--Happy Reading--
Sebuah pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Apa jadinya jika sebuah pernikahan yang terjadi tanpa kenal, sayang dan cinta? Percayalah, seiring berjalannya waktu, maka kamu akan perlahan mengenal, tumbuh sayang dan jatuh cinta kepada pasanganmu dengan cara yang indah, melalui doa-doa bermunajat lewat jalur langit. *** Hari semakin beranjak sore, para tamu undangan di desaku satu-persatu berangsur-angsur pergi. Kini, aku akan segera bersiap untuk diboyong oleh keluarga suamiku, juragan Zein Wardana. Aku yang sudah resmi menjadi istri dari pria lumpuh dan buta itu pun, hanya bisa patuh tanpa bisa menolak permintaan dari juragan Zein Wardana yang mengharuskan aku untuk turut serta tinggal di kediamannya. “Saya titipkan Putri bungsu saya, Juragan. Maaf, jika saya sudah mengecewakan Juragan, atas incident yang terjadi,” ujar ayah dengan wajah tertunduk penuh penyesalan, sudah mengganti calon menantunya secara dadakan. “Tidak apa-apa, mau menikah dengan Asma atau pun dengan Anna, kedua-duanya pun sama-sama Putri kamu, Sabda. Mungkin, jodoh dari cucuku itu ya Putrimu yang bernama Anna,” tuturnya bijak, kemudian menepuk-nepuk bahu ayah pelan. Wajah yang bersahaja, mampu membuat semua orang sungkan dan hormat kepada juragan Zein. “Terima kasih atas kebaikannya, Juragan.” Ayah terlihat mencium punggung tangan juragan Zein. Kemudian, ibu pun ikut melakukan hal yang sama seperti ayah. “Ibu, Ayah,” ucapku lirih. Aku pun berpamitan kepada ibu dan ayah dengan mencium punggung tangan keduanya, lalu memeluk mereka dengan eratnya. Seolah tidak ingin berpisah, air mataku sepertinya tiada habis-habisnya untuk menetes. Rasa sedih, geram, jengkel dan resah menjadi satu, kala mengingat diri ini yang kini menyadang status seorang istri. “Jangan manja dan cengeng!” nasehat ibuku terlontar usai mengurai pelukkan kami. Perlahan-lahan, ibu mengusap air mataku dengan jemari tangannya. “Ayah yakin, kamu gadis yang tegar, Anna,” ucap ayah mengusap puncak kepalaku. Aku menggeleng pelan, ucapan mereka begitu menusuk dadaku. Aku sendiri tidak yakin dengan apa yang akan terjadi nanti. Apakah aku mampu melalui semua ini, dengan hati yang terpaksa? Usai berpamitan, kami pun segera melangkah pergi menuju ke dalam mobil milik juragan Zein. Seorang supir membukakan pintu untuk kami. Kemudian, sang supir pun membantu mas Adam turun dari kursi rodanya untuk duduk di kursi penumpang di sampingku. Sementara itu, juragan Zein duduk bersampingan dengan pak supir. Aku bergeming dan memejamkan mata beberapa saat, ingin lepas dari kenyataan dan berharap ini hanyalah sebuah mimpi saja. Bagaimana hari-hariku nanti, dengan setiap hari mengurus laki-laki lumpuh dan buta yang sialnya kini menjadi suamiku? Ibu dan ayah melambaikan tangan ke arah kami dengan derai air mata yang membasahi wajah keduanya. Aku yang masih setengah percaya dengan apa yang terjadi hari ini, hanya bisa membeku dengan air mata yang mengiringi kepergianku dan sekujur tubuhku pun bergetar hebat. “Semoga kamu selalu dilimpahkan kebahagiaan, Anna,” ucap ibuku lirih, disaat mobil yang kami naiki menghilang dari perkarangan rumah yang selama ini aku dibesarkan. Aku tidak mampu berkata-kata lagi, disaat meninggalkan rumah yang selama ini aku tempati. Rumah yang selalu berlimpah kasih sayang dari ibu dan ayah, juga kak Asma. *** Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman juragan Zein Wardana. Hanya menempuh waktu kurang lebih tiga puluh menitan, akhirnya mobil kami pun sampai di kediaman juragan Zein Wardana. Pagar besi yang tinggi dan kokoh, terbuka lebar oleh dua orang satpam yang menjaga rumah juragan Zein. Mereka mengangguk hormat dan memberikan jalan mobil kami untuk masuk ke dalam. Tidak ada satu kata pun yang ke luar dari mulut suamiku, setelah kami semua sampai di kediaman juragan Zein Wardana. Laki-laki itu pun terlihat tenang duduk di atas kursi rodanya, setelah dibantu oleh pak supir tadi. Bangunan megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh di samping kiri dan kanan, membuat kedua bola mataku membelalak. Tidak menyangka, rumah juragan Zein seperti istana yang sering aku lihat di televisi, lebih tepatnya di film-film kartun kerajaan yang biasa aku tonton. Rumah yang terlihat mewah dan besar layaknya istana itu, membuat bibirku bergumam takjub dan kagum. Benar-benar, sebuah rumah impian yang selama ini tidak pernah terbayangkan olehku. Jangankan memiliki rumah seperti itu, menginjakkan kakinya saja aku seolah tidak percaya. Ada seorang laki-laki muda bertubuh tegap dan berwajah tampan menghampiri kami. Dia mengangguk hormat dengan tersenyum hangat. “Selamat datang, Nona Muda! Selamat atas pernikahannya,” sapanya ramah. “Salam kenal, saya Asisten Bisma,” ucapnya memperkenalkan diri sambil menangkupkan kedua tangannya. Aku pun mengangguk pelan dengan tersenyum tipis ke arahnya. “Terima kasih, Tuan! Salam kenal juga, saya Annaya.” Setelah itu, asisten Bisma pun beralih tugas menggantikan pak supir untuk mendorong kursi roda mas Adam. “Sini, biar saya saja!” ucapnya, seraya memegang gagang kursi roda. Pak supir pun mengangguk mengerti, kemudian mundur beberapa langkah meninggalkan kami berempat. “Maafkan aku, Tuan! Aku tidak bisa hadir di acara pernikahanmu,” bisik asisten Bisma di samping telinga Adam. “Heeem…” hanya gumaman pelan terdengar dari bibir Adam, membuat aku pun melirik ke arahnya penasaran. Buru-buru aku kembali ke posisi semula, saat sadar kedua netra asisten Bisma menatapku heran. Aku jadi salah tingkah, tanpa sadar terlalu penasaran apa yang sedang dilakukan oleh asisten Bisma kepada mas Adam. Juragan Zein melangkah maju di depan kami, menuju pintu utama yang berukuran tiga kali lipat lebih besar dari pintu rumahku. Terlihat dua orang penjaga mengangguk hormat kepada kami, memberi jalan untuk kami masuk ke dalam. “Selamat datang di rumah ini, Cucuku Anna. Mulai hari ini, kamu adalah bagian dari keluarga besar Wardana. Jangan sungkan kalau kamu membutuhkan sesuatu! Apa pun itu, kamu bisa memintanya.” Juragan Zein menepuk-nepuk bahuku pelan dengan tersenyum tulus. “I-iya, Juragan,” ucapku gugup, seraya mengangguk dan tersenyum miris. “Jangan panggil Juragan, Nak! Panggil Kakek saja. Kamu harus terbiasa, mulai hari ini,” titahnya mengusap puncak kepalaku. “I-iya, K-kakek,” ucapku canggung dengan mengusap tengkukku yang tidak gatal. Aku benar-benar grogi dan tidak biasa memanggil juragan Zein dengan kata kakek. Sambutan dari para pelayan yang berpakaian seragam hitam dan putih, terlihat berjejer di depan pintu. Mereka tertunduk hormat saat kami melintasi jalan pintu masuk yang akan kami lalui. Juragan Zein mengenalkan satu persatu nama pelayan itu kepadaku, lalu memberitahuku apa saja tugas-tugas mereka. Aku pun mendengarkan dengan baik, lalu mengangguk pelan setelah apa yang dikatakan oleh juragan Zein. “Layani semua kebutuhan Cucu mantuku!” titah juragan Zein tegas kepada para pelayan tersebut. Sontak saja kedua mataku membola, mendengar ucapan juragan Zein. “Baik, Tuan Besar!” ucap para pelayan itu dengan mengangguk hormat. “Kakek mau beristirahat, tubuh Kakek sudah sangat letih,” ujar juragan Zein. “Kalian beristirahatlah!” titahnya kepadaku dan mas Adam. Tanpa menunggu jawaban dari