"Aku tidak tahu, apakah perbuatanku ini melanggar hukum atau tidak. Tapi setidaknya, sebagai sesama manusia, kita harus saling bantu, kan?" ucap Dhani tersenyum ke arah Sylvi.
Sylvi tak mengerti arti ucapan penjaga itu. Dia hanya diam terpaku menatap wajah Dhani yang sedang tersenyum ke arahnya."Apa yang akan kau lakukan?" Teriak rekan Dhani sambil terus mengemudi. Dia khawatir Dhani akan melakukan hal gila hanya karena simpati dengan nasib Sylvi"Apa yang kau pikirkan? Apa kau kira aku akan membantunya melarikan diri?" ujar Dhani balik bertanya."Lalu, lalu apa?" Tanya rekannya gugup. Dia tahu Dhani adalah seorang teman yang baik dan suka membantu rekan satu profesi nya. Tapi untuk seorang terdakwa, apa yang hendak dia lakukan? pikir penjaga itu dengan jantung berdebar.Dhani mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menyodorkannya ke arah Sylvi melalui lubang di bawah jeruji besi."Hubungi siapa saja yang ingin kau hubungi. Mungkin, di saat-saat terakhir ini ada keajaiban yang datang menghampirimu," ujar Dhani tegas.Pemuda berusia tiga puluh tahun itu berkulit coklat terang dan bertubuh atletis. Tatapan mata teduhnya menghipnotis Sylvi untuk segera meraih ponsel yang Dhani sodorkan.Tanpa pikir panjang, Sylvi mencoba menghubungi paman dan bibinya. Tidak ada salahnya aku mencoba sekali lagi, siapa tahu mereka mau membantuku kali ini, pikir Sylvi mantap.Suara panggilan telepon terdengar berkali-kali namun tak tersambung. Sylvi terus mencoba hingga akhirnya terdengar suara pamannya di seberang telepon."Halo, siapa ini?" Suara berat Om Stevan terdengar kesal."Om Stevan, tolong bantu aku. Aku gak tahu harus berbuat apalagi," ujarnya lirih di telepon."Sylvi???" Tanya Stevan di ujung sana."Iya Om. Ini aku, Sylvi, Om Stevan aku...""Sylvi, Om sudah membantu kamu melakukan investigasi di perusahaan kamu. Dan kamu sendiri sudah tahu, tidak ada satu orangpun yang sudah menyalahgunakan tanda tangan dan juga stempel perusahaan kamu. Dan Om sudah kehabisan banyak uang untuk melakukan itu. Sekarang, kamu hadapi saja sendiri kasus itu," sahut Stevan di ujung telepon. Dia bahkan tak mendengarkan penjelasan Sylvi terlebih dahulu."Bukan itu om, ini soal kasus yang lain, aku dijatuhi hukuman penjara dan tidak memiliki uang lagi untuk membayar pengacara, apa Om Steven bisa...""Jangan minta bantuan apa-apa lagi padaku, Sylvi. Aku sudah terlalu pusing dengan urusanku sendiri. Sekarang kau mau menambah sakit kepalaku dengan semua kasus mu? Kau yang berbuat, maka kau juga yang harus bertanggung jawab!" kesal Stevan."Ya, tapi Om..."Tut Tut TutPanggilan terputus tiba-tiba dan membuat Sylvi tercengang."Om Stevan...." Suara lirih Sylvi terdengar memilukan.Dhani dan rekannya menghempaskan nafas kasar. Meski mereka tak bisa mendengarkan suara di sebrang telepon, tapi mereka bisa mendengar dengan sangat jelas suara Sylvi yang tak diberi kesempatan oleh orang yang sedang dihubunginya.Tak kehabisan akal, Sylvi segera menghubungi nomor lainnya yang selama ini selalu dibantunya.Beruntung Sylvi memiliki daya ingat yang tinggi hingga dia bisa mengingat semua nomor telepon penting di ponselnya dulu. Kini ponsel itu disita dan dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi karena sudah dijadikan terdakwa dalam kasus kecelakaan itu."Tante Marina, aku Sylvi, apa bisa aku minta tolong?" ucap Sylvi tercekat di ujung kalimatnya saat telepon itu tersambung."Sylvi, tante tahu kamu lagi kesulitan. Tapi kamu juga tahu kan, jika kamu gak membantu perekonomian keluarga tante setiap bulan mana bisa kami semua makan enak setiap hari? Kamu malah mau minjem duit buat bayar pengacara? Kami gak punya uang!" bentak tante Marina, adik almarhum papa nya. Marina sudah mendengar kasus yang menimpa keponakannya itu saat beberapa orang tetangganya bergunjing setelah menonton berita kriminal di televisi."Tante jangan salah paham, aku hanya...""Urus