“Hanya satu,” ucap Bayu akhirnya, suaranya terdengar berat dan serius. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Kalau kamu sudah hamil, kamu harus segera resign dari kantor. Karena tidak semua orang tahu kalau kamu sudah menikah.”Jihan tidak langsung menanggapi. Matanya menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. Ia hanya menggigit bibir bawahnya pelan, menahan emosi yang mulai mengendap di dadanya.Bayu menambahkan, kali ini suaranya lebih lembut namun tetap tegas, “Saya tidak mau kamu kelelahan dan membuat kondisi janin dan kamu kenapa-napa. Apalagi sampai membuat kamu keguguran.”Jihan tersenyum tipis, tapi senyum itu bukan tanda setuju. Justru senyum getir, seolah ingin menyampaikan bahwa ia tidak semudah itu dipatahkan. “Saya kuat, Mas. Jangan sepelekan kondisi saya.”Bayu mendesah, wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Ya, kuat karena tidak ada janin di perut kamu. Tapi, kalau sudah hamil, beda lagi kondisinya. Jadi, kamu harus tetap resign.”Mobil berhenti di depan r
Setibanya di kantor pagi itu, Jihan disambut oleh wajah ceria Meta yang sudah menunggunya di dekat meja kerja.Ada cengiran lebar menghiasi bibir sahabatnya itu, seperti anak kecil yang menyimpan rahasia lucu.“Kenapa kamu?” tanya Jihan sambil mengangkat alis, sedikit heran melihat ekspresi Meta yang tak biasa.Meta menggelengkan kepalanya dengan senyum yang belum juga luntur. “Nggak ada. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu.”Ia membongkar totebag besar warna krem yang tergantung di bahunya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna pastel. “Ini. Cokelat batang yang manis dan enak. Kamu harus coba.”Jihan menerima kotak itu dengan kening berkerut. “Memangnya kamu habis dari mana?” tanyanya dengan nada curiga, menatap Meta seakan mencoba membaca pikirannya.Meta terkekeh kecil, matanya berkilat nakal. “Dari... toko kue tadi malam. Tadinya aku mau telepon kamu, ngajak sekalian. Tapi, aku ingat kalau sekarang kamu sudah punya... suami.” Ia mengedipkan sebelah matanya sambil mengerling me
Namun, Bayu tetap diam. Bukan karena enggan, melainkan karena ada hal yang lebih besar yang ia sembunyikan.Bukan hanya tentang rahim Nadya yang tak bisa memberi keturunan, tapi juga tentang keputusannya mencari ibu pengganti. Jihan.Sebuah rahasia yang terasa semakin sesak di dalam dadanya, seperti api kecil yang perlahan membakar semua kejujuran yang tersisa.**Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Langit mulai berpendar keemasan, memantulkan sinarnya pada kaca-kaca gedung yang menjulang tinggi.Jihan duduk di halte bus, membiarkan angin sore menyibak helaian rambutnya yang lepas dari ikatan.Matanya menerawang jauh, menunggu sesuatu yang seharusnya pasti—bus yang akan membawanya pulang.Namun, yang berhenti bukanlah bus, melainkan sebuah mobil dengan cat hitam mengilap. Cahaya sore membuatnya tampak lebih megah, lebih dingin.Jihan langsung mengenalinya. Mobil itu milik Bayu—pria yang namanya mulai terpatri di dalam hidupnya seperti takdir yang tak bisa ia hindari.Jendela mobil t
Bayu menaikkan alisnya, menatap adiknya dengan tatapan tajam yang penuh selidik. “Kamu masih mencoba mendekati Jihan?” tanyanya kemudian, nada suaranya terdengar seperti angin yang berembus dingin di malam yang sunyi.Melvin mengangguk pelan. “Tapi, kalau ternyata memang benar dia sudah menikah, aku bingung harus melupakannya dengan cara apa.” Suaranya terdengar lirih, seolah ada kesedihan yang menggantung di ujung kata-katanya.Bayu menyunggingkan senyum tipis, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Masih banyak wanita yang lebih cantik dan baik dari Jihan, Melvin. Kamu akan menemukannya dan akan mencintai wanita itu.”Melvin menggeleng lemah. “Tapi, itu sulit. Jihan itu … beda dari wanita yang lain. Dia itu cuek, tapi ramah. Sopan, seorang pekerja keras. Oh my God, beruntung sekali pria yang menjadi suaminya. Andai itu aku. Aku pasti tidak akan pernah menyia-nyiakannya.”Seperti baru sa
“Mandul, Met. Dia nggak bisa punya anak, maka dari itu suaminya diminta untuk menikah lagi. Mbak Nadya sendiri yang meminta Pak Bayu untuk menikah lagi,” ucap Jihan, suaranya terdengar seperti desau angin yang melintasi padang tandus, sarat akan kelelahan dan kegetiran.Meta menaikkan alisnya, tatapannya menyipit, menembus ke dalam riak-riak ketidakpercayaan yang menggulung dalam pikirannya.“Aneh. Kenapa Mbak Nadya sendiri yang meminta? Bukankah harusnya Pak Bayu sendiri yang harus cari?”Jihan mengendikkan bahunya, seolah mencoba melepaskan beban yang menggelayuti pikirannya. Matanya menerawang ke kejauhan, mencari jawaban di antara bayang-bayang yang mengendap di benaknya.“Entahlah. Mungkin Mbak Nadya ingin sekali punya anak, tapi tidak bisa. Maka dari itu, dia memaksa Pak Bayu untuk menikah lagi.” Suaranya terdengar seperti bisikan angin yang melintasi ladang sunyi.Meta menghela napasnya, tatapan matanya yang teduh kini dipenuhi campuran iba dan kemarahan yang tak terungkap.“Ba
