--Happy Reading--
Penasaran yang berujung kegelisahan takan pernah membuahkan hasil, sebaliknya penasaran yang berujung perhatian lambat-laun akan menemukan titik temu sebagai buah kesabaran. *** Aku begitu penasaran dengan penglihatan mas Adam yang sebenarnya. Mengapa hatiku mengatakan jika mata mas Adam itu tidaklah buta. Namun, tidak ada reaksi darinya ketika jemari tanganku menari di depan wajahnya. Mas Adam semakin greget dengan kelakuanku yang tidak segera memberikan shamponya, hingga suara baritonnya bisa merusak gendang telingaku, saking kencangnya. “Hey, cepat bawa ke sini shamponya! Apa yang kamu lakukan, huh? Kenapa lama sekali, sih?” Tangan mas Adam menjulur meminta shamponya, dengan rahangnya yang mengeras. Terdengar suara gemelutuk dari gigi mas Adam, saking geramnya kepadaku. “Eeh… iya, Tuan. Ini, shamponya,” kejutku gelagapan, lalu mengulurkan shampoo ke tangan mas Adam dengan tanganku yang gemetar. Meski suamiku tidak bisa melihatku, namun aku tetap memalingkan wajahku untuk tidak bersitatap dengan wajah mas Adam dalam jarak yang sangat dekat. Aku mundur beberapa langkah, memberi jarak dan menormalkan detak jantungku yang aku pun tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan sebongkah daging yang bersarang di dadaku itu. Dengan tidak sabaran, mas Adam membuka tutup botol shamponya kasar dan menuangkan cairan shamponya begitu banyak di telapak tangannya yang besar. Aku mencuri-curi pandang, meskipun mas Adam memang tidak melihatku. Namun, aku masih begitu risih dengan situasi seperti ini. Terlihat, kedua mata mas Adam terpejam, saat kedua tangannya menari-nari di atas rambutnya yang berselimut busa shampoo yang harumnya menyusup ke dalam penciumanku. Seketika, aku pun ikut terpejam menikmati aroma wangi shampoo yang mampu membuatku terbuai. Saking terbuainya aku, ternyata aku tidak menyadari jika mas Adam sudah menuntaskan mandinya. “Ambilkan handukku!” titahnya. Aku pun melakukan apa yang dia perintahkan, lalu membantunya untuk ke luar dari dalam bathtub. Aku berusaha menahan mati-matian rasa degup jantungku yang tidak karuan, saat tangan kekarnya bertumpu melingkar di pundakku. Aku pun berusaha untuk tidak melihat ke arahnya, apalagi ke anunya mas Adam. Aku membantu memakaikan handuk yang berbentuk kimono ke tubuh mas Adam, dengan mata terpejam. Benar-benar menguji nyaliku, ketika mau tidak mau tanganku bersentuhan dengan tubuh dan tangan suamiku itu. “Duduk,” ucapnya. Aku pun mengedarkan bola mataku, tertuju ke sebuah wastafel yang terdapat sebuah tempat duduk yang berbentuk persegi panjang, dengan berlapis lantai marmer yang cantik. “Di sini?” tanyaku. “Heem…” Mas Adam bergumam pelan, seraya mendaratkan bokongnya setelah meraba-raba tempat duduknya. Aku menjaga jarak, mengamankan jantungku yang tidak henti-hentinya berdegup cepat. Nasibku, mengapa jadi mengenaskan seperti ini? Apa seperti ini rasanya, menjadi istri pengganti dadakan? Entahlah, aku pun tidak mengerti. Lagi-lagi mas Adam memintaku untuk membantunya. Dengan sabar, aku pun harus mengikuti apa maunya. Mas Adam ingin aku mengambilkan sikat dan pasta giginya dengan merk yang dia sebutkan, setelah selesai menggosok giginya, dia pun meminta aku mengambilkan sabun pencuci wajah khusus pria sesuai yang dia sebutkan jenisnya. Ada beberapa jenis pencuci wajah di sana. Ada yang berbentuk cair halus, ada pula yang berbentuk busa dan scrub. Aku membantu mas Adam untuk berdiri di depan wastafel yang aku nyalakan airnya, untuk membersihkan busa