Degup jantung Lisna tak beraturan melihat tingkah lelaki yang ada di depannya. Bayu tampak menyeringai seolah menyimpan niat buruk. Saat itu Lisna mundur satu langkah dan meminta agar Bayu segera membukakan pintu.
"Apa yang ingin kamu lakukan?! CEPAT BUKA PINTUNYA!" teriak Lisna. Dia terlihat panik. "Hehe... Kenapa buru-buru, Sayang. Orangtuamu yang mempercayakan aku padaku. Jadi sekarang kita bersenang-senang di sini, hehe." Bayu terkekeh pelan. "JANGAN KURANG AJAR KAMU! AKU MINTA BUKA PINTUNYA SEKARANG! CEPAT!" Lisna terus mengeraskan suaranya. Tetapi hal itu justru membuat Bayu tertawa, dia seolah senang melihat perempuan itu kepanikan. Tatapan matanya penuh nafsu, dia memperhatikan Lisna dari atas hingga ke bawah. "Kamu benar-benar cantik, Sayang... Kamu perempuan yang sangat istimewa," ucap Bayu. Dia mengulurkan tangannya hendak menyentuh Lisna. Akan tetapi, dengan cepat Lisna menangkisnya dan refleks tangan satunya menampar wajah Bayu dengan begitu kerasnya. PLAK! Tamparan itu membuat Bayu tersentak. Sontak dia merasa terpancing emosinya karena menurutnya Lisna sudah berani. Harga dirinya merasa direndahkan oleh perempuan di hadapannya. "Berani yah kamu, hah?!" Bayu dengan cepat meringkus Lisna. Saat itu Lisna berontak, namun tenaganya tidak mampu melepaskan dekapan Bayu yang memeluk erat tubuhnya. Kemudian Bayu yang merasa kesal, dia mengangkat Lisna lalu membantingnya di atas tempat tidur. Belum sempat Lisna bangkit, Bayu cepat-cepat mendindih tubuhnya. "Mau kemana kamu? Hah!" Suara Bayu bergetar menandakan amarahnya memuncak. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Lisna, hingga perempuan itu tidak bisa bergerak. "Lepaskan aku! LEPASKAN AKU..." Lisna terus berusaha berontak. Tetapi hal itu tidak membuatnya bisa melepaskan cengkraman Bayu. "Hehe... Teriak lah sekeras-kerasnya! Tidak akan ada orang yang akan perduli sama kamu!" geram Bayu dengan mata yang menatap tajam. "Aku mohon lepaskan! Aku mau pulang!" pinta Lisna. Matanya berkaca-kaca. "Dengar! Aku tidak akan mengantarkanmu pulang sebelum kamu memuaskan aku!" Bayu menyeringai. "B4jingan kamu! LEPASKAN! TOLONG... TOLONG..." Di situ Lisna menjerit-jerit meminta tolong. Tetapi dia justru ditertawakan oleh Bayu. Perasaan Lisna begitu hancur, dia tidak menyangka kedua orang tuanya akan mengenalkannya dengan lelaki seperti Bayu. Posisinya saat itu sangatlah sulit, berontak pun tidak akan mampu membuat Bayu mau membiarkannya keluar dari kamar hotel itu. "Aku mohon, Bayu. Lepaskan aku... Aku nggak mau melakukan hal buruk sama kamu!" Lisna tidak kuasa menahan air matanya. "Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Aku pasti akan mengantarkanmu pulang. Tapi dengan syarat. Puaskan aku dulu! Hehe," ucap Bayu. Dia terlihat bernafsu terhadap Lisna yang memang memiliki paras yang cantik serta tubuh yang molek. "Tidak! Aku nggak mau!" Lisna kembali berontak, dengan sisa-sisa tenaganya dia berusaha untuk bisa lepas dari cengkeraman Bayu. Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja suara dering telepon terdengar. Bayu langsung menoleh, ternyata ponselnya lah yang berdering. Awalnya dia mengabaikan panggilan yang masuk itu, namun karena suara itu terus-menerus berulang, akhirnya dia melepaskan Lisna dan segera meraih ponselnya. Sementara Lisna terengah-engah, ingin rasanya dia kabur saat itu juga, tetapi dia sadar pintu itu di kunci. Di lain sisi Lisna ketakutan jika hal buruk terjadi padanya, dia tidak mau dinodai oleh lelaki yang baru dikenalnya beberapa hari saja. Sambil mencari cara untuk bisa keluar, Lisna mendengarkan percakapan Bayu yang entah dengan siapa, namun sepertinya itu tentang bisnisnya. "Ya tuhan... Semoga dia ajak aku pulang," ucap Lisna dalam hatinya. Sekitar tiga menitan, Bayu menutup teleponnya. Dia kembali menatap ke arah Lisna yang sudah duduk di tepi tempat tidur itu. Degup jantung Lisna berdebar saat Bayu menatapnya dengan senyuman aneh. "Kamu tetap di sini! Aku mau menemui rekan bisnisku sebentar," ucap Bayu diakhir tawa kecil. Kemudian dia melangkah mendekati pintu. "Aku mau pulang!" tegas Lisna sambil mendekati pintu itu. Bayu langsung menoleh. "Eh, urusan aku sama kamu belum selesai. Kamu tetap di sini, dan 30 menitan lagi aku akan kembali," geram Bayu tajam. "Nggak mau! Kamu nggak sadar, kita diminta untuk tidak pulang larut malam! Apa kamu mau orangtuaku marah? Hah!" cetus Lisna kembali mengeraskan suaranya. "Hehe ... Marah? Orangtuamu marah sama aku? Coba aja kalo berani? Apaa kamu gak mikir, siapa yang mengangkat perusahaan ayahmu? Kalo saja tidak ada aku, kamu dan keluargamu sudah jadi gembel! Paham kamu!" Pernyataan Bayu yang seperti itu dan terdengar keras, membuat Lisna langsung terdiam. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh orangtuanya. Lisna merasa dirinya hanya dijadikan bahan untuk memperlancar bisnis orangtunya. Hal itu membuat dia merasa kecewa terhadap ayahnya. "Sudah sana. Ingat! Kamu harus menuruti apa yang aku inginkan. Jika tidak, aku tidak segan-segan akan menghancurkan bisnis orangtuamu!" Setelah melontarkan kata-kata yang mengandung ancaman, Bayu dengan cepat melangkah keluar dan membanting pintu itu dengan keras, sebelum akhirnya terdengar suara pintu itu terkunci dari luar. Lisna tertegun dengan keadaan saat itu. "Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin keluar... Kenapa sih papah sama mamah jahat banget sama aku?" Lisna terduduk di depan pintu, tangisnya pecah begitu saja. Selang beberapa saat, Lisan seolah baru sadar. Dia bangkit dan buru-buru mengambil ponsel di dalam tasnya. Dengan tangan gemetaran dia menyalakan ponsel itu laku mencari nama kekasihnya. Setelah menemukan nama Rendi, tanpa pikir panjang lagi, Lisna segera menghubunginya. Panggilan itu menandakan masuk, tetapi tidak juga diangkat oleh Rendi. Namun Lisna tidak mau menyerah, dia kembali menelpon kekasihnya dengan harapan Rendi bisa segera datang dan menolongnya untuk keluar dari hotel itu. "Duh... Kenapa gak diangkat-angkat sih," lirih Lisna sambil menghapus air matanya. *** Sementara itu. Di sebuah cafe, Rendi tengah duduk dengan seorang perempuan cantik, yang usianya kisaran 40 tahunan. Dari penampilannya perempuan tersebut terlihat menggoda dan berkelas. Tetapi, mereka berdua yang awalnya terlihat asik berbincang, seketika perempuan yang bernama bu Elsa itu merasa terganggu karena suara dering telepon milik Rend kerap kali berdering. "Siapa yang nelpon sih, Ren? Harusnya kamu matikan ponsel kalau sedang bersama aku," ucap bu Elsa dengan nada keberatan. "Owh iya maaf, Tante. Sebentar," jawab Rendi merasa tidak enak hati. Tetapi dia lebih tidak tega jika harus mematikan ponselnya. Karena dia melihat jika kekasihnya lah yang menelpon. Rendi merasa tidak mau mengecewakan Lisna. Akan tetapi, sekarang posisinya sudah bersama perempuan yang akan membayarnya. Sehingga mau tidak mau, Rendi pun mematikan ponselnya. "Maafkan aku, Sayang," ucapnya dalam hatinya. "Udah jam sembilan lebih nih, sebaiknya kita ke hotel aja sekarang yuk," ajak bu Elsa tersenyum. "Oke, Tante. Ayok," jawab Rendi berusaha terlihat biasa saja, meski sebenarnya dia gugup untuk melakukan profesi itu. Keduanya bergegas memasuki mobil, lalu meninggalkan halaman cafe itu. Di dalam mobil perempuan yang bernama Elsa itu tidak henti-hentinya memuji ketampanan Rendi. Saat itu Rendi berupaya menyikapinya dengan santai, dia tidak mau terlihat gugup walaupun itu hal yang baru pertama kalinya akan ia lakukan dengan profesi barunya sebagai seorang gigolo. ---°-- Sementara itu, Lisna semakin kebingungan karena seseorang yang sangat ia harapkan akan bisa menolongnya keluar dari hotel itu. Tetapi justru nomor teleponnya tidak bisa dihubungi kembali. "Kenapa malah dimatiin? Aku butuh bantuanmu, Mas. Aku ingin keluar dari sini," ucap Lisna yang kembali menangis. *****Bulan berikutnya, cuaca cerah seakan menyambut hari yang spesial itu. Langit biru tanpa awan dan hembusan angin lembut membuat suasana semakin tenang."Sayang.., ayo siap-siap," seru Rendi dari ruang depan sambil merapikan kerah kemejanya.Lisna keluar dari kamar dengan bayi mereka yang kini mulai bisa duduk di gendongan kain. "Mau ke mana sih, Mas tumben kamu rapi banget?"Rendi tersenyum penuh misteri. "Pokoknya ikut aja."Lisna mengerutkan dahi, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. "Oke, aku ikut, asal jangan kejutan aneh-aneh.""Tenang, kali ini kejutan manis," ujar Rendi sambil membuka pintu.Perjalanan mereka diiringi canda kecil dan gelak tawa bayi mereka yang sesekali menggumam lucu. Di dalam mobil, suasana hati Rendi terlihat begitu ringan. Ia menggenggam tangan Lisna erat sambil menyetir dengan tangan satunya."Kamu tahu, Sayang…” Rendi membuka suara, matanya menatap ke jalan. "Aku jauh lebih bahagia sekarang."Lisna menoleh. "Iya, aku lihat. Kamu kelihatan lebih tenang a
Satu bulan telah berlalu sejak Rendi kembali bekerja di perusahaan lamanya. Kehidupan rumah tangga mereka perlahan membaik. Setiap pagi Rendi berangkat dengan semangat, dan setiap malam ia pulang dengan senyum di wajahnya. Gaji yang layak, lingkungan kerja yang sehat, dan kepercayaan yang mulai pulih dari Lisna, semuanya membuat hati Rendi lebih tenang.Di rumah, Lisna juga merasa lebih damai. Anak mereka tumbuh sehat, dan kini ia bisa menyaksikan sendiri perubahan besar pada suaminya.Suatu sore, setelah menidurkan anak mereka, Lisna duduk di teras bersama Rendi yang sedang menyeduh kopi."Kamu tahu, Mas?" ucap Lisna sambil menatap langit jingga."Apa, Sayang?" Rendi menyerahkan secangkir kopi padanya."Jujur, aku senang… karena akhirnya aku bisa melihat kamu jadi sosok ayah yang baik buat anak kita."Rendi menoleh, sedikit terkejut. "Maksud kamu?"Lisna tersenyum. "Dulu aku sempat takut. Takut kamu gak bisa berubah. Tapi sekarang… aku lihat sendiri. Kamu rajin, kamu perhatian, kamu
Namun momen haru itu terpotong oleh tangisan bayi mereka dari kamar sebelah. Rendi dan Lisna saling berpandangan, lalu segera bangkit dan menuju kamar si kecil.Di kamar yang diterangi lampu tidur redup, bayi mereka menangis kencang. Rendi langsung menggendongnya sementara Lisna menyiapkan botol susu."Sini, Mas. Aku kasih susunya," ucap Lisna.Rendi mengangguk dan menyerahkan bayi mereka ke pelukan Lisna. Ia menatap anak mereka dengan tatapan penuh kasih dan rasa bersalah."Maafin Papa ya, Nak… Papa janji bakal jadi ayah yang baik."Bayi itu perlahan tenang setelah menyusu, membuat suasana rumah kembali damai. Rendi duduk di sisi tempat tidur.Beberapa menit kemudian, suara dering ponsel memecah keheningan.Rendi buru-buru mengambil ponselnya dari meja. Di layar tertera nama yang sangat ia kenal: Pak Dimas – CEO perusahaan tempat Rendi dulu bekerja sebelum dipecat.Lisna menoleh sambil mengangkat alis. "Siapa lagi, Mas?" tanyanya menekan."Pak Dimas," jawab Rendi, masih ragu menekan
Setelah melihat anaknya tertidur lelap, Rendi dan Lisna masih berang di tempat tidurnya. Mereka berdua tengah mengobrolkan tentang usaha. Hal itu membuat Lisna merasa heran dan kebingungan dengan perkataan suaminya. "Kenapa kamu pengen buka usahasendiri? Kan kamu udah kerja, Mas," ucap Lisna menatap penuh suaminya. "Setelah aku pikir-pikir, aku memilih untuk berhenti dari kerjaan itu. Aku enggak mau terus-terusan dihantui rasa bersalah," jawab Rendi pelan.Lisna memandang baik-baik suaminya yang berbaring di sebelahnya. Lisna masih kebingungan dengan perkataan Rendi. "Maksudnya gimana sih, Mas? Apa yang membuat kamu ingin berhenti dari kerjaan itu? Bukankah itu cepet dapet hasilnya?" Lisna merasa heran. "Iya, aku tahu kerjaan itu cepet banget dapet uang. Tapi aku enggak mau terus-terusan membohongi kamu, aku enggak mau mengkhianati kamu. Yang aku inginkan saat ini, kita bareng-bareng ngurus anak, aku pengen buka usaha sendiri entah itu buka toko atau usaha apa, yang jelas aku ing
Merasa kakinya ditepuk-tepuk akhirnya Rendi terbangun, ia membuka matanya perlahan dan langsung menatap ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya. "Jam berapa sih ini, Sayang?" tanya Rendi dengan nada yang terdengar masih ngantuk. "Udah buruan bangun. Ada yang sudah nungguin kamu tuh," balas Lisna dengan raut wajah yang terlihat marah.Rendi membuka matanya lebar-lebar ketika istrinya menunjukan Handphone-nya dan memperlihatkan isi pesan itu. Sontak Rendi kaget melihat kejadian itu, ia takut kalau istrinya mengetahui profesinya yang seorang gigolo. "Ada bisnis apa kamu sama perempuan itu?" tanya Lisna matanya menatap tajam."Kerja apa kamu sebenarnya? Kamu bilang kalau kamu itu kerja bareng sama paman kamu, terus apa maksudnya dengan perempuan yang nungguin kamu?" Lisna terus mencecar melontarkan pertanyaan yang membuat Rendi tidak bisa berkata banyak. Rendi berusaha untuk membuat istrinya tenang dan tidak memikirkan sesuatu hal yang buruk terhadapnya. "Sayang ... Kamu dengerin d
Rendi merasa sudah sangat kelelahan, namun biar bagaimanapun ia tidak mau mengecewakan perempuan yang sudah datang jauh-jauh untuk mendapatkan kepuasan darinya. Hingga akhirnya Rendi berusaha untuk melayani tiga perempuan lagi dan berupaya untuk bisa memuaskan mereka bertiga.Rendi meminta untuk istirahat sejenak karena nafasnya terasa berat. Tante Dewi yang melihat itu, ia sebenarnya merasa kasihan terhadap keponakannya itu, namun Rendi yang sudah menyatakan diri untuk menjadi seorang gigolo supaya bisa mengangkat kembali ekonomi keluarganya. Dengan begitu, maka tante Dewi tidak bisa berbuat banyak selain menenangkan Rendi dan terus menyemangatinya."Istirahat dulu aja, Ren," ucap Tante Dewi."Iya, Tante... Ini gila, mereka hyper semua," jawab Rendi."Gak apa-apa, Ren... Yang penting kamu dapat uang banyak hari ini," balas tante Dewi.Setelah merasa cukup beristirahat dan menikmati minuman, Rendi kembali melayani satu-persatu dari ketiga perempuan itu. Hari semakin sore, stamina pun