Share

Hamil?

“Huek!”

Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil.

Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut.

“Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya.

Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar.

Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. Tak perlu menunggu waktu lama, pria itu selalu merespons cepat untuk orang tersayang.

Izhar langsung meneleponnya, untuk memastikan apa yang dikirimkannya benar.

[“Assalamualaikum.”]

“Waalaikumussalam.” Nirmala memekik kegirangan mendengar salam dari suaminya itu.

[“Mala, kamu ... Kamu beneran?”] Bingung, senang, dan panik terdengar dari suara Izhar.

“Iya, alhamdulillah.” Nirmala memejamkan matanya erat, dia sungguh senang.

[“Alhamdulillah ... Punya siapa? Kamu apa Ayesha?”]

Seketika raut wajah Nirmala berubah kala Izhar menyebut nama Ayesha. Masam.

“Aa pikir itu punya siapa?” Nirmala terlihat jengkel.

[“Punya kamu, kan? Aa cuman mau memastikan, Mala.”] Izhar memperjelas maksudnya.

“Itu punya aku dan aku lagi hamil sekarang. Bukannya itu cukup, A? Aa cukup satu, kan?”

Seketika hening, untuk sesaat. Nirmala menunggu jawaban dari Izhar yang sebenarnya menunggu dirinya untuk memperjelas maksud dari ucapannya itu.

[“Cukup untuk hal apa maksud kamu?”]

“Aku hamil, dan bukannya itu cukup buat Aa? Itu yang Aa mau, kan? Sekarang Aa udah dapat apa yang Aa mau. Bukannya Aa cukup satu, cukup aku aja? Jadi, bukannya itu semua cukup untuk jadi alasan Aa menceraikan Ayesha segera?”

[“Mala, kita bicarakan ini lagi nanti. Aa lagi kerja sekarang. Aa bakal kabarin Ibu dulu. Ibu pasti seneng denger kamu hamil. Aa juga bakal menghubungi orang tua kamu.”]

“Begitu Aa pulang nanti ... Cerai sama Ayesha!”

Nirmala kemudian menutup teleponnya dan menatapi testpack di tangannya. Dia tersenyum sesaat dan menghela nafasnya, seolah lega saat dia mendapati dirinya hamil lebih dulu dari Ayesha.

Nirmala keluar dari kamarnya dan menemukan Ayesha yang tengah membuat sarapan untuknya sendiri. Sereal seperti biasanya. Ayesha tak bisa memasak dan Nirmala tak menyediakan makanan untuknya. Jadi, sebisa mungkin Ayesha makan dengan apa yang bisa dia buat.

Tanpa aba-aba, Nirmala menaruh testpack yang ada di tangannya di dekat mangkuk sereal Ayesha. Ayesha yang baru saja hendak menuangkan susu menatapnya singkat dan melirik Nirmala. Nirmala kemudian menatap Ayesha, menunggu reaksinya.

“Wah, selamat!” ucap Ayesha tampak tersenyum dan menatap ke arah Nirmala.

Nirmala seketika balas tersenyum. Dia menatapi Ayesha yang tampaknya terlalu polos untuk mengerti maksudnya, untuk mengerti dunia orang-orang dewasa yang lebih egois.

“Ya, makasih. Kamu bilang selamat dengan sangat tenang, bahkan terlihat menunjukkan rasa senang juga,” balas Nirmala seraya mengambil lagi testpacknya dan memeganginya.

“Ay turut berbahagia. Ay dengar Teh Mala tadi mual, Ay cukup tanggap buat ngerti kalau Teh Mala mungkin hamil.” Ayesha mengakuinya sambil menganggukkan kepalanya.

“Kamu pura-pura enggak ngerti atau memang enggak ngerti?” tanya Nirmala sarkas.

“Tentang?” balas Ayesha seraya menuangkan susu ke mangkuk serealnya.