yang menutupi wajah mas Adam. Mas Adam sedikit membungkuk dengan satu tangannya sebelah kanan meraba keran wastafel, lalu menciduk air yang mengalir dari keran tersebut dan mengusap wajahnya yang berlimpah busa sabun. Setelah beberapa detik, wajahnya terlihat bersih dari busa dan mengeratkan tangan kirinya ke bahuku. Aku sedikit meringis, kala bahuku dicengkramnya dengan kuat. “Awwh…’ desisku lirih. Seolah tahu apa yang aku rasakan, mas Adam merenggangkan cengkramannya di bahuku. Namun, sialnya disaat aku lengah, dengan sengaja mas Adam mencipratkan air ke wajahku. Byuur… Aku pun tersentak kaget, lantai yang licin membuat kakiku terpeleset, hingga tubuhku pun limbung dan terjatuh ke lantai dengan posisi berada di atas tubuh mas Adam. “Aaaa…” Hening. Hanya kedua bola mata kami yang saling membola dengan degup jantung yang tidak beraturan. Napas kami saling memburu, menerpa wajah yang memerah dengan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Deg! Aku bisa mendengar degup jantung mas Adam yang begitu cepat, saat kepalaku terbentur dadanya seperkian detik tadi. Beruntung, degup jantungku masih aman, tidak tertangkap oleh pendengaran mas Adam. Darahku seketika berdesir, dengan tubuh membeku menahan rasa yang sulit untuk diungkapkan. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan reaksi tubuhku, mengapa bisa semendebarkan ini. Wajah tidak berdosa, seolah tergambar oleh mas Adam. Sementara diriku, sudah mati-matian menahan rasa gugup dengan posisi yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Andai saja mas Adam bisa melihat, sudah dipastikan wajahku kini seperti kepiting rebus di matanya. “Berat,” ucapnya membuyarkan lamunanku. "Dasar, Gadis ceroboh!" “Eeh…” Aku panik, mencoba menyingkir dan bangkit dari atas tubuh mas Adam. Lalu, meminta maaf dengan wajah tertunduk penuh penyesalan. “M-maafkan kecerobohan saya, Tuan!” Tanpa menunggu jawaban mas Adam, aku pun segera menarik lengannya untuk bangkit dari lantai. Dengan sabar, aku papah dirinya ke luar dari ruangan lembab itu, lalu mendudukkannya di pinggir ranjang. “Ambilkan baju tidurku yang berwarna merah!” titahnya kembali terdengar. “Sekalian pakaian dalamku juga,” imbuhnya. “B-baik,” ucapku cepat, bergegas menuju lemari kaca berpintu delapan. Aku mencoba membuka pintu yang ke satu, ternyata hanya berisi beraneka warna dasi dan sabuk saja. Aku mendengus pelan, ternyata aku salah buka pintu. Aku coba lagi pintu lemari yang ke dua, lagi-lagi salah buka pintu, di sana hanya berisi koleksi jam tangan mahal milik mas Adam. Baru saja aku mencoba membuka pintu lemari ke tiga, suara baritone mas Adam menghentikan gerakan tanganku. “Lama sekali. Mana baju tidurku, huh?” Mas Adam tidak sabar menunggu, hingga dia pun membentakku kembali. “I-itu, a-aku…” ucapku menggantung. “Pintu lemari ke enam dan ke tujuh,” ujar mas Adam, seolah tahu jika aku kesulitan menemukan apa yang dia pinta. Aku mengangguk pelan, segera membuka lemari ke enam dan ke tujuh dengan cepat. “Berhasil,” gumamku senang, mengambil baju tidur berwarna merah dengan underweaar yang senada. Begitu banyak warna baju tidur, dengan merk ternama yang sudah dipastikan harganya tidak main-main. Jangankan baju tidurnya, bahkan pakaian dalamnya saja bisa dipastikan mencapai harga jutaan rupiah untuk satu jenis merk ternama yang tertera. Aku sampai melongo dan menggeleng, dengan merk yang pernah aku baca disebuah iklan majalah pakaian dalam yang dibuat oleh designer terkenal dengan harga selangit. Aku menaruh