku mengangguk, mengantarnya dengan senyum tipis. Tapi setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyergap. Aku menatap langit-langit kamar. Sinar matahari mulai redup. Rasanya... damai sekaligus hampa. Tiba-tiba, ponselku yang diletakkan di nakas bergetar. Nada deringnya menyayat sunyi. Aku menoleh, dan nama itu terpampang jelas di layar.Nomof Fatih. Jantungku berdegup. Tanganku ragu saat meraihnya, tapi akhirnya kutekan tombol hijau. "Halo?" suaraku lirih. "Safira!" Suara Fatih terdengar panik. Nafasnya terdengar berat. "Kamu... kamu gak apa-apa, kan? Aku baru tahu dari Bram... kenapa kamu gak kabari aku, Safira?" Aku diam sejenak, menatap luar jendela untuk mengusir lara. Suaranya... hangat sekaligus asing bagiku kini. "Aku baik-baik saja," jawabku datar. "Bram sudah menjagaku. Dokter juga bilang bayinya selamat. Jadi... kamu gak perlu khawatir." "Safira.

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   38. Teman Laknat

    Hari kedua dirawat. Aku masih harus bed rest total sesuai saran dokter. Bapak dan Ibu pamit sejak pagi karena ada rapat penting di kelurahan yang tak bisa ditinggalkan. Mereka merasa tenang karena ada Bram yang menjaga dan mengawasi kebutuhanku. Aku sendiri tak masalah karena perutku tak lagi terasa sakit. Dan Bram yang setia menunggu sejak semalam kuminta untuk pulang dan istirahat. “Mbak, saya pulang. Kalau Mbak Safira butuh apa-apa segera telepon saya, ya?" katanya sambil menyisakan segelas air putih dan roti di nakas. Aku mengangguk. "Mbak Safira, beneran gak papa saya tinggal pulang?" Bram kembali menatapku, ragu. Aku mengangguk lemah, "Beneran, Mas Bram. Mas Bram pulang saja. Mas Bram capek nungguin saya dari semalam loh!" Bram manggut-manggut. "Mbak Safira sudah menghubungi Mas Fatih?" Tanya Bram kembali. Aku menggeleng. "Kemaren aku udah menghubungi Fatih berkali-kali. Gak ada tanggapan! Gak papa, Mas Bram. Aku udah baikan kok. Gak usah kabarin Fatih. Biar dia sel

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   37. Kabar Menggembirakan

    Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Fatih tidak bisa dihubungi. Bram pun terkesan menyembunyikan sesuatu. Aku merasa sendirian di tengah badai informasi yang tiba-tiba menerpaku. Sesaat kemudian, perutku terasa kram. Berita pertunangan Fatih dan Nancy, ditambah kebungkaman Bram, memicu sakit hingga ke perut. Ternyata tak hanya hatiku yang sakit, perutku juga ikut terasa sakit. Aku merosot ke lantai, memegangi perutku yang terasa begitu nyeri. Napasku tersengal, pandanganku mengabur. Apa ini? Kenapa rasanya begini sakit? Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir di antara kakiku. Aku mulai panik. Tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah aku hamil?Kenapa aku tak merasakan kehamilanku? Dengan tangan gemetar, kuraba area itu. Cairan kental, bercampur kehangatan, membuatku merasakan firasat buruk. Aku menunduk, dan pandanganku jatuh pada noda merah pekat yang luruh di kaki. Darah! "MAS BRAMMM!" Teriakanku pecah, membelah keheningan rumah. Suarak

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   36. Kabar Mendua

    Aku terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meski bayangan Damar semalam masih menari-nari di benakku. Setidaknya, semua sudah jelas. Aku sudah memilih, dan pilihanku adalah Fatih. Keyakinan itu mengalir hangat, menenangkan sisa bara emosi yang sempat membakar dadaku. Pagi seperti biasa. Aku bersiap dengan rutinitasku untuk mengajar. Sesekali melirik infotainment yang selalu ibu putar untuk menemaninya beraktifitas pagi. Suguhan yang menayangkan berita para selebritis dan sosialita tanah air. Hingga berita itu muncul. Saat pembawa acara dengan intonasi ceria mengumumkan, “Pemirsa, kabar mengejutkan datang dari dunia sosialita! Salah satu pewaris Keluarga Maulana. pemilik Fath Company yang merajai bisnis property dan beberapa tambang ini, kemaren sore resmi bertunangan dengan Nancy Gumelar. Acara meriah ini tentu memakan biaya yang tak sedikit. ...!" Aku tak bisa lagi mendengarnya. Telingaku tak bisa lagi merespon. Jantungku berdebar tak karuan. Maulana? Fath Company? La

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   35. Kemarahan Bapak

    Pintu kamar kututup perlahan. Tubuhku lemas, bukan karena lelah secara fisik, tapi karena jiwaku nyaris habis terbakar oleh emosi yang kutahan sepanjang malam. Kukunci pintu, lalu bersandar pada dinding. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya masih ada bara yang menyala di dada. Damar benar-benar sudah melewati batas. Suara dari ruang tengah masih terdengar samar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjauh. Aku ingin malam ini berakhir. Aku hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Namun, baru saja aku hendak duduk di atas tempat tidur, suara berat dan keras terdengar menggema dari luar kamar.Brak! Aku terkesiap. "Kalian kira semudah itu? Kalian pikir apa kesalahan Damar samoai Safira harus kunikahkan dengan sopir!" Aku melangkah pelan ke arah pintu. Tidak membukanya, tapi menempelkan telinga. Nafasku tertahan. "Tapi Pak Atmojo, Damar tidak bisa melupakan Safira. Dia sangat merasa bersalah. Itu ssbabnya dia dia datang maalm ini dan kami terpaksa ikut untuk menga

  • Terpaksa Menikahi Sopir Bapak   34. Permintaan Damar

    Selepas isya, seperti biasa, kami berkumpul di ruang tengah. Suasana malam yang seharusnya hangat tiba-tiba jadi hening kala Damar dan Meta kembali datang tanpa pemberitahuan. Bapak dan ibu saling pandang sementara aku memutar mata malas. Entah kenapa dengannya, seharian ini, senang betul cari pekara. "Maaf, Lak Bu saya datang lagi!" Damar duduk seolah tak pernah terjadi apapun. Bapak yang justru tampak canggung, Ibu berusaha tersenyum meski sorot matanya jelas tak menyukai suasana ini. Aku duduk di seberang mereka, masih memegang toples kue yang kubawa sejak tadi. Akhir-akhir ini, nafsu makanku memang meningkat dan aku tak bisa menahannya. Perutku gampang lapar, tapi selera makanku menguap saat dua manusia ini muncul lagi. Meta duduk di sebelah Damar, tangannya bersedekap, wajahnya cemberut sejak awal. Seolah menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sedangkan Damar… ah, pria itu justru terus-menerus menatapku, seakan hanya aku satu-satunya yang ada di ruangan ini. "Safi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status