Namun, Bayu tidak menjawab. Ia menarik Jihan ke dalam pelukannya, jemarinya mencengkeram pinggangnya dengan begitu erat hingga membuatnya sedikit meringis.Tidak ada kehangatan seperti biasanya, tidak ada sentuhan lembut yang biasa ia rasakan dari pria itu.Ketika Bayu akhirnya menuntut dirinya, Jihan menegang. Rasa sakit itu begitu nyata. Tubuhnya seolah terhimpit oleh beban emosional yang tak terlihat.Setiap gerakan Bayu seperti luapan emosi yang tak tertahankan—keras, terburu-buru, dan tanpa belas kasih.Jihan ingin menolak, ingin meminta Bayu untuk melambat, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Pria itu begitu tenggelam dalam kemarahan yang tidak bisa ia mengerti, seolah-olah ini bukan sekadar gairah, melainkan sebuah pelampiasan.“Ah! Pelan-pelan, Mas!” lirih Jihan sembari memegang bahu Bayu. Namun, tidak ada respon apa pun dari pria itu selain menyentuhnya dengan gerakan yang cukup kasar.Matanya berkaca-kaca, bukan karena kebahagiaan, melainkan rasa nyeri yang menjalar dar
Jihan terkekeh pelan, meski ada kepahitan di balik tawanya. "Tentu saja tidak, Meta.""Tapi kenapa Pak Rafi bilang kalau kamu sudah menikah?"Hening.Jihan menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. Ia tahu, kebohongannya tak bisa bertahan selamanya.Terlalu lama ia menyimpan rahasia ini, bersembunyi dalam bayang-bayang perjanjian yang mengikatnya.Menjadi istri kedua Bayu bukanlah keinginannya, bukan sesuatu yang ia banggakan. Namun, membohongi Meta? Ia tidak bisa terus melakukannya.Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya berbisik, "Aku akan menceritakan semuanya, Meta."Suasana di seberang berubah hening sebelum akhirnya Meta berseru, suaranya dipenuhi keterkejutan. "Jadi benar? Kamu sudah menikah?"Jihan tidak menjawab. Namun, keheningannya sudah menjadi jawaban yang paling jelas.**Jihan terperanjat begitu melihat sosok Bayu berdiri di ambang pintu rumahnya.Malam yang tenang seketika dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara, seperti awan mendung yang mengancam akan mengguyu
Jihan menatapnya tak percaya. Dadanya bergetar oleh emosi yang sulit ia jelaskan. "Kenapa?" tanyanya, nyaris berbisik, namun dalam bisikan itu terselip rasa ingin tahu yang mendesak. Ia ingin memprotes, ingin melawan, ingin menuntut penjelasan.Namun Bayu tetap pada pendiriannya. Mata hitamnya mengunci Jihan dalam tatapan penuh peringatan. "Karena kamu istriku," ucapnya lirih namun tegas, "dan kamu tidak boleh dekat dengan siapa pun. Termasuk Melvin."Kata-kata itu mengiris ke dalam benak Jihan seperti bilah pisau yang dingin.“Ta—tapi, Pak—”“Tidak ada tapi-tapi!” Bayu memotong ucapan Jihan. “Sekali tidak tetap tidak!”Sungguh, ini tidak adil.Dada Jihan naik turun, menahan sesuatu yang ingin meledak, tapi ia tahu, berdebat dengan Bayu adalah seperti menabrak tembok batu—sia-sia dan hanya akan membuatnya lebih terluka.Jadi, untuk apa ia harus bersusah payah?Tapi tetap saja, batinnya memberontak. Ia menatap Bayu dengan sorot mata yang menantang, meski hatinya terasa remuk. "Dengan a
Ucapan itu membuat Meta menegakkan tubuhnya, seolah terpojok di antara kebenaran dan leluconnya sendiri.Ia mengerjapkan mata sekali, lalu dua kali, sebelum akhirnya melipat tangannya di dada dan menatap Jihan dengan intensitas yang sedikit berubah.“Um…” gumamnya, menarik napas perlahan. “Karena sikap Pak Bayu sedikit aneh, Han. Seperti sedang memantaumu.”Kata-kata itu menelusup ke dalam benak Jihan, seperti desiran angin dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam ruangan yang hangat.“Tapi, sebaiknya jangan, Han,” lanjut Meta, mengangkat bahu dengan ringan.“Dia sudah punya istri. Kecuali…” ia mengedipkan mata penuh arti, lalu menyeringai seperti kucing yang baru saja menangkap tikus kecil. “Mereka bercerai, dan alasannya adalah… istrinya selingkuh.”Meta tertawa pelan setelahnya, sementara Jihan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.**Di ruangan lain, di balik pintu yang tertutup rapat, suasana terasa berbeda.Bayu duduk tegap di kursinya, sorot matanya tajam seperti mata elang ya