Jovita segera melangkah ke kamar milik Amora setelah menyadari terdapat ponsel yang berdering. Dengan perlahan, ia mulai mendekati ponsel yang berada di atas nakas tersebut.Lama-kelamaan, ponsel itu tidak berdering lagi. Tampaklah nama Delvin sebagai panggilan tidak terjawab. Jovita masih berada di ambang pintu. Niatnya untuk melihat ponsel Amora menjadi urung tatkala dirinya merasa malas ketika mengingat Amora."Untuk apa gue lihat ponsel dia? Gak ada gunanya."Lantas, perempuan berpakaian kurang bahan itu segera pergi dari kamar tersebut. Untunglah, Jovita tidak sempat melihat nama Delvin di layar ponsel Amora. Jika tidak, pasti ia akan merasa curiga terhadap Amora.Di ruang tengah, Stefan dan Amora tengah berduaan. Stefan tak henti-hentinya mengelus perut Amora yang sedang mengandung. Sementara, Amora sendiri masih memikirkan Jovita. Ia tidak enak dengan istri pertama Stefan itu. Reaksinya yang tidak suka membuat semakin tidak betah."Semoga, kamu cepat besar ya, Nak. Nanti, kamu
Jovita menatap Amora dengan begitu tajam. Ia menaruh rasa curiga padanya bahwa Amora sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Amora tetap meyakinkannya bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun."Nggak, Nyonya. Saya nggak menyembunyikan apa pun." Amora tambah tegang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.Jovita berusaha merebut ponsel Amora. Namun, Amora dengan sigap menahannya kembali. Terjadilah kekacauan di kamar itu. Jovita ingin melihat siapa yang berada di dalam ponsel Amora, sedangkan Amora sendiri mempertahankan ponselnya."Jangan, Nyonya! Ini nggak ada apa-apa sama sekali. Jangan begitu, Nyonya!" Amora berteriak."Nggak, lepaskan tangan lo! Gue mau lihat apa yang ada di ponsel lo!" Novita menambahkan tenaga supaya bisa merebut ponsel Amora."Nyonya Jovita!" Tiba-tiba, terdengar suara yang berasal dari luar kamar.Baik Jovita maupun Amora kemudian berpaling. Tampaklah Bi Asih yang memperhatikan mereka berdua dengan tegang. Jovita pun menghentikan aksi merebut ponselnya dan berha
Stefan melihat layar ponsel milik Amora yang menyatakan bahwa terdapat belasan panggilan yang tak terjawab. Ia berniat untuk memeriksanya, tetapi sontak saja terdapat seseorang yang memanggilnya dari pintu kamar."Mas?" Amora yang sudah berdiri di sana menjadi terkejut.Bukan tanpa sebab, Stefan memegang ponsel miliknya. Pastinya akan menimbulkan rasa curiga jika terdapat riwayat telepon."Sayang, di ponsel kamu ada banyak panggilan tak terjawab." Stefan langsung memberikan ponsel hitam itu tanpa merasakan curiga sedikit pun."Iya, Mas. Terima kasih." Amora langsung merebut ponsel itu dengan cepat. Ia tidak ingin jika masalah ponsel itu berkepanjangan."Kenapa kamu nggak lihat dulu siapa yang menelepon?" Sontak saja, Stefan bertanya di luar dugaan.Amora sedikit cemas dan kaget. Entah apa yang harus ia jelaskan kepadanya. Untunglah, wanita itu bisa menjelaskan bahwa telepon tersebut pastinya berasal dari orang tua. Stefan pun mengangguk pelan."Ya, sudah. Kalau begitu, kamu istirahat.
Amora terkejut setelah melihat Delvin yang berada di mal tersebut. Lelaki itu tampak bersama Alex yang merupakan teman akrabnya. Namun, sedang apa mereka berdua berada di tempat itu?Sejak saat itu, Amora menjadi panik. Ia harus mencari cara supaya dirinya bisa bersembunyi dan tidak terlihat oleh Delvin. Bisa gawat nantinya jika Stefan tahu bahwa Delvin adalah kekasih lamanya."Kamu kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya Stefan setelah melihat Amora yang berhenti mendadak."Mas, aku boleh ke belakang dulu, ya! Aku soalnya nggak kuat." Amora berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung pergi dan berjalan dengan cepat. Stefan menjadi kebingungan, ia takut dan khawatir jika terjadi apa-apa dengan Amora."Kenapa dia?" Stefan berniat untuk mengejarnya, tetapi Jovita langsung menghentikan sang suami."Sayang, biarkan saja dia ke toilet. Nanti juga datang lagi. Kita berdua saja di sini."Akhirnya, pria berjanggut tipis tersebut tidak bisa berkutik. Ia harus me
Seorang gadis sedang berjalan di trotoar jalan yang sedikit ramai. Ia menelisik ke segala arah dengan raut wajah yang netral. Tiba-tiba saja, ponselnya berdering dengan nyaring di dalam tas merah miliknya."Halo, ada apa, Bu?" perempuan berambut panjang itu segera mengangkat telepon dari sang ibu."Amora, kamu cepat pulang! Ibu dan Ayah sedang dalam masalah besar!""Apa? Sebentar lagi Amora akan ke sana ya, Bu!"Dengan raut wajah yang cemas, gadis itu langsung mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia tak acuh dengan reaksi orang-orang yang menatap heran. Yang ada di pikirannya saat ini adalah masalah yang seketika muncul dari sang ibu.Namun, sontak saja terdapat sebuah mobil sedan hitam yang melaju dengan kencang. Mobil itu tidak sengaja melintasi genangan air yang becek. Alhasil, genangan air itu menyembur ke gaun berwarna putih milik gadis yang bernama Amora itu."Hei! Kalau berkendara lihat-lihat sekeliling, dong!" Amora menatap ke arah mobil tersebut dan melirik kembali ke gaunnya
Amora terkejut ketika melihat nama kekasihnya yang terpampang jelas di layar ponsel. Pacarnya menelepon dan Amora merasa canggung untuk mengangkatnya. Tak beberapa lama kemudian, ia pun memberanikan diri untuk mengangkat telepon tersebut."Halo, Sayang. Apa kabar?" ucap dari seberang telepon.Mendengar suaranya saja, Amora hampir menitikkan air mata. Bukan tanpa sebab, sebentar lagi hubungannya dengan Delvin akan terputus. Ia akan menikah dengan seorang bos muda yang kaya raya."Halo?" Suara Delvin kembali terdengar di seberang telepon."Eh, iya. Halo, Sayang. Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu di sana?" Perempuan itu akhirnya membuyarkan lamunan dan bertanya kembali.Rama dan Rahmi hanya tertegun melihat anaknya yang menyembunyikan semua masalah ini terhadap Delvin. Mereka merasa bersalah karena telah meminjam uang dan menjadikan sang anak sebagai penebusnya. Hanya karena utang, semuanya menjadi berantakan seperti ini."Aku baik-baik saja. Oh, ya. Aku bawa berita gembira buat kamu
Stefan memutuskan untuk menuju lantai dua setelah mendengar setelah mendengar sesuatu di arah sana. Sementara, Amora beserta orang tuanya tetap berada di ruang tamu dengan perasaan tak menentu. Di atas, lelaki itu segera mengetuk pintu kamarnya."Jovita, kamu sedang apa?"Stefan berkali-kali mengetuk, tetapi tak kunjung dibuka. Ia mencoba untuk membuka pintu dan ternyata tidak dikunci. Setelah dibuka, ternyata banyak sekali barang yang berserakan di lantai. "Jovita, apa yang sedang kamu lakukan?" Stefan naik pitam, ia masuk ke kamar setelah melihat Jovita melempar barang ke segala arah."Aku gak mau dia jadi istri kedua kamu, Mas! Aku gak mau! Cukup aku saja yang jadi istrimu. Kalau nggak, aku harus mati aja!" teriak Jovita seolah-olah telah hilang pikiran."Cukup, Jovita! Cukup! Sampai kapan lagi kamu bersikap egois seperti ini?"Stefan menjadi marah. Ia langsung berkata bahwa dirinya menikah dengan Amora hanya untuk meneruskan keturunan. Dirinya pun menambahkan bahwa Jovita adalah
Stefan mendekati wajahnya terhadap istri barunya itu. Ia sudah tidak sabar lagi untuk merasakan cinta kedua dari kehidupannya. Sementara, Amora dengan cepat menutup mata dengan raut wajah yang ketakutan.Tiba-tiba, Stefan menggenggam kedua lengan atas milik perempuan itu. Amora terkejut, ia merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Amora tidak bisa berkutik, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah sah menjadi istri Stefan."Malam ini, kita akan bersenang-senang," bisik Stefan dengan halus.Kini, pria berkulit putih itu melepaskan baju pernikahannya. Perlahan, ia membuka kancing dari atas. Amora seketika menutup mata kembali. Dirinya tidak ingin melihat dan merasakan sesuatu yang terjadi di malam itu."Tuan, jangan! Jangan lakukan itu!" Amora yang tidak menyangka dengan alur kehidupannya hanya bisa pasrah. Dalam hati, ingin sekali berteriak dan meminta tolong kepada Delvin terkait hal itu.***Pagi telah tiba, Amora membuka mata secara perlahan. Ia merasa lelah, mungk