pakaian tidur dan underweaar mas Adam di sampingnya, lalu mengarahkan tangan mas Adam untuk mengambilnya sendiri. “Ini bajunya, Tuan!” Mas Adam mengangguk pelan dengan ekspresi datar. Dia pun segera meraih pakaian yang dia minta tadi. “Mandi, sana! Kamu sangat bau sekali,” ucap mas Adam tidak berperasaan. Aku yang mendengar kata mas Adam, berdecak kesal dengan kedua tanganku yang mengepal kuat. “Ck, menyebalkan!” Andai saja mas Adam bukan suamiku dan meracun itu tidak berdosa, ingin rasanya aku sumpal mulutnya dengan sianida, agar tidak seenaknya kalau bicara. Dengan langkah gontai menahan kesal, aku pun lekas masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan setengah membanting. Blugg…. Aku mengendus ketiakku refleks, barang kali baunya berasal dari situ. Namun, ketiakku masih harum, karena aku tidak pernah lupa memakai deodorant. Bajuku yang terasa basah, kucoba mengendusnya dengan perlahan. Masih wangi pengharum pakaian yang menyeruak ke dalam penciumanku. “Mana ada bau, tubuh dan bajuku masih wangi. Dasar, suami menyebalkan!” grutuku di dalam kamar mandi, dengan gigi yang saling gemeletuk. --To be Continue----Happy Reading--Hampir setengah jam aku membersihkan diri, rasa letih dan lelah seharian ini seolah sirna berganti rasa segar yang menguyur rambut dan tubuhku.Aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan mas Adam. Ternyata dia sudah tidak ada, aku pun bisa bernapas dengan lega untuk sementara ini.Aku hendak mengganti pakaianku yang sudah basah tadi, mencoba mencari keberadaan koperku di seluruh pojok ruangan kamar. “Di mana koperku?”Plak!Aku memukul pelan keningku dengan telapak tangan.“Astagfirulloh, aku lupa.”Aku baru sadar, jika koper kecil milikku masih berada di dalam bagasi mobil juragan Zein. Koper yang hanya berisi beberapa potong pakaian beserta dalamannya yang aku perlukan dan beberapa buku bacaan yang aku gemari. Tidak banyak hal yang aku pikirkan, setelah menikah siang tadi langsung diajak ke rumah ini. Aku pikir, setelah menikah tadi, kami akan bermalam dan tidur di kamar kak Asma yang sudah dihias ala kamar
--Happy Reading--Penasaran yang berujung kegelisahan takan pernah membuahkan hasil, sebaliknya penasaran yang berujung perhatian lambat-laun akan menemukan titik temu sebagai buah kesabaran.***Aku begitu penasaran dengan penglihatan mas Adam yang sebenarnya. Mengapa hatiku mengatakan jika mata mas Adam itu tidaklah buta. Namun, tidak ada reaksi darinya ketika jemari tanganku menari di depan wajahnya.Mas Adam semakin greget dengan kelakuanku yang tidak segera memberikan shamponya, hingga suara baritonnya bisa merusak gendang telingaku, saking kencangnya.“Hey, cepat bawa ke sini shamponya! Apa yang kamu lakukan, huh? Kenapa lama sekali, sih?” Tangan mas Adam menjulur meminta shamponya, dengan rahangnya yang mengeras. Terdengar suara gemelutuk dari gigi mas Adam, saking geramnya kepadaku.“Eeh… iya, Tuan. Ini, shamponya,” kejutku gelagapan, lalu mengulurkan shampoo ke tangan mas Adam dengan tanganku yang gemetar. Meski suamiku tidak bisa melihatku, namun ak
--Happy Reading--Jangan menilai orang dari luarnya saja, akan tetapi lupa dengan kebaikan apa yang ada di dalam hati orang itu. Jangan membuat asumsi sendiri, tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Jangan seperti kacang lupa kulitnya, saat senang dia datang dan saat susah dia pergi.***Seolah mengerti apa yang mas Adam ucapkan, secepat mungkin asisten Bisma dan kedua pelayan itu bergegas meninggalkan kami berdua. Kini, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang bisa aku lakukan.“Buka pintu kamarnya! Apa kamu mau berdiri terus, huh?” Suara mas Adam terdengar ketus.“Eeh… iya.” Aku tersentak dari lamunan sesaat tadi, memegang dadaku yang masih berdebar kencang.Sontak aku memegang gagang kursi roda mas Adam, seraya meraih gagang pintu kamar. Setelah pintu kamar terbuka, dengan perlahan aku mendorong kursi roda mas Adam untuk masuk ke dalam kamarnya.Mulutku melongo, melihat kamarnya yang begitu luas dan besar. Mungkin, ukuran kamar ma
--Happy Reading--Sebuah pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Apa jadinya jika sebuah pernikahan yang terjadi tanpa kenal, sayang dan cinta? Percayalah, seiring berjalannya waktu, maka kamu akan perlahan mengenal, tumbuh sayang dan jatuh cinta kepada pasanganmu dengan cara yang indah, melalui doa-doa bermunajat lewat jalur langit.***Hari semakin beranjak sore, para tamu undangan di desaku satu-persatu berangsur-angsur pergi. Kini, aku akan segera bersiap untuk diboyong oleh keluarga suamiku, juragan Zein Wardana.Aku yang sudah resmi menjadi istri dari pria lumpuh dan buta itu pun, hanya bisa patuh tanpa bisa menolak permintaan dari juragan Zein Wardana yang mengharuskan aku untuk turut serta tinggal di kediamannya.“Saya titipkan Putri bungsu saya, Juragan. Maaf, jika saya sudah mengecewakan Juragan, atas incident yang terjadi,” ujar ayah dengan wajah tertunduk penuh penyesalan, sudah mengganti calon menantunya secara dadakan. “Tidak apa-apa, m
--Happy Reading--Setiap gadis memimpikan pernikahan yang indah dengan pujaan hatinya. Namun, tidak semua impian itu bisa berjalan dengan sempurna sesuai apa yang kita inginkan. Meskipun demikian, percayalah bahwa tujuan sebuah pernikahan pada dasarnya baik, untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.***Ayah mengulurkan tangannya ke arah pria yang akan menjadi suamiku sesaat lagi, lalu menjabat tangannya dengan erat. Sebenarnya ayah mengenal cucu juragan Zein, saat remaja dulu. Namun, selepas lulus Sekolah Menengah Atas, cucu juragan Zein melanjutkan pendidikannya di luar negeri, yaitu Singapore. Setelah itu, ayah sangat jarang melihatnya. Karena, cucu juragan Zein bekerja di kota.Suara lantang mulai terdengar dari bibir ayah, disaat melapalkan Ijab Qabul untuk kami, sepasang mempelai pengantin. Diawali dengan kata Bismillah, ayah menyerahkan tanggung jawab aku sebagai anaknya kepada calon menantunya di hadapan bapak penghulu, para saksi dan para tamu. Pernikahan
--Happy Reading--Jadilah sebuah lilin, meskipun kecil dia mampu memberikan penerangan dan kehangatan. Jadilah sebuah tali, meskipun rapuh dia mampu menyambungkan dan menyatukan. Betapa pun besarnya cinta dan kebaikan seorang anak kepada orang tuanya, tidak mampu membalas jasa dari kedua orang tuanya yang telah melindunginya sepanjang masa. Maka dari itulah, contoh lilin dan tali bisa memberikan kita sebagai anak untuk sebuah pelajaran yang berharga.***Detik berjalan, aku terpejam dengan pikiran menerawang. Aku masih gamang dengan pernyataan ayah yang ingin aku menggantikan posisi kak Asma.“Anna, Putriku!” panggil ibuku lirih, berdiri di ambang pintu kamarku.Aku dan ayah menoleh ke arah suara ibu hampir bersamaan. Aku segera bangkit dari tempat dudukku.“Ibu!” air mataku berjatuhan membasahi pipi. Entah perasaan apa yang sedang aku hadapi kali ini. Apakah rasa bahagia telah terbayar akan rinduku bertemu ibu, atau rasa sedih atas permintaan ayah yang baru saja aku dengar?Aku menci