Kecelakaan yang menimpa Ihsan, suami Seruni, telah membuatnya putus asa. Demi mendapatkan uang 200 juta untuk biaya operasi, Seruni terpaksa harus menjual kehormatannya pada Bisma. Tapi ternyata suami yang sudah habis-habisan dia perjuangkan sampai harus menjual kehormatannya, rupanya …
View MoreSebagai pengantin yang baru dua minggu menjalani biduk pernikahan. Aku merasa jadi wanita paling beruntung karena dinikahi Mas Ihsan, laki-laki yang telah memacariku sejak dua tahun yang lalu.
Aku tak peduli meskipun pekerjaan suamiku hanya sebagai montir dengan gaji tak seberapa di bengkel kecil milik Mas Raffi, kakaknya yang sudah meninggal setahun yang lalu, konon meninggal karena serangan jantung mendadak. “Memangnya kamu gak keberatan kalau nikah sama montir yang gajinya hanya cukup buat makan?” tanyanya kala itu, sekitar sebulan sebelum pernikahan. Aku menggelengkan kepala dengan yakin. “Aku sama sekali gak keberatan, Mas.” Dan pernikahan sederhana pun akhirnya berlangsung, meskipun aku merasa aneh saat Mbak Rania, istri mendiang Mas Raffi yang tak lain kakak ipar Mas Ihsan datang sambil menggendong anaknya yang baru berusia tiga bulan dengan mata sembab. Dia menyalami kami dan mengucapkan selamat. Mungkin saja dia teringat dengan mendiang Mas Raffi. Apalagi bayi mereka lahir tanpa tahu wajah ayahnya. “Seruni!” Aku sedikit terperanjat saat mendengar Bu Ambar memanggilku. Aku yang sedang mencuci piring sambil mengingat kejadian dua minggu yang lalu, memilih untuk menghentikan sejenak kegiatan mencuci piringku. Aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Wira Dananjaya dan Bu Ambar. “Iya,Bu,” ucapku setibanya di ruang keluarga di mana Bu Ambar berada. Bu Ambar menatapku dengan seulas senyum yang ditujukan padaku. Dia memang wanita yang ramah dan baik. “Mas Bisma sebentar lagi pulang dari Singapura. Cepat bersihkan kamarnya. Jangan lupa ganti spreinya.” “Inggih, Bu.” Aku segera melangkah menuju kamar Mas Bisma yang ada di lantai dua. Mengingat sosok Bisma, anak majikanku, aku memiliki sedikit rasa tak nyaman setiap kali dia pulang ke rumah ini. Apalagi setahuku dia pergi ke Singapura dengan membawa kekecewaan dan hal itu berkaitan denganku. “Andai ada tempat lain yang lebih layak gajinya meski sebagai pembantu juga, aku pasti lebih memilih jalan itu meski gak enak pada Pak Wira dan Bu Ambar yang sudah begitu baik padaku." Aku menghela napas sejenak ditengah kegiatanku menyapu lantai kamar mas Bisma. "Aku tak bisa terus terjebak dalam suasana canggung kedepannya.” Selesai menyapu, aku mendahulukan untuk mengganti sprei kasur. Aku ambil sprei warna putih, salah satu warna kesukaan mas Bisma. Saat sedang menyelipkan sisi sprei ke bagian bawah kasur tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu. Saat aku menoleh, aku melihat mas Bisma berdiri diambang pintu kamarnya. Dia yang dulu senang menggangguku, kini bersikap tak acuh. Tanpa berkata apapun, kulihat dia meninggalkan kamarnya. Ya, benar-benar suasana canggung yang tidak mengenakkan. Setelah kamar mas Bisma selesai kubersihkan, aku melangkah ke luar. Aku melihat mas Bisma duduk di sofa ruang keluarga yang ada di lantai dua. Tempat mas Bisma berkumpul bersama teman-temannya kalau kebetulan mereka berkunjung. “Mas, kamarnya sudah bersih," ucapku. "Mmm ...." Dia hanya merespon ucapanku dengan deheman pelan tanpa menoleh ke arahku, seperti dulu. Tatapan matanya tadi bahkan sedingin salju. 