sendiri urusanmu. Kau ini perempuan yang terlalu banyak masalah. Aku malu menjadi tante mu!" bentak Marina yang langsung mematikan telepon.Kali ini Sylvi benar-benar hampir menyerah dengan mata berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan airmata yang hendak tumpah dari sumbernya.Randy, rekan Dhani yang sedang mengemudi hampir saja menerobos lampu merah karena fokus mendengarkan Sylvi berbicara di telepon.Randy menginjak rem dengan mendadak hingga membuat Dhani dan Sylvi terhuyung ke depan. Untung saja seatbelt menahan tubuh mereka agar tidak terpental. Tatapan tajam Dhani ke arah Randy pun tak dihiraukan oleh pria bertubuh besar itu.Sylvi menggapai jeruji besi yang terpasang di samping pintu untuk berpegangan dan menengok ke arah kiri kendaraan itu. Gadis itu pun tak sengaja beradu pandang dengan seorang pria yang tengah duduk di bangku belakang sebuah mobil limousine yang menatapnya dengan dingin.Tatapan tajam pria itu membuatnya bergidik dan membuatnya buru-buru menyandarkan tubuh di sandaran kursi dengan mata terpejam.Ketika itu, dia teringat dengan Hani. Hani adalah sahabatnya yang pernah dia bantu dan sekarang sudah sukses menjalankan usaha katering bersama suaminya. Dia pasti mau membantuku, batin Sylvi."Halo Hani, ini aku Sylvi...""Wahai Ibu Presdir yang terhormat, kemana saja kau selama ini? Sibuk dengan perusahaan mu ya? Saat susah begini baru menghubungi kami? Hahaha... Kamu pikir bantuan mu saat itu sangat besar ya saat usaha kami terpuruk? Dua miliar itu hanya uang kecil bagi kami sekarang, tapi kami gak sudi meminjamkannya padamu mengingat perlakuan Ibumu dulu pada kami. Cuih!" umpat Hani, sahabat karibnya."Hani, aku tidak meminta kamu mengembalikan uang itu. Aku hanya ingin meminjam sedikit uang darimu. Aku belum pernah meminta bantuan apa-apa, kan? Tolong bantu aku sekali ini saja," sahut Sylvi memohon.Ya, memang dulu saat Ibunya masih hidup dua tahun yang lalu, beliau melarang Sylvi untuk memberi bantuan sebesar dua miliar pada Hani. Ibunya menilai Hani bukanlah orang yang tulus dan memarahi Hani dan suaminya yang saat itu sedang memohon pada Sylvi untuk meminta bantuan."Hahahaa... Aku tidak peduli. Aku tidak akan membantumu, Sylvi. Kecuali jika Ibumu yang sudah mati itu meminta maaf di kakiku," sahut Hani sinis."Ya ampun, Hani. Jaga ucapanmu. Ibuku tidak berbuat salah padamu," hardik Sylvi marah."Kau lupa dia memarahi aku dan suamiku dulu?" Teriak Hani kesal."Iya, tapi aku tetap memberikan uang dua miliar itu padamu, kan? Aku tetap membantumu meski Ibu melarangku," sahut Sylvi."Dan aku membenci ibumu sampai sekarang. Kau harus tahu itu!" hardik Hani histeris."Ternyata Ibuku benar menilaimu. Kau bukan orang yang tulus berteman denganku, Hani," ujar Sylvi lirih."Aku tidak peduli dengan penilaian ibumu itu. Jangan pernah hubungi aku lagi," teriak Hani dan sambungan telepon langsung terputus.Mobil tahanan yang membawa Sylvi berhenti di depan rumah tahanan wanita yang berjarak tak terlalu jauh dari gedung pengadilan tempat dia di adili.Saat menyuruhnya turun, Dhani dan Randy baru menyadari bahwa Sylvi pingsan dan segera membawanya ke klinik yang berada di dalam rumah tahanan wanita itu.Dua jam kemudian Sylvi terbangun dan segera di bawa ke dalam sel oleh para penjaga tanpa menanyakan keadaannya saat ini.Dia sangat lemah. Dia berjalan pelan dan terseok-seok menuju sel dimana dia akan ditempatkan.Sebuah sel berukuran tiga kali tiga meter itu berisi tujuh orang wanita, saat pintu sel dibuka, Sylvi di dorong masuk ke dalam dengan kasar. Penjaga rutan kembali mengunci jeruji besi di depannya.Sylvi tak berani melihat ke arah wanita-wanita itu. Tatapan mereka sangat menakutkan dan membuatnya gemetar.Salah satu wanita berdiri dan menjambak rambutnya. Sylvi terjatuh ke belakang tanpa perlawanan. Sesaat kemudian, dia dipukuli oleh tujuh orang wanita menyeramkan tanpa ampun itu.
Bleb bleb blebSylvi meronta sekuat tenaga saat kepalanya dibenamkan ke dalam bak mandi berukuran besar. Namun dua wanita begundal yang memegang lengannya dengan kuat tak membiarkannya begitu saja.Saat dia hampir kehabisan nafas dan hampir lemas, seorang penjaga tahanan meneriaki mereka dari kejauhan."Apa yang kalian lakukan?" teriaknya.Laki-laki bertubuh lebar yang memakai seragam petugas itu menghampiri mereka. Pintu kamar mandi memang tidak tertutup sehingga memungkinkan penjaga dan para narapidana lainnya bisa melihat kejadian itu dengan jelas.Sutiwe dan rekan-rekannya segera keluar dari kamar mandi dan meninggalkan Sylvi yang hampir mati lemas.Sylvi terduduk di lantai kamar mandi yang licin. Dia berusaha memuntahkan air bak mandi yang masuk ke tubuhnya melalui mulut dan hidungnya tadi. Namun karena lemas dan tak bertenaga, dia hanya bisa terbatuk."Apa yang terjadi?" bentak penjaga tahanan ke arah Sylvi.Sylvi yang hampir kehabisan nafas tak bisa menjawabnya dan hanya menunj
Dua minggu berlalu tanpa harapan. Harapan Sylvi untuk mendapat bantuan hukum. Seorang penjaga wanita membangunkan nya yang hampir pingsan setelah dijadikan samsak hidup oleh tujuh wanita begundal ."Tahanan 1234, ada tamu," teriak penjaga wanita itu."Tamu?" tanya Sylvi lirih. Secercah harapan timbul dibenaknya.Gadis bertubuh kurus itu tiba-tiba duduk dengan wajah berseri-seri, di balik luka lebamnya."Apakah itu William? Atau Om Stevan? Mungkin juga Tante Marina, atau Hani yang berubah pikiran?" gumamnya dalam hati."Namanya James Singgih," ujar penjaga wanita itu.Sylvi langsung terkulai lemas. Mau apa lagi singkong rebus basi itu menemuiku? Apa dia mau menertawakanku? geramnya kesal.Sylvi masih ingat pertemuan terakhirnya dengan James Singgih yang menyebalkan itu, tiga bulan yang lalu."Presdir, ada tamu penting yang ingin bertemu denganmu," ujar Diana Pinkan, sekretaris Sylvi."Siapa?" Tanya Sylvi sambil terus menatap laporan keuangan yang baru saja diserahkan Diana beberapa jam
Setelah pertemuannya dengan William malam itu, Sylvi pulang dengan mengendarai mobilnya yang sudah selesai diperbaiki sore tadi. Pertemuannya dengan William belum mendapat kesimpulan apa penyebab surat perjanjian itu terjadi.Di sepanjang perjalanan, beberapa kali dia menginjak pedal rem secara mendadak karena tidak fokus pada pandangannya. Berkali-kali air mata terjatuh tanpa sengaja dari pelupuk mata cantiknya itu hingga membuat pandangannya buram.Hingga saat mobil yang dikendarainya sudah berada di depan gerbang sebuah Cluster Perumahan dimana rumah miliknya berada, Sylvi membelokkan kendaraannya hendak melewati gerbang itu.Ciiiittttt...Sylvi menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga saat tiba-tiba sebuah bayangan terlihat di depan mobilnya. Bayangan yang tiba-tiba melintas itu ternyata adalah seorang anak kecil yang hendak berlari ke seberang jalan.Kejadian mendadak itu membuat tubuh Sylvi menegang seketika. Gadis itu turun dari mobilnya dengan tubuh gemetar dan ketakutan. Apa
"Haii nona cantik. Gimana kabarmu hari ini?" Tanya James dengan wajah ceria."Gak usah basa-basi. Kau bisa lihat sendiri kabarku seperti apa," sahut Sylvi ketus."Hmm... Hahahaha... Ah.. sungguh disayangkan, kau tidak mengikuti saranku waktu itu. Andai saja kau menuruti permintaan ku, pastinya kau tidak akan babak belur seperti sekarang," sinis James yang membuat Sylvi muak.James pernah menemuinya di rumah tahanan sehari sebelum sidang putusan dibacakan. James meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya, dengan begitu pria berperut buncit itu akan menyelamatkannya dari tuduhan pembunuhan. Sylvi saat itu merasa yakin akan memenangkan perkara tersebut karena ada William. Namun dia tidak menyangka, setelah pertemuannya dengan James Singgih hari itu William pun datang dan mengatakan bahwa dia tidak akan melanjutkan perkara itu lagi dan menolak untuk naik banding. William menyuruh Sylvi untuk mencari pengacara lain tapi tentu saja Sylvi tidak bisa melakukannya karena dia sudah tidak memil
Di sudut lain rumah tahanan itu, ada tempat berolahraga khusus untuk para penjaga. Namun tempat itu sangat jarang digunakan karena para penjaga rumah tahanan lebih memilih untuk bersantai daripada berolahraga.Dhani menyuruh Sylvi datang ke tempat itu setiap sore. Meskipun hanya ada samsak yang sudah kumuh dan beberapa barbel yang sudah lama terbengkalai, namun semua itu masih bisa digunakan."Hari ini, keluarkan semua perasaanmu pada samsak tinju itu. Tanpa menggunakan alat apapun dan sarung tinju, kamu harus bisa mengandalkan kekuatan tangan dan kakimu sendiri," perintah Dhani tanpa menatap Sylvi.Dhani tak berani sedikitpun menatap wajah gadis malang itu lagi karena dia akan merasa sangat sedih. Tapi dia bertekad akan mengajari beberapa gerakan tinju untuk bekal Sylvi membela diri.Melihat Sylvi hanya diam terpaku di depan samsak yang tergantung, Dhani mulai mempermainkan emosi gadis itu."Orang yang sudah merebut perusahaanmu, siapa namanya?" Tanya Dhani santai."James Singgih," s
Keesokan harinya, Dhani sudah berada di tempat olahraga itu menunggu kedatangan Sylvi. Sudah jam 5 sore tapi Sylvi tak kunjung datang.Saat Dhani hendak meninggalkan tempat itu karena dia harus bekerja, sosok gadis yang ditunggunya tampak berjalan terseok-seok ke arahnya."Maaf, aku datang terlambat," ucap Sylvi saat langkahnya terhenti tepat di depan Dhani.Dhani tampak gusar saat mengetahui kondisi gadis malang itu semakin memprihatinkan. Ingin rasanya dia membalas perbuatan orang-orang yang sudah menyiksa Sylvi tanpa ampun. Tapi dia tahu posisinya saat ini, dia tidak berhak untuk ikut campur."Kalau tidak bisa latihan, sebaiknya kamu istirahat saja," ujar Dhani sambil memalingkan wajahnya. Hatinya tercabik-cabik melihat pemandangan di depan matanya namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Aku....bisa..." sahut Sylvi sambil berjalan ke arah samsak yang masih berada di tempat yang sama seperti sebelumnya."Ada barbel di sudut sana. Kau bisa belajar mengangkat beban berat untuk menguatkan
Sagi tiba di rumah kontrakan nya tepat jam 7 malam. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah tahanan pada jam 6 sore, dia akan berjalan kaki untuk menghemat pengeluaran. Waktu yang dia butuhkan untuk berjalan menuju rumah kontrakan nya adalah 1 jam, tapi dia tidak pernah mengeluh.Siapa tahu dengan berhemat, aku bisa menabung dan membelikan rumah sederhana untuk gadis kecilku, Ziana.Tepat saat dia membuka pintu rumahnya, Sagi dikejutkan dengan kedatangan Dhani yang sudah berdiri di belakangnya."Selamat malam, Pak Sagi," sapa Dhani dengan sopan."Pak Dhani," seru Sagi gembira. Dhani duduk di lantai rumah kontrakan Sagi yang hanya berukuran 3x5 meter itu setelah dipersilahkan oleh tuan rumah. Tidak ada sofa atau kursi, tidak ada hiasan dinding dan ornamen apapun di tembok polos dengan cat yang sudah mengelupas. Diruangan itu hanya ada sebuah kasur tipis yang sudah lusuh di sudut ruangan dan sebuah kipas angin kecil yang sering rusak."Saya bawa dua bungkus nasi goreng. Kita makan