Share

BAB 2

"Aku tidak tahu, apakah perbuatanku ini melanggar hukum atau tidak. Tapi setidaknya, sebagai sesama manusia, kita harus saling bantu, kan?" ucap Dhani tersenyum ke arah Sylvi.

Sylvi tak mengerti arti ucapan penjaga itu. Dia hanya diam terpaku menatap wajah Dhani yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Apa yang akan kau lakukan?" Teriak rekan Dhani sambil terus mengemudi. Dia khawatir Dhani akan melakukan hal gila hanya karena simpati dengan nasib Sylvi

"Apa yang kau pikirkan? Apa kau kira aku akan membantunya melarikan diri?" ujar Dhani balik bertanya.

"Lalu, lalu apa?" Tanya rekannya gugup. Dia tahu Dhani adalah seorang teman yang baik dan suka membantu rekan satu profesi nya. Tapi untuk seorang terdakwa, apa yang hendak dia lakukan? pikir penjaga itu dengan jantung berdebar.

Dhani mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menyodorkannya ke arah Sylvi melalui lubang di bawah jeruji besi.

"Hubungi siapa saja yang ingin kau hubungi. Mungkin, di saat-saat terakhir ini ada keajaiban yang datang menghampirimu," ujar Dhani tegas.

Pemuda berusia tiga puluh tahun itu berkulit coklat terang dan bertubuh atletis. Tatapan mata teduhnya menghipnotis Sylvi untuk segera meraih ponsel yang Dhani sodorkan.

Tanpa pikir panjang, Sylvi mencoba menghubungi paman dan bibinya. Tidak ada salahnya aku mencoba sekali lagi, siapa tahu mereka mau membantuku kali ini, pikir Sylvi mantap.

Suara panggilan telepon terdengar berkali-kali namun tak tersambung. Sylvi terus mencoba hingga akhirnya terdengar suara pamannya di seberang telepon.

"Halo, siapa ini?" Suara berat Om Stevan terdengar kesal.

"Om Stevan, tolong bantu aku. Aku gak tahu harus berbuat apalagi," ujarnya lirih di telepon.

"Sylvi???" Tanya Stevan di ujung sana.

"Iya Om. Ini aku, Sylvi, Om Stevan aku..."

"Sylvi, Om sudah membantu kamu melakukan investigasi di perusahaan kamu. Dan kamu sendiri sudah tahu, tidak ada satu orangpun yang sudah menyalahgunakan tanda tangan dan juga stempel perusahaan kamu. Dan Om sudah kehabisan banyak uang untuk melakukan itu. Sekarang, kamu hadapi saja sendiri kasus itu," sahut Stevan di ujung telepon. Dia bahkan tak mendengarkan penjelasan Sylvi terlebih dahulu.

"Bukan itu om, ini soal kasus yang lain, aku dijatuhi hukuman penjara dan tidak memiliki uang lagi untuk membayar pengacara, apa Om Steven bisa..."

"Jangan minta bantuan apa-apa lagi padaku, Sylvi. Aku sudah terlalu pusing dengan urusanku sendiri. Sekarang kau mau menambah sakit kepalaku dengan semua kasus mu? Kau yang berbuat, maka kau juga yang harus bertanggung jawab!" kesal Stevan.

"Ya, tapi Om..."

Tut Tut Tut

Panggilan terputus tiba-tiba dan membuat Sylvi tercengang.

"Om Stevan...." Suara lirih Sylvi terdengar memilukan.

Dhani dan rekannya menghempaskan nafas kasar. Meski mereka tak bisa mendengarkan suara di sebrang telepon, tapi mereka bisa mendengar dengan sangat jelas suara Sylvi yang tak diberi kesempatan oleh orang yang sedang dihubunginya.

Tak kehabisan akal, Sylvi segera menghubungi nomor lainnya yang selama ini selalu dibantunya.

Beruntung Sylvi memiliki daya ingat yang tinggi hingga dia bisa mengingat semua nomor telepon penting di ponselnya dulu. Kini ponsel itu disita dan dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi karena sudah dijadikan terdakwa dalam kasus kecelakaan itu.

"Tante Marina, aku Sylvi, apa bisa aku minta tolong?" ucap Sylvi tercekat di ujung kalimatnya saat telepon itu tersambung.

"Sylvi, tante tahu kamu lagi kesulitan. Tapi kamu juga tahu kan, jika kamu gak membantu perekonomian keluarga tante setiap bulan mana bisa kami semua makan enak setiap hari? Kamu malah mau minjem duit buat bayar pengacara? Kami gak punya uang!" bentak tante Marina, adik almarhum papa nya. Marina sudah mendengar kasus yang menimpa keponakannya itu saat beberapa orang tetangganya bergunjing setelah menonton berita kriminal di televisi.

"Tante jangan salah paham, aku hanya..."

"Urus sendiri urusanmu. Kau ini perempuan yang terlalu banyak masalah. Aku malu menjadi tante mu!" bentak Marina yang langsung mematikan telepon.

Kali ini Sylvi benar-benar hampir menyerah dengan mata berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan airmata yang hendak tumpah dari sumbernya.

Randy, rekan Dhani yang sedang mengemudi hampir saja menerobos lampu merah karena fokus mendengarkan Sylvi berbicara di telepon.

Randy menginjak rem dengan mendadak hingga membuat Dhani dan Sylvi terhuyung ke depan. Untung saja seatbelt menahan tubuh mereka agar tidak terpental. Tatapan tajam Dhani ke arah Randy pun tak dihiraukan oleh pria bertubuh besar itu.

Sylvi menggapai jeruji besi yang terpasang di samping pintu untuk berpegangan dan menengok ke arah kiri kendaraan itu. Gadis itu pun tak sengaja beradu pandang dengan seorang pria yang tengah duduk di bangku belakang sebuah mobil limousine yang menatapnya dengan dingin.

Tatapan tajam pria itu membuatnya bergidik dan membuatnya buru-buru menyandarkan tubuh di sandaran kursi dengan mata terpejam.

Ketika itu, dia teringat dengan Hani. Hani adalah sahabatnya yang pernah dia bantu dan sekarang sudah sukses menjalankan usaha katering bersama suaminya. Dia pasti mau membantuku, batin Sylvi.

"Halo Hani, ini aku Sylvi..."

"Wahai Ibu Presdir yang terhormat, kemana saja kau selama ini? Sibuk dengan perusahaan mu ya? Saat susah begini baru menghubungi kami? Hahaha... Kamu pikir bantuan mu saat itu sangat besar ya saat usaha kami terpuruk? Dua miliar itu hanya uang kecil bagi kami sekarang, tapi kami gak sudi meminjamkannya padamu mengingat perlakuan Ibumu dulu pada kami. Cuih!" umpat Hani, sahabat karibnya.

"Hani, aku tidak meminta kamu mengembalikan uang itu. Aku hanya ingin meminjam sedikit uang darimu. Aku belum pernah meminta bantuan apa-apa, kan? Tolong bantu aku sekali ini saja," sahut Sylvi memohon.

Ya, memang dulu saat Ibunya masih hidup dua tahun yang lalu, beliau melarang Sylvi untuk memberi bantuan sebesar dua miliar pada Hani. Ibunya menilai Hani bukanlah orang yang tulus dan memarahi Hani dan suaminya yang saat itu sedang memohon pada Sylvi untuk meminta bantuan.

"Hahahaa... Aku tidak peduli. Aku tidak akan membantumu, Sylvi. Kecuali jika Ibumu yang sudah mati itu meminta maaf di kakiku," sahut Hani sinis.

"Ya ampun, Hani. Jaga ucapanmu. Ibuku tidak berbuat salah padamu," hardik Sylvi marah.

"Kau lupa dia memarahi aku dan suamiku dulu?" Teriak Hani kesal.

"Iya, tapi aku tetap memberikan uang dua miliar itu padamu, kan? Aku tetap membantumu meski Ibu melarangku," sahut Sylvi.

"Dan aku membenci ibumu sampai sekarang. Kau harus tahu itu!" hardik Hani histeris.

"Ternyata Ibuku benar menilaimu. Kau bukan orang yang tulus berteman denganku, Hani," ujar Sylvi lirih.

"Aku tidak peduli dengan penilaian ibumu itu. Jangan pernah hubungi aku lagi," teriak Hani dan sambungan telepon langsung terputus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status