“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.
Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”
Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia.
“Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.
Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.
Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.
Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga akhirnya kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di dalam tubuhku.
Beberapa detik kemudian setelah napas kami tenang. Kurasakan pergerakan mas Bisma yang berguling ke samping. Saat ku lirik, wajahnya tampak lelah, namun ada kelegaan tak terkira di sana dan aku benci melihatnya.
Ddrrrttt … Ddrrrttt …
Gegas kuraih telepon genggam yang sebelumnya ku letakkan di atas nakas. Rupanya sambungan telepon itu berasal dari ibu mertuaku lagi.
“Heh, mantu sialan!” Aku memejamkan mata merasakan perih tak terkira dalam hatiku mendengar umpatan ibu mertuaku. “Mana uangnya?!”
Tak sanggup aku menjawab pertanyaan ibu mertuaku. Aku hanya bisa menangis dengan tubuhku yang gemetar menahan sakit hati sekaligus marah dalam dada. Padahal baru saja aku merelakan barang paling berharga milikku, hanya demi uang dua ratus juta untuk biaya operasi anaknya.
Tiba-tiba aku merasakan telepon genggam yang sebelumnya ada di genggaman tanganku terlepas. Rupanya Mas Bisma yang mengambilnya. Ia mematikan sambungan telepon tersebut lalu memelukku.
“Pedas amat ucapan Ibu mertuamu, Run," ucapnya dengan nada kesal.
Aku yang masih menangis sesenggukan meluapkan segala emosi dalam hatiku. Bahkan aku tak sanggup menanggapi ocehan mas Bisma yang kudengar masih berlanjut, mengutuki sikap ibu mertuaku.
Dalam tangisku, aku sekalian saja menumpahkan rasa sakitku selama dua minggu aku menjadi istri mas Ihsan.
“Aku harus ke rumah sakit sekarang, Mas. Mas Ihsan–”
“Iya!”
Wajah mas Bisma tampak kesal saat aku menyebut nama suamiku. Dia beranjak turun dari peraduan dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih dan jauh lebih sopan.
Dia juga membantuku untuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah semuanya siap, aku berjalan pelan ke arah pintu keluar kamar mas Bisma. Melihatku berjalan seperti perlahan, mas Bisma hanya menertawakanku.
Seketika aku menekuk wajahku, saking kesalnya dengan sikap mas Bisma.
“Jahat banget sih jadi orang!” Mataku mendelik tajam ke arah mas Bisma yang sedang menertawaiku itu.
“Kasihan banget. Sini, biar kugendong lagi,” ucapnya yang langsung menggendongku meski tanpa persetujuan dariku. “Aku antar kamu sampai ke rumah sakit.”
“Jangan, Mas. Nanti apa kata ibu mertuaku, kalau dia lihat aku datang sama mas Bisma,” ucapku yang masih ada dalam gendongannya. Saat ini dia tengah menuruni tangga.
“Kamu itu kebanyakan mikir,” kekehnya.
Setibanya di halaman, rupanya Mas Bisma tidak mengeluarkan motor sport miliknya, melainkan dia mengeluarkan mobil sedan yang seingatku jarang sekali dipakai olehnya.
Aku yang sepertinya kelelahan, memutuskan untuk tidur saja dalam perjalanan dari rumah keluarga Dananjaya menuju rumah sakit, tempat suamiku dirawat.
Perlahan aku mengerjapkan kedua mataku saat kudengar sebuah bisikan di telingaku. “Bangun, Seruni sayang.”
Menyebalkan! Aku benar-benar tak suka dengan sikap dan ucapannya.
Aku menegakkan punggungku lalu berusaha beradaptasi dengan pandangan mataku. Aku mengedarkan tatapanku dan akhirnya aku sadar kalau mobil yang dikemudikan oleh Mas Bisma sudah terparkir rapi di halaman rumah sakit tempat mas Ihsan dirawat.
“Ayo kita turun.”
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Biar aku sendiri saja. Mas Bisma pulang saja.”
“Yakin?”
Aku hanya menganggukkan kepala karena tak ingin berlama-lama berinteraksi dengan laki-laki ini. Secepatnya aku berjalan menuju ruang ICU di mana masih Ihsan mendapat penanganan intensif.
“Ya Allah! Ini mantu kur∆ng ajar. Jam segini baru datang?!”
Seketika aku menghentikan langkahku tatkala aku dengar pekikan Bu Minten yang terdengar begitu lantang. Suasana sepi di koridor ruang ICU membuat suaranya sepertinya terdengar hingga ke halaman rumah sakit.
‘Sungguh tega sekali ucapan ibu mertuaku padaku?’ batinku dengan sesak tak terkira.
POV Bisma.Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men