Share

Gengsi

“Assalamualaikum.”

Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya.

“Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa.

Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang.

“Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar.

Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya.

“Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut.

“Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba.

Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenuhi bintik merah, hingga ke lehernya. Dia digigit nyamuk karena tidur di sana?

“Oh,” ucap Ayesha singkat seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamarnya.

Izhar memperhatikan Ayesha, merasa bersalah melihat Ayesha mungkin menunggu mereka semalaman, dilihat dari caranya menelepon puluhan kali dan ditemukan tidur di sofa.

“Kamu enggak harus bilang kita dari mana,” ucap Izhar pelan sambil menatap Nirmala.

“Dia kayaknya nunggu, makanya aku kasih tahu. Dari pada nanti salah paham atau apa. Supaya dia ngerti kalau kita dari mana,” balas Nirmala seraya beranjak ke kamarnya juga.

Izhar menghela nafasnya, duduk di sofa dan mengusap wajahnya halus. Satu sisi ada Ayesha, di sisi lain ada Nirmala. Dia merasa bersalah pada Ayesha karena mungkin membuatnya ketakutan sendirian di rumah sepanjang malam. Di sisi lain dia lagi-lagi salah di mata Nirmala.

Di kamar, Ayesha menatapi wajahnya di cermin yang terasa gatal akibat gigitan nyamuk. Dia menggaruknya halus agar tak melukai wajahnya sendiri. Itu termasuk aset baginya.

“Kenapa enggak ngabarin aja dari awal, coba?! Enak banget tidur di hotel, sementara Ay di sini malah digigit nyamuk,” protes Ayesha, mengumpat dengan suara pelan.

Ayesha mendecak pelan. Dia jadi agak jengkel karena dibuat menunggu. Jika dirinya tak punya trauma akan hal itu mungkin dia bisa bersantai semalam. Sayangnya, dia punya trauma tentang bagaimana orang di sekitarnya tak kunjung pulang setelah tak ada kabar.

“Ay?” Izhar membuka pintu kamarnya dan mengulum bibirnya menatapi Ayesha.

“Apa? Ay mau istirahat,” sahut Ayesha tak ramah karena dirinya masih mengantuk.

Izhar menghela nafasnya dan memasuki kamar Ayesha. Ayesha menatapi pria itu dan mendecak sambil berjalan menjauhi Izhar yang berusaha mendekatinya.

“Ay, kamu nunggu Aa semalam?” tanya Izhar.

“Enggak, ngapain nunggu Aa? Semalam bukan jatahnya Ay, kan?” balas Ayesha sinis.

“Kamu terdengar jengkel dan kesal. Kamu cemburu karena Aa pergi berdua sama Nirmala?” Izhar hendak Menggoda Ayesha untuk membuat suasana tak terlalu canggung.

“Ay ada hak buat cemburu? Ngapain? Buang waktu,” balasnya gengsi.

“Tapi kamu telepon Aa puluhan kali semalam. Kamu juga sampai tidur di sofa, apa karena kamu takut ditinggal sendirian semalaman?” goda Izhar lagi.

Ayesha mendecak sesaat. Dia menyangkalnya, sungguh. Ayesha menatapi Izhar yang berhasil membuatnya waswas semalaman. Mungkin Izhar tak akan mengerti maksudnya saat itu.

“Bisa enggak, sih, kalau pulang telat, atau bahkan enggak pulang itu ngabarin? Aa selalu nyuruh Ay buat kayak gitu kalau keluar, tapi Aa enggak ngasih feedback ke Ay. Bukan masalah cemburu apa enggak. Ay mah silakan aja, kalian mau ngapain sesuka hati juga, silakan! Dari awal Ay ke sini juga Ay sadar diri siapa Ay. Ay enggak suka dibiarin nunggu kayak semalam.”

Ayesha terdengar serius sekarang. Dan itu membuat Izhar menarik bibirnya juga meneguk ludahnya mendengarkan Ayesha. Ayesha mendecak lagi seraya memegangi keningnya dan mengurutnya pelan.

“Ay, kenapa? Semalam ada apa selama Aa pergi?” Izhar jadi khawatir padanya sekarang.

“Enggak ada yang terjadi. Ay cuman mau menyampaikan itu. Ay enggak suka nunggu yang enggak pasti,” tekan Ayesha agak mengeraskan suaranya.

Melihat Ayesha yang tampaknya marah membuat Izhar mendekat dan memegangi bahunya. Ayesha menatap Izhar lekat, saat Izhar membimbingnya untuk duduk di sisi ranjangnya.

“Iya, iya. Aa enggak akan kayak gitu lagi. Maaf buat semalam,” ucap Izhar guna menenangkan Ayesha.

Sementara Ayesha menghela nafasnya dan memalingkan wajahnya. Entah kenapa rasanya menyenangkan saat seseorang mendengarkannya dan bahkan memperlakukannya sesuai yang dia inginkan dalam hatinya.

“Maaf, ya?” bujuk Izhar lagi, dia tampak manis sekarang ini.

Bohong jika Ayesha tak bisa memaafkan Izhar. Belakangan ini jantungnya selalu berpacu cepat jika berhadapan dengan Izhar atau melakukan kontak mata. Apa lagi jika Izhar melakukan sentuhan langsung. Sungguh, dia bisa hilang akal jika begini terus.

“Kamu mau Aa beliin sesuatu?”

“Enggak usah.”

“Bilang aja, apa? Sebagai permintaan maaf Aa karena bikin kamu khawatir semalaman mungkin, atau cemburu atau apa. Aa enggak tahu perasaan kamu kalau kamu enggak ngasih tahu. Kamu harus terus terang sama Aa.”

“Ay bilang enggak.”

“Kamu susah banget diajak bicara, Ay. Tinggal ungkapin perasaan kamu kayak kamu lagi marah, kesel. Ungkapin apa yang ada di pikiran kamu.”

“Ay enggak lagi mikirin apa-apa!”

"Lihat wajah kamu. Sampai digigit nyamuk kayak gini. Kamu nungguin Aa semalam, ya?" godanya lagi.

"Enggak, dih. Ngapain? Kepedean!"

"Oh, ya? Kamu marah-marah mulu, gengsian lagi."

Ayesha gengsi.

***

Hari-hari berlalu seperti biasanya. Agak datar dan tak banyak yang terjadi. Hingga Izhar harus pergi ke luar kota untuk pekerjaannya sebagai manager konstruksi.

“Selama Aa pergi, Aa harap kalian akur,” ucap Izhar sambil melirik Nirmala dan Ayesha yang mendengarkannya dengan baik.

“Kalau Aa pergi seminggu, Ay mau ke rumah Devan. Ay mau di rumah Devan dulu,” balas Ayesha.

“Enggak,” ucap Izhar tanpa memikirkan terlebih dahulu perkataan Ayesha.

“Kenapa? Aa enggak ada di sini, berarti Ay juga lepas tugas sementara sebagai istri Aa, kan?”

“Izinkan Ay pergi, lagi pula dia enggak akan bantu aku di rumah selama kamu pergi,” ucap Nirmala, terdengar membela Ayesha.

“Justru Aa mau kalian tetap serumah supaya kalian lebih akur. Kalian enggak akur belakangan ini,” ucap Izhar.

Izhar menatapi keduanya. Dia berharap Nirmala dan Ayesha setidaknya punya hubungan yang termasuk baik. Sayangnya, keduanya bagai air dan minyak.

“Ay mau ke rumah Devan,” tekan Ay, dia memaksa untuk kembali ke rumah sepupunya itu.

“Mau apa sih, di rumah Devan? Supaya bisa keluyuran? Main sampai malam sama temen-temen kamu?” Izhar menatap Ayesha dan bicara dengan nada menyindir.

Ayesha kemudian mendecak pelan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Memang benar itu rencananya. Agar setidaknya dia bisa bebas seperti saat melajang.

“Mala, jaga Ayesha jangan sampai dia keluyuran.”

***

Setelah kepergian Izhar untuk seminggu, Nirmala dan Ayesha jarang berinteraksi jika tidak perlu. Paling Ayesha hanya bertanya tentang tugas rumah itupun kadang Nirmala menjawabnya dan kadang tidak. Mereka tidak akur.

"Teh, ada cucian enggak?" Ayesha berdiri di depan kamar Nirmala hendak mengambil pakaian kotor.

"Huek!"

Ayesha menatapi pintu kamar Nirmala dengan matanya yang melebar saat mendengar Nirmala yang terdengar mual dan muntah.

"Teh?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status