Share

BAB 3

Mobil tahanan yang membawa Sylvi berhenti di depan rumah tahanan wanita yang berjarak tak terlalu jauh dari gedung pengadilan tempat dia di adili.

Saat menyuruhnya turun, Dhani dan Randy baru menyadari bahwa Sylvi pingsan dan segera membawanya ke klinik yang berada di dalam rumah tahanan wanita itu.

Dua jam kemudian Sylvi terbangun dan segera di bawa ke dalam sel oleh para penjaga tanpa menanyakan keadaannya saat ini.

Dia sangat lemah. Dia berjalan pelan dan terseok-seok menuju sel dimana dia akan ditempatkan.

Sebuah sel berukuran tiga kali tiga meter itu berisi tujuh orang wanita, saat pintu sel dibuka, Sylvi di dorong masuk ke dalam dengan kasar. Penjaga rutan kembali mengunci jeruji besi di depannya.

Sylvi tak berani melihat ke arah wanita-wanita itu. Tatapan mereka sangat menakutkan dan membuatnya gemetar.

Salah satu wanita berdiri dan menjambak rambutnya. Sylvi terjatuh ke belakang tanpa perlawanan. Sesaat kemudian, dia dipukuli oleh tujuh orang wanita menyeramkan tanpa ampun itu.

Samar-samar dia mendengar mereka semua tertawa dan berkata, ini namanya plonco, semua anak baru akan mendapatkan perlakuan yang sama, hahaha...

Hari pertamanya masuk rumah tahanan wanita, adalah hari pertama penyiksaan untuknya. Dan hari-hari berikutnya, tetap sama. Dia selalu mendapatkan siksaan bertubi-tubi tanpa tahu apa salahnya.

Ketika Sylvi memberanikan diri untuk bertanya, bukan jawaban yang dia dapatkan, melainkan bogem mentah tanpa syarat.

"Apa salahku? Kenapa kalian menyiksa aku seperti ini?" teriaknya saat merasa tak tahan lagi dengan penyiksaan yang tujuh orang wanita itu lakukan.

"Eh, pake nanya. Nantangin lu?" sahut seorang wanita berambut gimbal dan langsung memukul wajah Sylvi dengan tangan terkepal kuat.

"Hahahahaa..."

Mereka semua tertawa tanpa simpati sedikitpun. Tak satupun yang mau memberi penjelasan padanya mengapa dia terus di siksa.

Sylvi bahkan berteriak meminta pertolongan pada para penjaga namun tak satu pun yang menghampirinya.

Tidak mungkin kan mereka tidak mendengar suara teriakanku? Apa mereka pura-pura tidak dengar? tanya Sylvi dalam hatinya yang luka.

Di malam hari, saat semua orang tertidur lelap, Sylvi meringkuk di sudut sel dengan suara tangis tertahan.

Dia takut membangunkan semua orang karena suara tangisannya yang akan berakibat penyiksaan lagi, jadi Sylvi membekap mulutnya sendiri menahan suara tangisan pilu di sudut kamar sel yang kotor dan bau itu.

"Apa salahku? Aku selalu berusaha berbuat baik pada siapapun tapi kenapa seperti ini balasannya? Om Stevan, Tante Marina, aku memang membantu kalian tanpa pamrih, tapi tidakkah ada sedikit rasa persaudaraan di hati kalian untuk membebaskan aku dari neraka ini?" teriaknya dalam hati.

"Bahkan sahabatku juga berpaling dariku. Menyalahkan mama ku yang dulu sudah mengingatkan ku bahwa kau bukan manusia yang tulus, tapi aku tetap membantumu, kan, Hani?" tanya nya pilu.

"Mama, maafin Sylvi yang gak mau nurut sama omongan mama. Kini Sylvi merasakan akibatnya percaya dengan ular berkepala dua,"

Saat mengingat mamanya, Sylvi terisak kencang dan hampir membangunkan tujuh wanita begundal itu. Untungnya mereka tidur seperti kerbau. Jika ada kebakaran pun mungkin mereka semua tetap tidak akan bangun.

"Papa..." Sylvi menyebut lirih nama yang selalu dirindukannya.

"Sylvi tidak pernah menyesal telah mewarisi darah Papa, sifat Papa dan jiwa bisnis Papa. Mungkin kejadian ini adalah peringatan untuk Sylvi agar bisa lebih berhati-hati lagi ke depannya dan tidak mudah percaya dengan siapapun. Tapi Sylvi janji, Sylvi gak akan berhenti berjuang sampai kapan pun. Meski nanti harus memulai lagi dari 0, Sylvi yakin, Sylvi tetap bisa sukses seperti sebelumnya,"

Mengingat kasih sayang dan perhatian Papa nya dulu padanya, Sylvi seakan mendapat dorongan semangat entah dari mana.

Sylvi memang sangat dekat dengan papanya. Abdi Anugrah selalu mengajarkan budi pekerti dan kejujuran padanya. Berbeda dengan mamanya yang lebih mengutamakan pendidikan formal dan selalu mendorong Sylvi untuk menjadi juara kelas setiap tahun.

Meski pun didikan kedua orangtua nya berbeda satu sama lain, tapi Sylvi menganggap kedua orangtua nya saling melengkapi. Karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Mama dan Papa, kalianlah kesempurnaan bagiku.

Karena lelah, Sylvi tertidur di lantai sel yang dingin tanpa bantal dan alas. Sejak pertama dia tiba disini, tak ada selembar kain pun yang bisa digunakannya saat tidur.

Semua dikuasai oleh tujuh wanita begundal itu, begitu sebutan Sylvi pada mereka semua. Tentu saja Sylvi hanya menyebutnya di dalam hati.

Bisa berabe kalau sampai keceplosan.

"Bangun bangun woyyy bangun..." teriakan tujuh wanita begundal itu memekakkan gendang telinga Sylvi. Lama-lama gendang telingaku harus diganti pakai rebana nih, sungutnya dalam hati.

"Rapihin kamar, sapu dan pel yang bersih, awas kalo gak, gue cincang muka lu," perintah si gimbal sambil berlalu meninggalkan kamar sel untuk sarapan di aula tahanan.

Sylvi selalu terlambat untuk makan, baik itu sarapan, makan siang atau pun makan malam. Ada saja perintah wanita-wanita begundal itu yang sengaja membuat Sylvi terlambat datang ke aula untuk makan.

Tak jarang Sylvi kehabisan jatah makan hingga harus menahan lapar hingga jadwal makan berikutnya.

Saat tiba di aula, Sylvi melihat masih ada sedikit nasi tersisa di dandang besar itu. Tahu tempe dan sayur kangkung yang biasa tersedia pagi siang dan malam sebagai lauk sudah tak nampak lagi.

Biarlah, masih ada nasi untuk mengganjal perutku yang keroncongan, gumamnya dalam hati.

Dengan penuh semangat, Sylvi menyendokkan nasi sisa itu ke dalam wadah makannya dan hendak melahapnya tanpa ampun.

Tepat saat itu, salah satu pasukan wanita begundal menghampirinya dan mendorongnya hingga hampir terjatuh.

Sylvi memang tak terjatuh, namun sayang, wadah makannya terjatuh dan nasi yang ada di atasnya berhamburan di lantai yang kotor dan basah.

Sylvi membelalakkan matanya penuh kekecewaan. Dadanya terasa semakin sesak dengan perut keroncongan yang bersuara semakin kencang.

"Kamar udah bersih belum? Ngapain lu kesini?" Tanya Markijem, salah satu dari tujuh wanita begundal yang berambut lurus panjang dan diikat kuda menggunakan karet gelang warteg. Warna merah.

"Saya mau makan, kak," sahut Sylvi gemetar, menahan lapar dan emosi.

"Enak aja mau makan. Kerja dulu yang bener, baru minta makan," hardiknya.

"Saya sudah membersihkan kamar, kak. Makanya saya kesini buru-buru takut kehabisan," sahut Sylvi berharap ada sedikit simpati muncul di hati wanita itu.

"Ya udah. Makan tuh," ujar Markijem sambil menunjuk ke arah nasi yang berserakan di lantai.

Tanpa rasa bersalah, dia berlalu dari hadapan Sylvi dan bergabung bersama rekan-rekan nya, para begundal.

Jangankan simpati, hati nurani pun dia gak punya, jerit Sylvi dalam hatinya.

Sylvi menatap nasi yang sudah bercampur tanah dan air bekas kaki tahanan. Aula itu memang tidak ditutup atap sepenuhnya. Lantainya pun tak di beri semen dengan baik, apalagi keramik.

Alhasil, nasi yang tadinya sudah berwarna putih kekuning-kuningan itu karena berasal dari beras murahan, kini berubah warna menjadi kecoklatan. Sangat kotor.

Sylvi memungut nasi yang berserakan itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

Kali ini, Sutiwe salah satu rekan Markijem melihat apa yang dilakukan Sylvi.

"Lihat apa yang dilakukan si kerempeng itu. Dia membuang nasi terakhir yang hanya tersisa buat dia. Sombong banget sih," ujarnya mencibir ke arah Sylvi.

Tujuh wanita begundal itu langsung mendekati Sylvi dan menyeretnya ke kamar mandi.

"Belagu amat lu," ucap Sutiwe sambil membenamkan kepala Sylvi ke dalam bak mandi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status