kami, juragan Zein lantas melangkah pergi menaiki tangga menuju lantai dua rumah ini. Aku membeku, seolah bingung apa yang mesti aku lakukan. Aku begitu asing dengan suasana yang baru aku temui di rumah ini. “Ada yang bisa kami bantu, Nona Muda?” tanya salah satu pelayan yang bernama Wati dengan ramah. “Ya, Nona Muda. Katakan saja kepada kami, apa yang Nona Muda inginkan?” timpal Ipah dengan senyum mengembang. Aku menggeleng, terlalu takut dan malu untuk meminta bantuan mereka. Sebenarnya aku sangat lelah, letih dan capai, karena semalam sebelum pernikahan ini terjadi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Memikirkan pernikahan yang mendadak dan setengah hati ini, membuat dadaku terasa sesak dan sulit untuk terpejam. “Tunjukkan kamarku kepadanya, Bisma!” titah Adam. “Baik, Tuan!” ucapnya mengangguk. “Ayo, Nona Muda!” ajak asisten Bisma, seraya mendorong kursi roda mas Adam. Aku pun mengangguk pelan, mengekori mereka dengan langkah gontai. Wati dan Ipah pun mendampingi langkahku hingga kami sampai di depan pintu kamar mas Adam. “Tinggalkan Aku dan Istriku! Jangan datang, kalau tidak diperlukan!” ucap mas Adam tegas. Deg! Jantungku berdegup kencang, suasana horror tiba-tiba menyelimuti diri. Ada perasaan takut yang menguasai jiwaku, jika hanya berdua dengan mas Adam yang masih misterius di mataku. --To be Continue--Setelah memeriksakan kehamilan istrinya ke dokter, Adam pun segera mengabari berita bahagia tersebut kepada sang kakek dan mertuanya. Betapa senang sekaligus terkejutnya mereka, kala berita itu disampaikan langsung oleh Adam Kusuma Wardana. Anna yang melihat raut wajah suaminya sumringah ketika berbicara di telpon, nampak mengulum senyum sambil mengusap lembut perutnya yang masih rata itu. “Terima kasih, calon dedek bayi ku. Mama senang, kamu telah tumbuh di rahim ini,” gumamnya lirih. “Video call….,” ucap Adam di tengah pembicaraannya dengan sang mertua, sambil melihat ke arah istrinya. Seolah tahu maksud ucapan suaminya, Anna pun nampak mengangguk-anggukkan kepalanya lirih dengan mengulas senyuman tipis. Melihat respon istrinya, Adam pun lantas menekan tombol recorder untuk melakukan video call dengan sang mertua. “Assalamualaikum, Ibu dan Ayah….” Anna nampak mengucapkan salam sambil melambaikan tangannya di depan camera telpon dengan raut wajah bahagia. “Waalaikumusalam, Nak….
--Happy Reading-- Dua bulan kemudian. Di kampus. Anna nampak lemas dan tidak semangat. Sedari pagi, napsu makannya tiba-tiba hilang. Begitu juga saat ini, di kantin kampus. Ia memaksakan diri untuk menyuap makanan yang ada di hadapannya. Namun, tiba-tiba perutnya seperti di kocok dan ingin muntah. Owek! Anna berlari ke arah washtafel di dapur kantin, lalu memuntahkan isi perutnya yang kosong. Hanya cairan kental berwarna bening, yang ke luar dari dalam rongga mulutnya. “Anna….!” Panggil Marta segera menyusul sahabatnya itu, lalu membantu memijit tengkuk Anna, saat Anna sedang menunduk di depan washtafel untuk memuntahkan isi perutnya. “Apa kamu sakit, Anna?” tanya Marta yang sangat cemas. Anna pun tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia hanya menggeleng sambil membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari washtafel. Ia tidak merasa sakit, ia hanya mual dan tidak nafsu untuk makan sedari pagi tadi. “Wajah kamu pucat, Anna.” Marta memperhatikan dengan menel
--Happy Reading--Pagi ini, dua pasang suami istri itu sedang menikmati breakfast di restoran sekitar hotel mereka menginap.Mereka memesan menu makanan beraneka macam jenis yang tersedia di restoran tersebut, dengan berbagai nama masakannya yang unik.Anna dan Marta pun menyicipi satu persatu jenis makanan khas kota Paris tersebut. Nama yang asing di telinga mereka, yaitu Escargote, Ratatouille, Foie Gras dan masih banyak lagi nama-nama jenis makanan yang lainnya.Untuk pertama kalinya, Anna dan Marta benar-benar menikmati makanan khas kota Paris yang membuat lidah mereka ketagihan.Adam dan asisten Bisma yang sudah pernah berkali-kali mencicipi makanan itu pun, hanya menggeleng dan mengulum senyum dengan tingkah istri mereka yang terlihat lucu di matanya.Usai mengisi perut mereka dengan berbagai menu pilihan tersebut, dua pasang suami istri itu pun meninggalkan hotel penginapan tersebut, menuju berbagai tempat wisata yang telah mereka rencanakan sebelumnya
--Happy Reading--Dua Minggu telah berlalu.Pesta pernikahan asisten Bisma dan Marta Kirani pun akhirnya berlangsung dengan mewah dan megah di kota Garut. Tepatnya, di hotel bintang lima yang cukup ternama di kota itu.Semua biaya pernikahan mereka, hadiah dari Adam Kusuma Wardana. Ia yang memang sudah berjanji kepada asisten Bisma untuk menanggung semua itu. Mulai dari biaya lamaran, undangan, akad nikah, seserahan, resepsi pernikahan dan yang terakhir, bulan madu ke Paris.Ya, Adam sudah berencana akan honey moon ke Paris bersama sang istri, setelah menunggu asistennya menikah. Karena, honey moon mereka sempat gagal sewaktu itu.Kedua orang tua asisten Bisma dan Marta pun, sangat berterima kasih kepada Adam dan istrinya, Anna. Mereka sangat bersyukur atas kebaikan Adam dan istrinya, yang sudah membantu membiayai semua dana pernikahan dan bulan madu anak-anaknya.Dengan kerendahan hati, Adam dan Anna tidak bersikap sombong atau pun congkak. Mereka nampak sen
--Happy Reading--“Terserah, Pah! Papah mau bilang Mama kurang sopan, kek. Kurang etika, kek. Terserah Papa! Sepertinya, Mama kurang setuju untuk menikahkan Marta dengan laki-laki ini. Mama tidak terima, ia bertanya sangat tidak sopan kepada Mama. Pokoknya, Mama sudah membatalkan lamaran ini. Mama tidak akan memberikan restu untuk kalian, walaupun kalian tetap akan menikah. Titik!”Ibunda Marta pun lantas meninggalkan mereka semua, dengan lelehan air bening yang sudah membanjiri wajahnya, tanpa menunggu suaminya membalas perkataannya.“Mama….” Marta memanggil ibundanya lirih dengan rasa yang menghimpit sesak di dalam dadanya.“Dasar orang tua keras kepala kamu, Mah!” umpat ayah Marta kesal, istrinya suka sekali mengambil keputusan sendiri.Ya, sifat istrinya memang kerap kali naik turun, sering labil dan sedikit egois dengan kehendaknya sendiri.Sontak, semua orang yang mendengar perkataan ibunda Marta pun sangat terkejut dibuatnya. Terlebih lagi, asisten Bis
--Happy Reading--Suasana tiba-tiba menjadi hening, ada sedikit rasa tegang dan terkejut. Ucapan ibunda dari calon menantu keluarga asisten Bisma sedikit mengusik hati dan pikiran semua orang yang hadir di acara lamaran tersebut.Terlebih lagi, Marta dan asisten Bisma, selaku orang yang berkepentingan paling utama.“Maaf, Nyonya! Apa maksud, Nyonya?” Adam buru-buru bertanya memecahkan keheningan yang datang tiba-tiba. “Saya sudah menikah. Dan, ini Istri saya yang paling saya cintai,” kata Adam to the point, seraya menggenggam tangan Anna.Anna pun tersenyum tipis, merasa kikuk dan canggung.“Mama…” gumam Marta, seraya menggeleng kuat. Ia benar-benar merasa tidak enak hati dan malu dengan ucapan sang ibu. Walaupun ia yang salah, belum sempat mengenalkan asisten Bisma secara langsung, karena hubungan mereka yang terlampau singkat. Namun, setidaknya sang ibu sudah pernah saling berbincang lewat video call.“Oh, saya tidak bermaksud apa-apa, Nak. Saya hanya salah