--Happy Reading--
Jangan menilai orang dari luarnya saja, akan tetapi lupa dengan kebaikan apa yang ada di dalam hati orang itu. Jangan membuat asumsi sendiri, tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Jangan seperti kacang lupa kulitnya, saat senang dia datang dan saat susah dia pergi. *** Seolah mengerti apa yang mas Adam ucapkan, secepat mungkin asisten Bisma dan kedua pelayan itu bergegas meninggalkan kami berdua. Kini, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang bisa aku lakukan. “Buka pintu kamarnya! Apa kamu mau berdiri terus, huh?” Suara mas Adam terdengar ketus. “Eeh… iya.” Aku tersentak dari lamunan sesaat tadi, memegang dadaku yang masih berdebar kencang. Sontak aku memegang gagang kursi roda mas Adam, seraya meraih gagang pintu kamar. Setelah pintu kamar terbuka, dengan perlahan aku mendorong kursi roda mas Adam untuk masuk ke dalam kamarnya. Mulutku melongo, melihat kamarnya yang begitu luas dan besar. Mungkin, ukuran kamar mas Adam sebesar rumah milik kedua orang tuaku. “Tutup pintunya!” ucap mas Adam, membuatku tersadar buru-buru mengatup mulutku. “I-iya,” ucapku gugup. Aku pun bergegas menutup pintu kamar mas Adam, kemudian hendak meraih gagang kursi roda. Namun, suara mas Adam terdengar kesal. “Tidak usah, aku bisa sendiri!” Aku bergeming, mas Adam sangat ketus dan dingin kepadaku. Berbanding terbalik dengan sikap juragan Zein yang sangat ramah dan hangat. “Siapkan air hangat! Aku ingin mandi,” titahnya sedikit lembut. Aku bingung, aku masih belum mencerna perintahnya. Aku harus ambil air hangat di mana? Sedangkan aku tidak tahu dapur rumah ini, untuk aku memasak air. “CEPAT, BODOH!” sentak mas Adam dengan suara meninggi, saat aku tidak kunjung beranjak dari tempatku berdiri. Dia terlihat kesal dan emosi terhadapku. “Eeh.. anu.. itu…tapi…” ucapku terdengar gagap. Namun, langsung dihentikan oleh mas Adam. “Jangan banyak membantah! Masuk ke kamar mandi, nyalakan keran airnya dan atur suhunya.” “I-iya,” ucapku dengan bibir bergetar. Setelah aku masuk ke dalam kamar mandi yang begitu bersih, besar dan nyaman, aku berjalan menuju keran air dan mengatur suhu kadar air, yang biasa disebut dengan Heater Water. “Woow… tidak perlu susah-susah memasak air kalau punya alat seperti ini,” gumamku pelan, sambil menekan alat pengatur suhu panasnya dan menyalakan kerannya yang aku alirkan ke bathtub. Aku hendak ke luar dari dalam kamar mandi, namun mas Adam sudah menghadang di depan pintu. “Sudah?” “S-sudah, Tuan!” Aku masih saja gugup saat bicara dengan mas Adam. “Bantu aku!” titahnya. Haaah? Bantu? Bagaimana ini? Masa, aku harus bantu memandikan mas Adam. Aku jadi gelagapan dengan permintaannya. “B-bantu untuk apa?” “Mandilah, Bodoh!” “Tapi….” ucapku menggantung, namun kedua bola mata mas Adam seolah sedang menghunus tajam ke arahku di balik kaca mata hitamnya dengan rahangnya yang mengetat geram. “B-baiklah!” suaraku benar-benar gemetar. Dengan terpaksa, aku pun membantu mas Adam untuk memapah tubuhnya masuk ke dalam kamar mandi dan mendudukkannya di atas closed duduk. Jantungku terus berdebar kencang, selama memapah tubuh mas Adam. Ada apa dengan jantung ini? Mengapa berdebar kencang begini? Dalam hati aku mengumpat kesal, bisa-bisanya laki-laki ini meminta aku untuk membantunya mandi. Memang, aku ini sekarang sudah menjadi istrinya. Tapi, aku menikah bukan karena cinta dengannya. Mengapa dia tidak menyadari hal itu? Apa dia pura-pura bodoh, atau memang tidak tahu kalau aku hanyalah istri pengganti. Aku memeriksa suhu air di dalam bathtub dengan tangan kananku, untuk memastikan jika airnya sudah benar-benar hangat. Air pun sudah terisi penuh, kemudian aku menoleh ke arah mas Adam. “S-sudah hangat dan penuh airnya, Tuan.” “Kucurkan sabun cair ke dalam bathtubnya,” titah mas Adam kemudian. Aku edarkan mata ini, mencari sabun cair yang diminta mas Adam. Setelah melihatnya, aku berjalan menuju tempat sabun cair yang berjejer rapi dengan beraneka jenis warna dan wangi. Telunjuk tanganku mengetuk-ngetuk bibirku, sabun cair yang mana yang harus aku ambil. Aku pikir, apa pun warna dan wanginya pasti sama saja. Toh, semua yang ada pasti pernah dia pakai. Tanganku mengarah ke sabun cair yang berwarna kuning dengan wangi yang tertulis aroma lemon di botol kemasannya yang berukuran jumbo. Namun, seolah mas Adam melihat gerakkan tanganku, dia menghentikan apa yang akan aku ambil. “Ambil yang warna hijau saja! Aku sedang ingin mencium aroma teh.” Sontak saja aku menoleh ke arahnya. Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa mas Adam seperti tahu jika aku hendak mengambil sabun cair berwarna lain, bukan seperti apa yang dikatakannya. Baru saja aku ingin membuka mulut untuk meminta penjelasan bagaimana mas Adam bisa tahu kalau aku hendak mengambil botol warna yang lain, lagi-lagi suara mas Adam mengurungkan niatku. “Cepat ambil! Lamban sekali sih, jadi perempuan,” grutunya. “Ck… “ Aku medengus kesal, kedua tanganku mengepal kuat. Kalau saja bukan suamiku, sudah aku tendang ke hutan Amazone. Bila perlu, aku lempar ke kutub utara sekalian. Aku pun segera mengambil botol yang berwarna hijau dengan wangi harum teh hijau. Kemudian, aku berjalan ke arah bathtub dan menuangkan sabun cair ke dalam isi air itu dengan beberapa tetes. “Jangan banyak-banyak!” tekannya, seolah tahu berapa banyak aku menuangkan sabun cair itu. Aku mengangguk, kemudian mengaduk air yang terasa hangat itu agar sabun cair yang aku tuang bisa merata. Busa sabun pun mulai muncul dipermukaan air dan wangi teh hijau menyeruwak menusuk hidung. “Huum, harumnya,” ucapku lirih, seraya mengibaskan jemari tanganku di depan bathtub. “Sini, kamu!” panggil mas Adam, aku pun segera ke arahnya. “Tolong aku untuk masuk ke dalam bathtub!” pintanya, sambil membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya. Nampak, dadanya yang bidang dengan otot-otot yang kencang. Jangan lupakan, perutnya yang sixpack layaknya roti sobek yang begitu menggoda, membuatku berkali-kali menelan saliva. Panik? Pastinya, aku sangat panik ketika melihat apa yang dilakukan mas Adam. Meskipun sah-sah saja dia melakukan hal itu di hadapanku, mengingat kami sudah sah menjadi sepasang suami istri, akan tetapi tetap saja kita bukan seperti pasangan pengantin lainnya yang saling mencintai dan menyayangi. Aku memalingkan wajah, agar tidak melihat penampakan itu. Sialnya, dengan begitu santainya mas Adam pun membuka celana hitam panjangnya yang hanya menyisakan underwearr miliknya saja. Mas Adam mencoba untuk bangkit dari atas closed. “Hei… bantu aku!” teriaknya, saat aku masih saja melihat ke arah lain. Aku pun tersentak seketika, namun buru-buru aku bergegas membantunya untuk masuk ke dalam bathtub yang sudah bertabur busah melimpah, dengan air hangat dan wangi yang menenangkan. Menahan rasa dag dig dug dalam dadaku, aku mencoba untuk tatap terlihat tenang, agar mas Adam tidak curiga dengan apa yang sedang aku rasakan. Deg! Jantungku lagi-lagi berdegup cepat, kala tangannya yang kekar melingkar di bahuku. Aku memapahnya dengan sangat hati-hati untuk masuk ke dalam bathtub. Bisa-bisa aku punya penyakit jantung, kalau terus-terusan seperti ini. Kini, mas Adam sudah berada di dalam bathtub, meluruskan kakinya dengan tubuh yang sudah terendam busa sabun. Kedua tangannya masuk ke dalam air busa, membuka underwearr miliknya dan melemparkannya ke tumpukkan baju dan celana miliknya. Padahal mas Adam buta, akan tetapi kenapa begitu pas lemparannya mengenai tepat di atas baju dan celana miliknya? Mungkin hanya kebetulan saja, pikirku. “Simpan pakaianku di dalam keranjang!” titahnya sambil menggosok-gosok tubuhnya dengan air busa sabun itu, lalu dia pun terlihat menikmati setiap usapan lembut tangannya sendiri. Aku pun ragu dan takut-takut mengambil pakaian mas Adam yang menumpuk di atas lantai, dengan rasa risih dan jijik saat jemari tanganku harus mengambil underwearr milik mas Adam dan menaruhnya di dalam keranjang pakaian kotor. “Issh, nasib-nasib,” gerutuku. Ada yang ganjal di mataku, mengapa mas Adam mandi dengan kaca mata yang masih bertengker. Bagaimana kalau nanti dia mencuci mukanya? Apakah tidak terasa aneh atau risih? “T-tuan.” “Heeem…” “K-kaca matanya tidak dilepas?” tanyaku memberanikan diri. Mas Adam tidak menjawab pertanyaanku, seolah dia menulikan pendengarannya. Aku pun tersenyum kecut dengan sikap mas Adam, lalu mencoba mengalihkan perhatianku ke arah sekitar. Melihat-lihat jenis shampoo, pasta gigi, sikat gigi, pembersih wajah dan aneka sabun cair yang lumayan banyak dan lengkap. “Ambilkan shampoku!” titah mas Adam membuatku menghentikan kegiatanku. “Shampo? Warnanya apa?” tanyaku memastikan. Aku takut salah ambil shampoo yang dia inginkan. “Hijau,” sahutnya, seraya membuka kaca mata hitamnya dan menaruhnya di atas pinggiran bathtub. Glekkk! Aku tercekat, saat melihat kaca mata hitam mas Adam terlepas. Bola mata mas Adam berwarna hitam, dengan bulu mata yang panjang menjorok ke bawah, terlihat sangar dan kejam kala menatap lurus ke depan. “Masya Allah, gantengnya,” gumamku tanpa sadar. Hampir-hampir shampoo di tanganku jatuh, saking terpesonanya melihat wajah asli mas Adam tanpa kaca mata hitamnya. Dalam seperkian detik, diri ini terhipnotis tanpa berkedip. Jangan lupakan, jantungku yang sedang tidak baik-baik saja. Aku takut jatuh cinta kepadanya. Namun, bukankah pria ini adalah suamiku? Tidak ada salahnya kan, kalau memang aku jatuh cinta? Detik kemudian, kesadaranku kembali normal dengan menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak… tidak, gara-gara laki-laki itu, hidupku jadi seperti ini. Cita-citaku, kuliahku dan menikah dengan laki-laki yang aku cintai telah musnah, semua impianku telah berakhir di sini,” bathinku menolak. Aku seperti tidak percaya, jika kedua bola mata mas Adam itu buta. Aku mencoba menghalau pandangannya dengan melambaikan tanganku di depan wajahnya. --To be Continue----Happy Reading--Hampir setengah jam aku membersihkan diri, rasa letih dan lelah seharian ini seolah sirna berganti rasa segar yang menguyur rambut dan tubuhku.Aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan mas Adam. Ternyata dia sudah tidak ada, aku pun bisa bernapas dengan lega untuk sementara ini.Aku hendak mengganti pakaianku yang sudah basah tadi, mencoba mencari keberadaan koperku di seluruh pojok ruangan kamar. “Di mana koperku?”Plak!Aku memukul pelan keningku dengan telapak tangan.“Astagfirulloh, aku lupa.”Aku baru sadar, jika koper kecil milikku masih berada di dalam bagasi mobil juragan Zein. Koper yang hanya berisi beberapa potong pakaian beserta dalamannya yang aku perlukan dan beberapa buku bacaan yang aku gemari. Tidak banyak hal yang aku pikirkan, setelah menikah siang tadi langsung diajak ke rumah ini. Aku pikir, setelah menikah tadi, kami akan bermalam dan tidur di kamar kak Asma yang sudah dihias ala kamar
--Happy Reading--Penasaran yang berujung kegelisahan takan pernah membuahkan hasil, sebaliknya penasaran yang berujung perhatian lambat-laun akan menemukan titik temu sebagai buah kesabaran.***Aku begitu penasaran dengan penglihatan mas Adam yang sebenarnya. Mengapa hatiku mengatakan jika mata mas Adam itu tidaklah buta. Namun, tidak ada reaksi darinya ketika jemari tanganku menari di depan wajahnya.Mas Adam semakin greget dengan kelakuanku yang tidak segera memberikan shamponya, hingga suara baritonnya bisa merusak gendang telingaku, saking kencangnya.“Hey, cepat bawa ke sini shamponya! Apa yang kamu lakukan, huh? Kenapa lama sekali, sih?” Tangan mas Adam menjulur meminta shamponya, dengan rahangnya yang mengeras. Terdengar suara gemelutuk dari gigi mas Adam, saking geramnya kepadaku.“Eeh… iya, Tuan. Ini, shamponya,” kejutku gelagapan, lalu mengulurkan shampoo ke tangan mas Adam dengan tanganku yang gemetar. Meski suamiku tidak bisa melihatku, namun ak
--Happy Reading--Jangan menilai orang dari luarnya saja, akan tetapi lupa dengan kebaikan apa yang ada di dalam hati orang itu. Jangan membuat asumsi sendiri, tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Jangan seperti kacang lupa kulitnya, saat senang dia datang dan saat susah dia pergi.***Seolah mengerti apa yang mas Adam ucapkan, secepat mungkin asisten Bisma dan kedua pelayan itu bergegas meninggalkan kami berdua. Kini, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang bisa aku lakukan.“Buka pintu kamarnya! Apa kamu mau berdiri terus, huh?” Suara mas Adam terdengar ketus.“Eeh… iya.” Aku tersentak dari lamunan sesaat tadi, memegang dadaku yang masih berdebar kencang.Sontak aku memegang gagang kursi roda mas Adam, seraya meraih gagang pintu kamar. Setelah pintu kamar terbuka, dengan perlahan aku mendorong kursi roda mas Adam untuk masuk ke dalam kamarnya.Mulutku melongo, melihat kamarnya yang begitu luas dan besar. Mungkin, ukuran kamar ma
--Happy Reading--Sebuah pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Apa jadinya jika sebuah pernikahan yang terjadi tanpa kenal, sayang dan cinta? Percayalah, seiring berjalannya waktu, maka kamu akan perlahan mengenal, tumbuh sayang dan jatuh cinta kepada pasanganmu dengan cara yang indah, melalui doa-doa bermunajat lewat jalur langit.***Hari semakin beranjak sore, para tamu undangan di desaku satu-persatu berangsur-angsur pergi. Kini, aku akan segera bersiap untuk diboyong oleh keluarga suamiku, juragan Zein Wardana.Aku yang sudah resmi menjadi istri dari pria lumpuh dan buta itu pun, hanya bisa patuh tanpa bisa menolak permintaan dari juragan Zein Wardana yang mengharuskan aku untuk turut serta tinggal di kediamannya.“Saya titipkan Putri bungsu saya, Juragan. Maaf, jika saya sudah mengecewakan Juragan, atas incident yang terjadi,” ujar ayah dengan wajah tertunduk penuh penyesalan, sudah mengganti calon menantunya secara dadakan. “Tidak apa-apa, m
--Happy Reading--Setiap gadis memimpikan pernikahan yang indah dengan pujaan hatinya. Namun, tidak semua impian itu bisa berjalan dengan sempurna sesuai apa yang kita inginkan. Meskipun demikian, percayalah bahwa tujuan sebuah pernikahan pada dasarnya baik, untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.***Ayah mengulurkan tangannya ke arah pria yang akan menjadi suamiku sesaat lagi, lalu menjabat tangannya dengan erat. Sebenarnya ayah mengenal cucu juragan Zein, saat remaja dulu. Namun, selepas lulus Sekolah Menengah Atas, cucu juragan Zein melanjutkan pendidikannya di luar negeri, yaitu Singapore. Setelah itu, ayah sangat jarang melihatnya. Karena, cucu juragan Zein bekerja di kota.Suara lantang mulai terdengar dari bibir ayah, disaat melapalkan Ijab Qabul untuk kami, sepasang mempelai pengantin. Diawali dengan kata Bismillah, ayah menyerahkan tanggung jawab aku sebagai anaknya kepada calon menantunya di hadapan bapak penghulu, para saksi dan para tamu. Pernikahan
--Happy Reading--Jadilah sebuah lilin, meskipun kecil dia mampu memberikan penerangan dan kehangatan. Jadilah sebuah tali, meskipun rapuh dia mampu menyambungkan dan menyatukan. Betapa pun besarnya cinta dan kebaikan seorang anak kepada orang tuanya, tidak mampu membalas jasa dari kedua orang tuanya yang telah melindunginya sepanjang masa. Maka dari itulah, contoh lilin dan tali bisa memberikan kita sebagai anak untuk sebuah pelajaran yang berharga.***Detik berjalan, aku terpejam dengan pikiran menerawang. Aku masih gamang dengan pernyataan ayah yang ingin aku menggantikan posisi kak Asma.“Anna, Putriku!” panggil ibuku lirih, berdiri di ambang pintu kamarku.Aku dan ayah menoleh ke arah suara ibu hampir bersamaan. Aku segera bangkit dari tempat dudukku.“Ibu!” air mataku berjatuhan membasahi pipi. Entah perasaan apa yang sedang aku hadapi kali ini. Apakah rasa bahagia telah terbayar akan rinduku bertemu ibu, atau rasa sedih atas permintaan ayah yang baru saja aku dengar?Aku menci