“Mohon maaf, Mbak Jihan. Pihak rumah sakit sudah menerapkan sistem seperti itu. Kami tidak bisa melakukan apa pun jika Anda belum membayar administrasinya.”
Ucapan itu meluruhkan benteng terakhir Jihan. Air matanya pecah, bergulir tanpa henti seperti hujan di akhir musim kemarau, menggenangi pipinya yang pucat.
Pikiran tentang kehilangan Bastian, satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kepergian kedua orang tua mereka, membuat jantungnya seperti ditusuk ribuan duri.
“Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar, sembari menutup wajah dengan kedua tangan yang bergetar. Isak tangisnya seperti gema kesedihan yang tak henti-hentinya memukul dinding ruangan itu.
“Jihan?” Sebuah suara familiar memecah keheningan, dan dari seberang lorong, Bayu berdiri terpaku, keningnya berkerut.
Wajahnya menyiratkan keheranan yang bercampur dengan kekhawatiran, sementara di sebelahnya, Nadya memandang dengan tatapan penuh tanya.
“Siapa dia, Mas?” bisik Nadya kepada suaminya itu.
Mereka baru saja keluar dari ruangan dokter kandungan, membawa kabar pilu yang masih menggetarkan hati mereka—bahwa Nadya tidak dapat memiliki anak.
Bayu, yang jiwanya telah tergores luka oleh kenyataan itu, kini dipaksa menghadapi misteri lain yang tergurat di wajah Jihan.
“Dia … salah satu karyawan di kantorku,” jawabnya dengan nada datar, namun tatapannya tetap tertuju pada Jihan, seakan mencoba membaca rahasia yang tersembunyi di balik air matanya.
Nadya, dengan intuisi yang tajam, menarik tangan suaminya. “Sebaiknya kita hampiri.”
Bayu mengangguk, langkahnya terhenti di hadapan Jihan yang masih terisak. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Jihan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Jihan mengangkat kepalanya, matanya yang merah menyapu wajah Bayu dengan keterkejutan. “Pak Bayu?” suaranya serak, seperti daun kering yang tergilas angin.
Ia buru-buru mengusap air matanya, mencoba merapikan dirinya yang telah hancur lebur oleh kesedihan. “Saya … saya sedang ….”
Belum sempat Jihan menjelaskan, Bayu sudah beralih pada dokter yang kebetulan melintas. “Apa yang terjadi, Dok?” tanyanya tegas.
“Pasien Bastian harus segera dioperasi,” jelas dokter itu, suaranya tenang namun penuh urgensi. “Hanya saja Mbak Jihan belum memiliki dana untuk operasi ginjal adiknya.”
Kata-kata itu seolah membawa Nadya pada sebuah ilham yang mendadak. Ia menarik lengan Bayu menjauh, bisikan ide yang tak terduga terlintas dalam benaknya.
“Kamu mengenalnya, kan? Nikahi dia dan lahirkan anak untuk kita, Mas,” ujar Nadya, suaranya serupa bisikan malam yang menggugah langit kelam, namun sarat dengan nada keputusasaan.
Bayu mengerutkan keningnya, seolah kata-kata itu adalah duri yang menusuk jiwanya. "Apa kamu gila?" tanyanya tajam, suaranya seperti gelombang yang menghantam batu karang.
Ia menggelengkan kepala dengan tegas, mencoba mengusir absurditas yang baru saja diusulkan istrinya. "Tidak. Aku tidak mau menikah lagi. Apalagi dengannya,” tukasnya, nada suaranya mengunci seperti pintu baja yang tak bisa digerakkan.
Namun, Nadya tak menyerah. Mata gelapnya bersinar oleh harapan yang memohon belas kasih, meskipun tampak hancur oleh kenyataan.
"Mas, aku mohon. Kita butuh masa depan, dan Jihan adalah satu-satunya harapan kita. Aku yakin dia bisa memberi kita anak," ucapnya dengan suara yang lirih, namun menggema di hati Bayu seperti lonceng yang terus berdentang.