'Ah, sudahlah. Lagi pula aku sudah menikah dengan mas Ihsan. Aku tak perlu sibuk memikirkan yang lainnya termasuk sikap mas Bisma,' ucapku dalam hati. Aku pergi meninggalkan area lantai dua menuju dapur untuk meletakkan alat-alat kebersihan yang baru saja kugunakan. TING! Satu notifikasi pesan chatting masuk ke telepon genggamku. Rupanya pesan berasal dari Mas Bisma, orang yang tadi bersikap tak acuh padaku. “Dua minggu aku menghabiskan waktu di Singapura, tapi gak bisa bikin aku lupa kalau aku mencintaimu sejak lima tahun yang lalu, Seruni. Aku patah hati saat kamu menolakku untuk yang kesekian ratus kali dan memilih menikah dengan Ihsan. Semoga kamu gak menyesal sudah memilihnya!” Aku melebarkan kedua mataku. “Menyesal? Aku gak mungkin menyesal nikah sama mas Ihsan.” Aku semakin bertekad untuk mencari informasi pekerjaan lain setelah ini. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi bekerja di rumah ini. Andai saja dulu orang tuaku bisa menyekolahkanku sampai SMA, mungkin nasibku tidak akan berakhir menjadi seorang pembantu. Setidaknya aku bisa bekerja di pabrik seperti Suci, sahabatku. Aku memutuskan untuk menemui Bu Ambar untuk berpamitan. Dia sedang berada di kamarnya. "Masuk, Run," ucapnya. "Saya pamit pulang sekarang, Bu. Soalnya ini sudah jam 7 malam," ucapku begitu masuk ke dalam kamar Bu Ambar. "Suamimu sudah jemput, Run?" tanya Bu Ambar. Aku menggelengkan kepalanya pelan. "Belum sih, Bu. Tapi saya pulang saja pake angkot. Siapa tahu mas Ihsan mendadak berhalangan menjemput saya." Aku mencoba mengenyahkan pikiran burukku. "Hati-hati kalau gitu. Besok jangan lupa datang lagi." Bu Ambar menoleh padaku seraya tersenyum. "Siap, Bu." Setelah berpamitan pada Bu Ambar, aku pun pergi ke kamar untuk mengganti pakaianku dan meraih tas satu-satunya tas selempang kesayanganku karena peninggalan mendiang ibuku. Begitu tiba di halaman rumah Pak Wira, aku menghapus pesan dari Mas Bisma, sebab takut jadi masalah di kemudian hari. Setelah itu aku segera menghubungi nomor Mas Ihsan. Saat ini sudah jam 7 malam bahkan lebih, tapi suamiku belum datang untuk menjemputku. “Ya Allah … Kok gak diangkat-angkat sih? Mas Ihsan kemana ya? Udah jam 7 malam tapi kok dia belum jemput aku?” gumamku yang kini merasa kesal. Karena mas Ihsan tak kunjung datang juga, aku memutuskan untuk pulang naik angkot saja. Saat aku sedang menunggu angkot yang melintas, aku terkesiap saat telepon genggamku berdering. Nomor tak dikenal menghubungiku. “Siapa yang menghubungiku?” Aku mendengus kasar dan mengabaikan panggilan telepon itu. Aku masukan lagi telepon genggamku sebab khawatir ada orang jahat yang merampas telepon genggamku. Saat aku kembali melangkah sambil menunggu angkot lewat, telepon genggamku kembali berdering. Kulihat panggilan telepon itu dari nomor yang sama. Akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilan telepon itu. “Halo,” sapaku. “Halo, dengan Bu Seruni, istri dari pak Ihsan?” “Iya betul. Ini siapa?” tanyaku dengan kerutan yang dalam di keningku. “Kami dari rumah sakit, Bu."POV Bisma.Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments