Ting.
Bunyi pesan masuk, namun bukan dari ponsel milik Kanza melainkan dari ponsel lain yang juga berada di keranjang tadi.
Hm?
Tangannya mengambil ponsel dengan warna maroon itu, warna favoritnya.
Kanza pun menyalakan ponsel tersebut, kemudian membuka aplikasi pesannya.
‘Di depan ada supir yang sudah menunggumu. Ikut dengannya dengan patuh dan jangan banyak bertanya.’
Kebahagiaannya luntur sudah, bayangan kembali ke rutinitasnya kini benar-benar hanya menjadi bayangan.
Dengan langkah lesu Kanza keluar dari rumah sakit dengan memeluk keranjangnya. Beberapa kali terdengar helaan nafas putus asa darinya.
Tepat di depan rumah sakit, matanya menyisir area parkir. Berharap menemukan seseorang yang sudah di utus untuk menjemputnya.
Namun sebuah mobil hitam yang begitu mewah sudah lebih dulu mengejutkan dirinya.
Seorang perempuan turun dari dalam mobil, berjalan ke arahnya dan tiba-tiba membukakan pintu mobil.
“Silahkan nona.”
Kanza yang terkejut hanya diam di tempat, matanya menatap tanpa kedip pada sosok wanita yang tengah membungkuk padanya itu.
“Ah, baiklah. Maaf membuatmu menunggu,” serunya segera.
Mobil terus melaju membelah kota, menjauh dari hiruk pikuk kota dan berganti dengan pemdangan hijau di sertai udara segarnya.
“Maaf, tapi kemana kita akan pergi?”
“Kita akan ke rumah anda, Nona.”
Tak lama mobil tiba di sebuah rumah yang begitu indah.
Rumah dengan halaman luas, di lengkapi dengan berbagai tanaman bunga juga beberapa pohon yang menjulang tinggi
Menambah kesan asri dalam rumah tersebut. Dan tak ketinggalan, di dekat taman bunga ada sebuah ayunan berwana maroon.
“Wah, indah sekali ini. Warna ini, warna kesukaanku.” Memeluk ayunan.
Kanza pun di ajak masuk ke dalam rumah. Dan lagi-lagi dirinya di buat takjub.
Rumah lantai satu itu bernuansa putih, dengan ruang keluarga yang cukup besar di dalamnya.
Tak hanya itu, di halaman belakang rumah juga ada kolam renang yang di lengkapi dengan gazebo untuk bersantai.
Dan lagi-lagi di halaman belakang juga di tanam berbagai macam bunga juga pohon-pohon rindang.
“Ini benar-benar indah sekali, milik siapa rumah ini kalau saya boleh tahu?”
“Ini adalah rumah anda, Nona.” Jawabnya dengan begitu halus.
Kanza terdiam, ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.
“Aku punya rumah sekarang?” gumamnya.
Jangankan rumah, untuk hidup sehari-hari saja ia masih kesulitan. Dan sekarang tiba-tiba ia memiliki rumah yang begitu indah dan nyaman.
Namun Kanza merasa familiar dengan semua yang ada di rumah itu.
Mulai dari taman depan, ayunan, nuansa rumah hingga kolam renang juga gazebo.
“Dari semua warna, kenapa yang di selipkan warna maroon?”
“Dan ini semua, ini adalah rumah impianku dari kecil.”
*
Di negara lain nya, Melvin tengah melakukan pemulihan pasca kecelakaan.
Kondisinya kini semakin membaik setelah mendapatkan penanganan, bahkan Melvin merasa tubuhnya sudah baik-baik saja.
“Dari mana saja kamu?”
“Maaf, Tuan. Saya baru saja melakukan pertemuan dengan perusahaan RR, menggantikan anda yang tidak bisa hadir disana.”
Melvin hanya menghela nafas, ia melupakan jadwal kerjanya itu.
“Lalu bagaimana dengan yang aku minta? Apa sudah ada?”
“Apa kamu serius dengan keputusanmu itu?”
“Aku tidak pernah main-main dengan keputusanku, termasuk keputusan kali ini.”
Endi menghela nafas, ia pun mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Melvin.
“Kali ini, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi.”
**
Sudah sepekan semenjak kepergian Melvin, Kanza tetap menjalani hari-harinya dengan riang gembira. Tak sedetikpun ia merindukan laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti.
Seperti hari ini, Kanza yang sudah selesai dengan kegiatan kampus tak lantas pulang ke rumah. Ia meminta ijin pada supir pribadinya untuk bisa bermain dengan Nadia, walau sebentar.
Raut bahagia jelas tergambar di wajah Kanza, gadis itu tertawa lepas seakan tak memiliki beban.
“Kamu belum cerita soal wanita yang terus menemanimu itu?” seru Nadia tiba-tiba.
“Nanti, aku belum siap kalau harus cerita sekarang.” Jawabnya sembari memasukkan kentang goreng ke dalam mulut.
Nadia begitu gemas dengan tingkah Kanza yang seperti anak kecil itu.
Namun kedua gadis yang tengah tertawa bersama itu tak tahu jika didepan saat ini ada seseorang yang begitu kesal.
Melvin yang baru saja tiba merasa kesal lantaran tak menemukan calon istrinya di rumah, sedang ia tahu semua jadwal perkuliahannya.
“Tuan, nona ada di dalam bersama dengan temannya.”
“Ehm. Biar saya sendiri yang membawanya pulang, kamu pergilah.”
Endi, asisten sekaligus sahabat Melvin itu ikut turun dan mengetuk pintu rumah Nadia.
Seorang wanita paruh baya nampak dibalik pintu dan bertanya,” maaf, mau cari siapa?”
“Saya datang untuk menjemput nona Kanza, apa dia ada di dalam?”
Endi pun meminta ijin untuk masuk kedalam rumah.
Dengan jelas Melvin dapat mendengar gelak tawa Kanza, perlahan netaranya juga menangkap sosok yang tengah dicarinya.
“Siapa yang mengijinkanmu pergi selain ke kampus?”
Suara bariton itu mengejutkan Kanza, ia pun buru-buru berdiri dan menatap sumber suara.
“Tuan?” gumam.
“Nad, aku harus pulang dulu. Lain kali kita main lagi ya, sorry.”
Kanza yang mampu membaca situasi segera keluar dari rumah Nadia, di ikuti dua laki-laki di belakangnya.
Di dalam mobil, Melvin memberikan tabletnya pada Kanza.
“Baca dan tanda tangani itu.”
Mata kanza membola, mulutnya terbuka ingin mengutarkan keberatannya.
“Tuan, kenapa kita harus satu kamar?”
“Tentu saja karena kita sudah menikah.”
“Tapi kan—
“Saya tidak ingin mempermainkan pernikahan, bagi saya itu adalah hal paling suci.”
‘ pasangan suami istri harus tidur di dalam ruangan yang sama. ‘
Bunyi salah satu pasal yang membuat Kanza sedikit keberatan. Ia sama sekali tak pernah mencintai Melvin, bahkan sampai sekarangpun ia tak tahu pasti identitas calon suaminya itu.
“Tenang saja, saya juga tidak akan melakukan hal itu tanpa persetujuan dari kamu.”
Wajah Kanza tiba-tiba saja terasa begitu panas, dengan buru-buru ia pun segera menandatanganinya dan mengembalikannya pada Melvin.
Sepanjang jalan matanya menatap indah pemandangan di luar jendela, banyak gedung-gedung tinggi berdiri berjajar dan hilir mudik orang berlalu lalang.
Hingga,
“Tu-tuan, kenapa kita kesini?” gugupnya.
Melvin menatap Kanza sekilas, “Tentu saja untuk menikah.”
Kanza terlihat begitu riang, gadis itu tertawa bahagia disamping sahabatnya. Begitu juga dengan Nadia, yang begitu lepas tertawa bersama Kanza.Kedua sahabat itu menikmati sisa hari mereka bersama dengan pengawalan Stella, tetap dalam pantauan penjagaan.Hingga ketiganya di kejutkan dengan kedatangan dua orang laki-laki di hadapan Kanza.“Nona Kanza?”“Siapa kalian?” Stella menyembunyikan tubuh nonanya di belakang tubuhnya, itu tak luput dari mata Nadia.“Maafkan kami mengganggu waktu nona, saya diperintahkan langsung untuk menjemput nona Kanza.”Stella tak membiarkan nona mudanya dibawa begitu saja, ia terlibat perdebatan sengit dengan dua orang asing di depannya. Tak ada yang ingin mengalah, semua mempertahankan tugasnya masing-masing.“Siapa mereka ini, dan kenapa Kanza bisa berurusan dengan mereka? Belum lagi, wanita ini yang jelas banget kayak lagi ngejagain Kanza. Ada apa ini sebenarnya?”
Sejak semalam Melvin tak dapat memejamkan matanya, ucapan Kanza terus terngiang di fikirannya.Bukan mau menyembunyikan pernikahannya, namun Melvin masih belum siap jika keluarganya tahu tentang pernikahan dirinya dengan Kanza.“Mas, aku berangkat ke kampus dulu ya. Sarapannya udah aku siapin di meja bawah.”Kanza mencium tangan suaminya sebelum keluar dari kamar, ia juga memastika jika suaminya itu benar-benar mendengarkan ucapannya.“Dari semalam nggak tidur, ya jadinya kayak zombie.” batin Kanza menatap suaminya.Selama perjalanan, Kanza hanya diam menikmati arus jalan. Tidak begitu macet seperti hari-hari biasanya, sebab mungkin karena ia berangkat lebih awal.“Nona, kita sudah sampai.” ucap Stella mengejutkan Kanza.Stella tersenyum saat menyadari jika majikannya itu sedari tadi melamun, pandangan wanita itu menyiratkan sesuatu yang ia tengah ketahui.Dari kejauhan Nadia berteriak memanggil
Hendra masih diam, tak memberi reaksi apapun setelah meninggalkan kampus miliknya. Terkejut pastinya, namun saat ini tak ada yang tahu apa yang tengah laki-laki itu fikirkan.Bahkan Wisnu pun tak berani menegurnya, asisten itu hanya bisa menatap sang majikan dari kaca spion.“Kembali ke rumah saja,” ucap Hendra tiba-tiba.“Baik, Tuan besar.”Setibanya di rumah, Hendra langsung masuk ruang kerja. Bahkan hingga langit berubah gelap, laki-laki itu masih betah diam di ruangan kerja.“Bik, dimana suami saya?”“Tuan sejak pulang tadi ada di ruang kerja, Nyonya.”Arumi berjalan menghampiri sang suami, terasa begitu aneh suaminya itu tak mencari dirinya seharian ini.Hendra adalah suami yang sangat mencintai istrinya, jika sedang tak bersama ia akan terus menghubungi istrinya hanya untuk menanyakan kegiatan atau bahkan mendengar suaranya saja.Namun tidak dengan hari ini, Arumi sampai di buat heran
Pagi ini Kanza begitu senang, sebab ia sudah bisa aktif lagi di kampus. Sempat ragu, sebab ia masih teringat dengan skors yang diterimanya beberapa hari yang lalu.“Za, hari ini ada pengawal baru buat kamu. Dia yang akan bertugas mengantar jemput kamu kalau aku tidak bisa.”“Ya.”Saat menuruni tangga, Kanza dapat melihat seorang wanita yang terlihat dewasa tengah berdiri di ujung tangga. Pakaian yang di gunakan begitu formal berwarna hitam, rambut panjangnya di kucir kuda.“Selamat pagi, Tuan, Nyonya.”“Hm, tugasmu menjaga istriku. Jangan sampai dia terluka,” ucap Melvin dengan begitu tegas.Keduanya tak sempat sarapan pagi, Melvin sudah harus ke kantor karena ada meeting sedang Kanza ada kelas pagi.Keduanya berpisah dengan mobil masing-masing.Di perjalanan, Kanza merasa tak tenang juga was-was kembali ke kampusnya. Ia belum siap jika harus bertemu dengan rektor juga teman-teman yang sudah memfitnahnya.“Ada yang, Nyonya sedang fikirkan?”“Tidak. Siapa namamu?”“Helen, Nyonya.”Kanz
Melvin tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam.Ia naik ke lantai dua kamarnya, namun disana tak menemukan sosok sang istri kecil di atas ranjang.“Kemana dia?”Melangkah ke dalam, Melvin mendengar suara-suara berisik dari dalam ruang ganti pribadi.“Apa yang kamu lakukan?”Brak.Tumpukan kardus itu jatuh, tanpa sengaja mengenai tangan Kanza yang tengah terluka.“Ach,” erangnya menahan sakit.“Udah dibilang jangan banyak tingkah. Bisa nggak dengerin apa kata suami, gini kan jadinya kalau.”Melvin membawa Kanza ke kamar, meminta istrinya itu untuk duduk di atas ranjang.“Sakit,” keluhnya.Mata Melvin meliriknya tajam, rasanya ia begitu kesal dengan istri kecilnya.“Ini akibat kalau nggak nurut sama suami.”Tangannya di bolak balik dengan begitu hati-hati, seperti tengah menjaga kaca yang mudah retak.Namun tiba-tiba terdengar isak tangis seseorang. Dahinya berkerut, menatap Kanza yang saat ini menangis di de
Tari terus menatap lembar foto yang menampakkan dirinya dengan seorang pria tua. Jelas itu memang dirinya dan ia tahu siapa laki-laki yang tengah bersama dengannya.Namun semuanya tidak seperti yang tertulis di foto itu, Tari tidak sedang menjajakan tubuhnya pada laki-laki tua seperti yang tertulis dibalik foto.Matanya bergantian menatap tulisan juga layar laptop, disana jelas terpampang wajah laki-laki tampan yang begitu menarik perhatian.“Aku harus bisa mendekatinya. Selain bisa menyelamatkan usaha mama, aku juga bisa hidup tenang bersamanya. Nggak akan ada seorang pun yang bakal berani menggangguku, tidak seorang pun bahkan jika itu orang tuaku.”“Atau?”Tari tersenyum smirk, “Endi Pramuwira, nama yang sangat elegan. Sesuai dengan wajah tampannya.”Tari kembali mencari semua informasi terkait Endi, ia tidak ingin salah langkah dan gagal dalam rencananya kali ini.Tari akan melakukan apapun asal bisa lebih dekat dengan laki-laki tersebut, bahkan jika ia harus membuang rasa malu ju