Bayu memijat keningnya dengan gerakan lelah, mencoba mengusir pusaran pikiran yang menyelimuti benaknya. Ide itu tak hanya gila, tapi juga menusuk moralitasnya seperti belati berkarat.
"Tapi, Nadya…" ia menarik napas dalam, suaranya berubah lembut, penuh ketulusan. "Aku menerima segala kekuranganmu. Tidak apa-apa kalau kamu tidak bisa memberiku keturunan. Jangan pikirkan itu lagi."
Namun, Nadya hanya menggeleng pelan, senyumnya pahit seperti embun pagi yang menyelimuti duri mawar.
"Aku mohon, Mas. Demi masa depan kita. Apa kamu tidak capek ditanya kapan memberi mereka cucu? Kamu anak tunggal, Mas. Mama dan Papa sangat berharap padamu. Ingat itu."
Bayu terdiam, tatapannya berpindah ke wajah istrinya yang bersikeras, lalu beralih pada Jihan, yang berdiri di ambang pintu ruang rawat adiknya.
Matanya menyusuri sosok Jihan, mencoba membaca sesuatu yang tak dapat diungkapkan oleh kata-kata. Dalam keheningan itu, dilema menyelimutinya, seperti kabut tebal yang membelenggu pandangannya.
Dengan tarikan napas panjang, Bayu melangkah mendekati Jihan, yang wajahnya masih dihiasi bekas air mata.
Sorot matanya yang datar dan dingin seperti malam tanpa bintang, menciptakan atmosfer yang membungkus ruangan dengan ketegangan tak kasatmata.
“Menikah denganku dan lahirkan anak untukku. Maka aku akan membayar biaya operasi adikmu dan memenuhi kebutuhan kalian.”
“Kak. Ada yang ingin aku tanyakan ke Kakak.” Suara Bastian terdengar hati-hati saat ia melangkah perlahan mendekati ruang keluarga.Langkah kakinya tertahan sejenak di ambang pintu, ragu, seolah mempertimbangkan kembali niatnya.Di hadapannya, Jihan tampak santai duduk di atas sofa, bersandar dengan satu tangan menopang dagu, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara talkshow sore.Sesekali ia menekan remote control, mengganti channel dengan wajah datar.Mendengar suara adiknya, Jihan menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. “Tanya aja, Bas. Ada apa?” tanyanya ringan, matanya masih menatap layar meski dengan ekspresi kosong.Bastian berdiri di tempatnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, seakan membutuhkan keberanian tambahan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan kakaknya.“Kakak … lagi hamil, ya?” tanyanya pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut melukai atau membuka luka yang belum sembuh.Pertanyaan itu membuat tangan Jiha
Nadya dengan langkah cepat dan penuh emosi menapaki koridor kantor tempat Bayu bekerja.Sesampainya di depan ruangan Bayu, tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk.Bayu yang sedang duduk di balik meja kerjanya langsung menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop tanpa ekspresi.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya datar, suaranya dingin tanpa antusiasme.Nadya berdiri tegak di depannya, menahan degup jantung yang berderap karena emosi. Sorot matanya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah yang ingin diluapkan sejak lama.“Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah, Mas? Kamu tidur di mana selama satu minggu ini?” tanyanya dengan nada yang nyaris menggugat.Bayu hanya menarik napas dalam-dalam. Ia menutup layar laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tatapannya tetap tak diarahkan pada Nadya.“Bukan urusanmu. Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu. Pekerjaanku sedang
Langit sudah mulai gelap ketika Jihan akhirnya tiba di rumah. Rasa lelah menggelayuti seluruh tubuhnya, apalagi setelah kejadian di kafetaria bersama Melvin yang membuat pikirannya semakin kalut.Ia membuka pintu perlahan, meletakkan tas tangan di meja dekat pintu, lalu duduk di tepi lantai untuk melepaskan sepatu heels-nya yang sejak tadi menyiksa telapak kakinya.Ia menghela napas panjang dan menggantinya dengan sandal rumahan berwarna cokelat lusuh.Namun, belum sempat ia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.Brak!Pintu terbuka lebar, didorong dengan kasar dari luar.Jihan sontak berdiri tergesa, kaget bukan main. Matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.“Mbak Nadya?” ucapnya dengan nada bingung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia mencoba tetap tenang. “Ada apa, Mbak?”Nadya melangkah masuk tanpa permisi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Tatapan matanya menusuk seperti belati, tajam dan penuh kecurig
“Kenapa?” tanya Melvin dengan nada yang lebih pelan dari sebelumnya, tapi tak bisa menyembunyikan luka yang terpancar jelas dari sorot matanya.Wajahnya menegang, alisnya merapat, dan matanya tak lepas menatap Jihan yang masih duduk tenang di hadapannya.Suaranya mengandung kekecewaan yang dalam, seolah penolakan tadi telah menghantamnya lebih keras dari yang ia bayangkan.Jihan menatap pria itu sebentar. Ia menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meski hatinya sedang bergemuruh.“Tidak apa-apa,” jawabnya lembut, berusaha menjaga nada suaranya agar tak menyakiti lebih jauh.“Hanya saja, Pak Melvin pantas mendapatkan yang lebih dari saya. Pak Melvin cari yang lain saja, ya?” lanjutnya sambil tersenyum tipis, senyum yang penuh getir, penuh rasa bersalah meski ia tahu, ia tidak salah.Namun, senyuman itu tak membuat Melvin merasa lebih baik. Justru sebaliknya. Ia hanya terdiam di tempatnya, bahunya tegang, dan matanya mulai gelap.Perlahan, tangannya mengepal di atas pahanya, mengga
“Apa? Cerai? Yang bener aja, Han? Kok cerai? Kamu kan, lagi hamil?” seru Meta dengan mata membelalak lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Suaranya bergetar, mencampur antara kemarahan, bingung, dan rasa iba. Tubuhnya refleks mencondong ke depan, memperhatikan Jihan yang duduk diam di hadapannya dengan tatapan kosong.Jihan mengangkat wajahnya perlahan, sorot matanya sendu, matanya sembab seolah baru saja menangis.“Karena Mbak Nadya udah nggak menginginkan anak ini lagi, Met. Jadi, ya udah... mau gimana lagi?” jawabnya pelan, pasrah, seolah menyerah pada alur hidup yang makin hari makin tak masuk akal.Meta menelan ludah. Dadanya sesak. Ia mengenal Jihan cukup lama untuk tahu bahwa wanita itu bukan tipe yang mudah menyerah. Tapi kali ini, di hadapannya, Jihan terlihat rapuh.“Kamu kasih tahu Pak Bayu dulu lah, kalau kamu lagi hamil. Jangan main iyain aja keputusan cerai. Dia punya hak tahu!”Namun Jihan menggeleng pelan, gerakan kepalanya nyaris tak terliha
"Jihan?"Tatapan mata Bayu menyambutnya, mata yang memancarkan kelelahan, kebingungan, dan sesuatu yang tak bisa Jihan pahami sepenuhnya.“Saya mau bertanya tentang keputusan yang diambil oleh Mbak Nadya,” ucap Jihan tanpa basa-basi, mencoba tetap tenang walau suara hatinya bergemuruh.Ia tahu, percakapan ini bisa menjadi akhir dari semua harapan yang sempat tumbuh di hatinya.Bayu menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia menunduk sejenak, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan hal yang paling tidak ingin diucapkannya.Lalu, dengan nada suara yang lebih rendah, ia bertanya, “Kalau saya menceraikanmu, apa kamu tidak keberatan? Saya tidak akan meminta kembali uang yang sudah saya berikan padamu. Tapi, saya bertanya tentang perasaanmu.”Ucapannya menggantung di udara, seolah waktu ikut berhenti bersama jeda di antara mereka. Jihan membeku.Bukan karena Bayu menawarkan cerai, tapi karena ia menanyakannya dengan begitu tenang, seperti semua ini bukan keputusan berat. Meski ia tahu