“Terlalu berlebihan,” gerutu Jihan lirih, suaranya nyaris tak terdengar dan pandangannya sengaja ia alihkan ke arah jendela.Bayu yang tengah duduk di sofa, masih dengan gelas kosong bekas susu hangat di tangannya, mengerutkan alis. Suara pelan itu tak luput dari telinganya.“Apa kamu bilang?” tanyanya dengan nada setengah tidak terima. Sorot matanya tajam, menuntut penjelasan.Jihan menghela napas pelan, lalu menatap Bayu dengan pandangan penuh pertimbangan. Ia tahu kata-katanya barusan cukup menyinggung, tapi ia tak berniat menyakiti.“Terlalu berlebihan, Mas,” ulangnya, kali ini lebih tegas. “Saya bukan ibu hamil yang manja yang hanya rebahan saja sepanjang hari. Justru kalau saya nggak ngapa-ngapain, malah jadi bete. Bosan.”Bayu meletakkan gelas di atas meja dan bersandar. Jemarinya saling bertaut, menandakan ia mencoba menahan emosi. Tapi tak ada amarah, hanya kekhawatiran yang terlalu besar.“Ya, saya tahu kamu bukan tipe yang manja. Kamu wanita mandiri, Jihan. Bahkan terlalu m
Jihan tertawa lepas mendengar ocehan Bayu yang tampaknya tidak kuat menghadapi rasa pedas.Suaranya melengking pelan, wajahnya bersinar senang seperti anak kecil yang berhasil menjahili temannya.“Nggak akan membunuh kok, Mas. Ini tuh enak. Mas Bayu aja yang lemah,” cibir Jihan dengan nada menggoda sambil menyendok tahu gejrot lagi dan memasukkannya ke mulutnya sendiri, wajahnya puas menikmati rasa pedas asam manis yang melekat di lidah.Bayu menghela napas panjang, tapi sorot matanya berubah. Seolah harga dirinya sebagai seorang pria—apalagi seorang suami—telah terusik.Tanpa berkata apa-apa, ia meraih piring tahu gejrot dari tangan Jihan dengan gerakan cepat dan mantap. Jihan terperanjat, tidak menyangka Bayu akan seberani itu.“Biar saya habiskan. Kamu pikir saya lemah? Tentu saja tidak!” ucapnya lantang, meski tatapannya sekilas masih menunjukkan sedikit keraguan.Ia mulai menyendok satu potong tahu lagi, lalu menelannya dengan penuh perjuangan. Rasa pedas menyambar langsung begit
“Kondisi bayinya sangat sehat dan tumbuh dengan baik,” ucap dokter kandungan sambil menurunkan alat USG, lalu menatap hangat ke arah Jihan yang masih terbaring di atas ranjang periksa.Bayu, yang berdiri di sisi ranjang sambil menggenggam jemari Jihan, menarik napas panjang seolah menghela rasa khawatir yang selama ini diam-diam ia pendam.Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu penuh kebingungan dan ketegangan, hatinya terasa sedikit lega.Kali ini, Bayu memang sengaja menyempatkan diri untuk menemani Jihan ke rumah sakit.Sudah dua bulan usia kehamilan Jihan, dan baru hari itu ia benar-benar menyadari betapa nyatanya kehidupan kecil itu tumbuh di dalam perut wanita yang kini sedang ia tatap.“Anda yakin kan, Dok? Kalau calon bayi kami baik-baik saja? Sudah berapa minggu usianya?” tanya Bayu memastikan.Dokter itu mengangguk mantap, senyum hangatnya menenangkan. “Sangat yakin. Usianya sudah delapan minggu. Istri Anda menjaga kehamilan ini dengan sangat baik. Jadi, tidak perlu k
Satu bulan lamanya Bayu tidak pernah pulang ke rumah lamanya.Sejak pertengkaran terakhir dengan Nadya, ia memilih untuk menjauh sementara dari keruwetan yang tak kunjung reda di rumah itu.Bayu tahu, keadaannya tak ideal, tapi saat ini, ia lebih memilih untuk menemani Jihan—perempuan yang sedang mengandung anaknya, yang membutuhkan ketenangan dan perhatian, bukan pertengkaran.Sedangkan Nadya... wanita itu hanya bisa terus menyalahkan tanpa benar-benar mengerti situasi yang mereka hadapi.Hari itu, Bayu tengah menatap layar laptopnya di kantor, mencoba menyelesaikan pekerjaan meski pikirannya tak sepenuhnya tenang. Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk dan dibuka begitu saja.“Mas Bayu?” suara Nadya terdengar dari balik pintu, membuat tubuh Bayu refleks menegak.Ia menoleh perlahan, sudah menduga akan terjadi percakapan yang tidak menyenangkan.“Ada apa, Nadya?” tanyanya dengan nada datar, seperti tak punya cukup tenaga lagi untuk menanggapi emosi istrinya.Nadya masuk ke ruangan dengan
“Jihan?”Sontak perempuan itu terkejut bukan main.Suara itu… suara yang sangat ia kenali, suara yang kerap memanggilnya dengan nada tenang namun kini terdengar seperti dentuman keras di kepalanya.Jihan sontak membalikkan badan, dan matanya membulat penuh keterkejutan ketika mendapati Bayu berdiri tak jauh darinya.“Mas Bayu?” ucapnya tergagap. Suaranya lirih, seolah lehernya tercekat oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.“Mas Bayu lagi ngapain di sini?” tanyanya kemudian, mencoba bersikap tenang, meski napasnya tak beraturan.Tangannya masih memegang sendok kecil berisi susu bubuk yang hendak ia seduh. Sejenak, suasana menjadi sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara ketegangan yang merayap di udara.Bayu melangkah mendekat. Matanya langsung mengarah pada kotak susu formula yang tergeletak di meja kecil dapur.Alisnya bertaut dalam kerutan tajam. Dengan gerakan cepat, ia meraih kotak susu itu dan menatap labelnya—susu khusus ibu hamil. Tatapannya berubah.
“Saya tidak bisa menceraikan kamu dalam waktu dekat ini, Jihan. Mama sudah tahu kamu,” ucap Bayu dengan suara pelan.Ia menatap perempuan di hadapannya itu dengan tatapan yang sarat keraguan dan kelelahan.Wajah Jihan begitu tenang, namun Bayu tahu, jauh di balik ketenangan itu ada hati yang menahan banyak tanya, banyak luka yang belum sempat dibalut.“Kamu tidak keberatan, kan?” tanyanya kemudian, mencoba mengukur reaksi Jihan, berharap ia tetap sekuat biasanya.Jihan menghela napas panjang. Tarikannya lambat dan dalam, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin keluar—mungkin rasa kecewa, atau mungkin sekadar kelelahan emosional yang sudah terlalu lama ia pendam.Matanya menatap Bayu dengan teduh, namun penuh kehati-hatian.“Bagaimana dengan Mbak Nadya?” tanyanya pelan, nyaris seperti gumaman.Bayu menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dan menjawab dengan nada yang datar namun mantap.“Itu biar jadi urusan saya. Kamu tidak perlu memikirkannya. Mama sudah tahu kalau saya punya d