“Aku hamil. Tujuan A Izhar nikahin kamu sebelumnya, untuk punya anak. Sekarang, kamu enggak memberikan anak untuk A Izhar dan tetap aku yang lebih dulu memberikan anak untuk A Izhar. Kamu tahu itu artinya apa?” tanya Nirmala.

Ayesha terdiam sejenak saat hendak menaruh susunya lagi ke kulkas. Dia mengulum bibirnya sambil menatap ke arah Nirmala dan mengangguk pelan.

“Cerai?” Ayesha mengangkat satu alisnya ragu.

“Mm, A Izhar akan segera menceraikan kamu. Aku enggak mau senang untuk itu, tapi kayaknya aku bisa bersikap lebih baik sama kamu sebelum kita berpisah.” Nirmala tersenyum simpul.

“Apa Teh Mala yakin A Izhar bakal mau cerai sama Ay?” tanya Ayesha, agak lancang.

Nirmala yang ganti terdiam. Dia ingat bagaimana Izhar menjadi lebih dekat dengan Ayesha.

“Bukannya kamu mau pulang ke rumah sepupu kamu? Pulanglah! Aku bakal sampaikan ke Izhar kalau kamu udah pulang dan siap menunggu panggilan pengadilan buat cerai nanti.”

Kali ini suara Nirmala lebih dingin. Karena pertanyaan Ayesha sebelumnya seolah Ayesha ingin pamer tentang bagaimana hubungannya dengan Izhar semakin berkembang.

“Bukannya Teteh lebih tahu agama ketimbang Ay? A Izhar harus nunggu Ay sampai Ay datang bulan lagi sebelum cerai. Bisa aja—”

“Kamu berharap hamil?” Nirmala menatap Ayesha dengan nafas yang mulai menderu.

“Enggak juga, Ay lebih berharap enggak. Cuman, Ay enggak tahu harus bilang apa kalau pulang ke bibi atau ke Devan. Ay bakal tunggu A Izhar pulang, dan nganterin Ay ke rumah Devan,” jawab Ayesha seadanya.

“Bukannya kamu mau nunggu A Izhar supaya A Izhar mempertimbangkan lagi untuk bercerai sama kamu? Supaya kamu bisa bikin hati A Izhar berantakan dan akhirnya enggak bisa menceraikan kamu?” Nirmala mulai terbawa emosi sekarang.

Ayesha menatapi Nirmala sambil menggeleng dan mengangkat bahunya enteng.

“Kamu mau pulang, kan? Tinggal pulang! Kenapa sekarang kamu kayaknya mulai egois mau ngambil suami Teteh dari Teteh, Ay? Teteh lagi hamil loh, Ay!” tekan Nirmala padanya.

“Kenapa Teteh kayaknya pengen cepet-cepet Ay pergi?” balas Ayesha.

“Kamu tanya kayak gitu? Kamu enggak akan pernah ngerasain ada di posisi Teteh. Teteh nikah lama, belum dikasih kepercayaan sama Allah buat hamil lama, ditekan sama mertua untuk punya anak. Dan bahkan dimadu sama kamu yang dulunya murid Teteh. Kamu pikir Teteh enggak sakit hati selama ini?” Nirmala menatap Ayesha dengan lekat.

“Bahkan sejak ngelihat kamu pertama kali sebagai istri keduanya A Izhar, Teteh enggak terima, sampai sekarang. Lihat kamu dekat sama suami Teteh, Teteh muak, Ay!” Nirmala mengencangkan suaranya, semakin terbawa emosi sendiri menjelaskan perasaannya pada Ayesha.

Ayesha mengerjapkan matanya. Dia pasang telinga mendengarkan keluh kesah Nirmala.

“Apa lagi A Izhar kayaknya mulai tergila-gila sama kamu sejak kamu menyerahkan diri ke A Izhar. A Izhar lebih perhatian ke kamu, A Izhar bahkan mulai cuekin Teteh, Ay! Tapi mulai sekarang enggak lagi. Dengan adanya bayi ini, kamu enggak akan bisa ganggu kami lagi.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Inayati Bachrat
cerita nya bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status