Kanza Athalia Rozenka. Terpaksa harus kehilangan beasiswa kuliah karena ulah salah satu teman kampus yang tak menyukai dirinya. Hidup sangat sederhana tak membuat teman-temannya iba, mereka justru merasa iri dengan kecantikan juga kecerdasannya. Kanza yang merasa sedih berjalan tak tentu arah, hingga klakson mobil membuat dunianya kembali nyata. Melvin Surendra, mengalami kecelakaan akibat dari kelalaian Kanza saat menyeberang. “Aku tidak ingin uangmu, aku ingin kau mengganti rugi semua ini dengan menjadi istriku!” Akankah Kanza menikahi Melvin demi tanggung jawabnya? Lantas bagaimana kehidupan pernikahan yang dibangun atas dasar kesalah?
View MoreJemarinya bertaut, saling meremas demi mendapat sebuah ketenangan. Namun rasanya tidak lah mungkin, dinginnya pendingin tak sedingin tubuh Kanza saat ini.
Kanza duduk begitu gugup di ruang rektor kampusnya, keringat mulai membasahi wajah serta tangannya.
“Kanza Athalia Rozenka, apa benar yang sudah disampaikan oleh teman-temanmu itu? Dan apa benar jika yang ada di dalam video itu adalah kamu?” tanyanya begitu tegas, tak ingin dibantah.
Kanza diam, kepalanya menunduk matanya menatap kedua tangannya yang saling meremas.
“Jawab saya, Kanza!”
Tubuhnya melonjak kaget, “I-itu memang benar saya, Pak. Tapi semua yang mereka katakan bohong, saya tidak pernah melakukan itu semua.”
Tangis tak lagi bisa dibendungnya, Kanza benar-benar takut dan lemah. Selama ini ia bisa tenang menjalani masa kuliahnya karena beasiswa yang diterimanya.
Namun sekarang ia dihadapkan dengan kenyatakan jika ia harus siap kehilangan beasiswa akibat fitnah dari teman-temannya.
“Sesuai dengan peraturan kampus, kamu harus bersiap kehilangan beasiswa itu dan membayar semua tanggungan kuliahmu.”
“Tapi saya tidak melakukan apa yang di tuduhkan, Pak. Saya tidak pernah menjual diri, apa lagi dengan suami orang.” Tangisnya.
“Pihak kampus akan menyelidiki semuanya, sampai semua itu terbukti kamu saya skors.”
Deg,
Tak lagi bisa di bantah, tak lagi bisa membela diri. Kanza hanya bisa pasrah dengan apa yang sudah diputuskan.
Salahnya memang, percaya begitu saja hingga masuk ke dalam jebakan teman-temannya.
Langkah kakinya begitu lesu, menyusuri koridor kampus ia diam seakan tak ingin bicara.
“Kenapa? Kenapa mereka semua sejahat ini, bahkan aku tidak pernah merasa memiliki masalah dengan mereka.” Batin nya.
“Aku tidak pernah bermesraan dengan laki-laki tua itu, dia yang tiba-tiba memaksa memelukku. Aku ke sana juga atas pesanan makanan mereka, kenapa mereka malah tega memfitnahku menjual diri?” menahan rasa marahnya.
Kanza tersenyum mengingat bagaimana ia nampak romantis dengan lelaki tua itu dalam video, benar-benar pemilihan angel kamera yang tepat menurut Kanza.
Kanza hanya bisa menangis, meratapi nasib yang sangat tak adil terhadapnya.
“Kanza,” teriak seseorang dari arah belakang.
Sambil terengah-engah, “Za, aku nyariin kamu dari tadi. Gimana? Rektor nggak percaya kan sama video itu?”
“Apa yang bisa aku lakuin, Nad. Aku Cuma orang miskin yang gampang mereka injak-injak, tentu saja rektor lebih memilih berpihak pada mereka.”
Nadia, satu-satunya sahabat Kanza di kampus merasa sangat geram. Ia tak terima dengan semua yang menimpa sahabatnya itu.
“Aku harus pergi, aku di skors sampai waktu yang nggak di tentukan.”
“Ehm, nanti aku bakal bikin semua salinan untuk kamu. Jangan sedih,” hiburnya.
Kanza memaksakan diri untuk tersnyum, melambaikan tangan sebelum benar-benar menghilang dari hadapan sahabatnya.
“Dasar wanita brengsek semua, sampah kampus!” gerutu Nadia.
Kanza memilih duduk di taman yang tak jauh dari kampusnya berada, disana ia menangis meluapkan semua emosinya.
Tak perduli orang melihatnya atau bahkan mengiranya gila, yang jelas saat ini Kanza butuh ruang untuk melampiaskan semua rasa marahnya.
“Kau benar-benar tak adil dalam membagi takdir hidup ini, Tuhan. Semua kau beri kebahagiaan, lantas kenapa aku tidak? Sejak dulu kau selalu memberiku duka juga air mata, kau membuatku hidup sebatang kara tanpa kebahagiaan.” Gumamnya di sela-sela tangis.
“Oh, ternyata lagi nangis disini toh.”
“Uh, kasian. Habis di skors ya?”
Perlahan Kanza membuka tangan yang menutupi wajahnya, perlahan menghapus jejak air mata yang memang sudah mulai mengering.
Kanza menatap tiga orang wanita di depannya, mereka adalah teman sekaligus musuh di depan mata.
Dewi dan Lia, dua wanita itu mentertawakan keadaan Kanza yang berantakan saat ini.
“Kalian benar-benar tidak punya hati. Apa salahku, kenapa kalian tega membuat fitnah keji itu?”
“Siapa bilang itu fitnah, bukti sudah ada mana bisa di sebut fitnah.” Sahut Tari, gadis yang berpengaruh di kampus sekaligus ketua dari Dewi juga Lia.
Kanza bangun dari duduknya, ia menatap tajam pada Tari. “Sejak dulu, aku sama sekali tidak berniat berhubungan denganmu. Tapi kenapa selalu mengusikku?”
“Karena kamu lebih dulu mengusik kebahagiaanku, Kanza. Kamu lebih dulu membuat masalah besar denganku,” penuh tekanan kemarahan.
Kanza bingung, ia sama sekali tak merasa berbuat salah apapun.
Kanza pun bertanya, kesalahan apa yang sudah di perbuatnya hingga menimbulkan rasa benci pada diri Tari.
Rasa cemburu juga marah membuat Tari menutup diri dari kebenarannya, ia melampiaskan semua rasa sakit hati juga marah pada Kanza yang jelas-jelas tak tahu apa-apa.
Kanza pun terkejut dengan pengakuan Tari padanya, sebab tak pernah sekalipun ia melakukan apa yang sudah di tuduhkan padanya.
“Sama sekali aku tidak pernah menggodanya, aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pacarmu itu.”
“Bohong, kamu benar-benar berani membohongiku!”
“Kamu bisa mencari perhatian pada semua laki-laki di kampus, aku tidak perduli. Tapi jangan dengan Reno, dia pacarku!” lanjutnya marah.
Menghela nafas, Kanza sudah benar-benar pasrah dengan apa yang di tuduhkan padanya. Penjelasan apapun percuma, Tari hanya percaya dengan apa yang di lihat dan di dengarnya.
Tak ingin semakin panjang, Kanza memilih pergi dari taman. Meninggalkan ketiga temannya yang menatapnya pergi dengan tatapan kebencian.
Kanza yang berjalan terburu-buru tak melihat jalan saat tengah menyeberang, hingga bunyi panjang klakson dan dencitan rem mengembalikan fokusnya.
Brak!!
Asap tebal mengepul dari mobil.
“Astaga.”
Dengan sisa tenanganya, Melvin bangkit mengikuti langkah sang asisten.Namun ketika separuh tubuhnya hampir keluar dari ruangan, ia pun berhenti dan berbalik menatap Kanza si istri.“Kita pulang sama-sama.”“Jangan pernah keluar dari ruangan ini tanpa ijin dariku,” lanjutnya yang kemudian menghilang dibalik pintu yang tertutup.Kanza pun hanya bisa menghela nafasnya, menatap sekitar ruangan yang dinilainya sangat mewah untuk ukuran pegawai.“Lumayan mewah untuk ukuran karyawan biasa.”Ia pun menyandarkan punggungnya pada sofa, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di media sosial.Baru saja ingin membuka satu aplikasi sosmed, ponsel itu berdering dengan nama Nadia di layar nya.---Obrolan Telpon---“Iya Nad, kenapa?”“Kenapa lo bilang, gila sih lo.” dengan nada kesal.“Kenapa sih, kok lo ketus gitu sama gue ngomongnya.”“Za, kan kita ada janji di mall sama Reno tadi dan kenapa lo nggak datang?”“Lah, gimana? Kan tadi lo sendiri yang minta gue buat nggak datang karena pengen ber
“Terus mau lo apa sekarang?”“Membuat perhitungan dengan orang yang sudah berani main-main sama gue.”Nadia sedikit terkejut, menatap punggung Reno yang perlahan menjauh dari dirinya. Dengan buru-buru ia berlari mengejarnya, menahan tangan Reno agar tak bergerak semakin jauh darinya.“Tunggu, apa yang lo rencanain?” “Bukan urusan lo.” menghempaskan tangan Nadia, membuat tubuh gadis itu limbung karena tak seimbang.“Reno,” teriaknya. Reno tak menggubris, kakinya terus melangkah hingga jauh meninggalkan tempat Nadia.Di dalam mobil ia mengamuk sejadi-jadinya, memukul-mukul kemudi hingga mengeluarkan segala umpatan.“Sialan! Gue nggak akan pernah lupa hari ini, gue nggak akan pernah lupa cara dia mempermalukan gue kali ini.”Dengan perasaan geramnya, ia melajukan mobil keluar dari parkiran.Sedang Nadia hanya bisa menatap mobil itu melaju tanpa mau berhenti di sampingnya. Hatinya sakit, bukan karena kata-kata kasar dari Reno tapi lebih pada sikap penolakan yang terang-terangan Reno tun
Melvin merasa tak tenang mengingat istrinya akan bertemu kembali dengan keluarganya. Namun apalah daya, jadwal meeting yang begitu padat membuatnya tertahan di dalam ruang hampa.“Berapa meeting lagi yang harus di hadiri?” tanya Melvin begitu ketus.“Masih ada tujuh meeting lagi, kemungkinan kita akan lembur mengingat pentingnya semua meeting ini.”Terdengar helaan nafas begitu panjang, begitu lelah terdengar dari hembusan yang di keluarkannya.Ed tahu maksud dari tuannya, ia juga tak ingin menghalangi jika memang tidak ada meeting yang sangat penting.“Untung udah gue kasih tahu duluan jadwalnya, kalau enggak bisa habis gue di amuk.” batinnya melirik tuan yang tengah terpejam.“Apa nggak bisa meetingnya langsung dijadiin satu aja, biar lebih simpel dan menghemat waktu.” ucap tiba-tiba Melvin.Helaan nafas kembali terdengar, namun kali ini bukan Melvin pemilik deru nafas frustasi itu melainkan Ed yang
Kanza duduk dengan begitu lesu di mejanya, semua energinya seakan terkuras saat menghadapi semua pertanyaan juga cacian teman sekampus.Nadia datang, ia hanya berdiri di ambang pintu menatap ke arah Kanza yang tengah memejamkan mata. Matanya begitu tajam menatap, mulutnya terkunci rapat seolah menahan semua yang ingin keluar dari mulutnya.Memaksakan kakinya melangkah, Nadia berdiri tegap di samping sahabatnya.“Lemes banget sih, habis ngapain lo?”“Nadia,” memeluk pinggang ramping temannya.Tangan Nadia membelai rambut Kanza dengan lembut, penuh perhatian juga kasih sayang.“Mau cerita?” namun Kanza menggelengkan kepalanya.“Lo sekarang udah nggak terbuka lagi sama gue, banyak rahasia sekarang di antara kita.”Kanza menarik diri, menatap Nadia yang mulai bergeser dan duduk di sebelahnya.“Bukan gitu, gue cuma belum siap aja. Nanti pasti gue cerita, kan lo tahu sendiri gue
Hari ini Melvin sengaja ingin mengantarkan istrinya pergi ke kampus, awalnya ditolak namun setelah drama pemaksaan akhirnya sang istri luluh juga.Dalam perjalanan tak ada yang memulai bicara, semua diam larut pada pikiran masing-masing.Helen tak bersama dengan Kanza saat ini, ia diminta oleh Melvin untuk mengantar mamanya pulang terlebih dahulu.Hingga tak terasa mobil sudah tiba di halaman kampus, menarik perhatian banyak orang yang lalu lalang di depan mobil Melvin.Sadar dengan pandangan semua orang membuat Kanza tak berani beranjak dari dalam mobil.“Kenapa? Mau diantar sampai depan kelas?” tebak Melvin.Dengan pupy eyes Kanza menatap pada suaminya, “Bisa putar balik aja nggak? Turunin aku di ujung jalan aja.”Melvin mengerutkan dahinya, ia tak paham dengan permintaan aneh istrinya itu. Capek-capek ia mengantar dengan selamat hingga dalam kampus, kini malah diminta pergi dan menurunkan istrinya di tepi jalan.&ldq
Pagi yang begitu tenang, nampak Kanza begitu lincah bermain dengan peralatan dapur.Mata elang itu terus menatap awas pada mangsanya, seolah tak ingin lengah dan kehilangan sang buruan.“Pulang kuliah jangan kemana-mana, langsung pulang.” seru Melvin yang tiba-tiba berdiri dengan segelas air dingin di samping Kanza.Kanza merespon dengan anggukan kepala pertanda setuju tanpa perlawanan, sebab dirinya memang tak ada niat pergi kemanapun hari ini.“Aku serius.”Menghentikan acara memotong sayuran, Kanza berbalik menatap teduh pada mata elang si suami.“Iya, nanti aku langsung pulang.” melanjutkan kegiatannya.“Bagus.”Langkah yang begitu ringan membawa Melvin kembali ke dalam kamar. Berendam sejenak dalam air hangat untuk merileksasikan otot-otot yang baru saja di latihnya.Kanza yang selesai menyiapkan sarapan beranjak menuju kamar, waktu baginya untuk membersihkan diri dan bersiap untuk perg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments