“Alea?” panggil Arka, nada suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Suara itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan, seperti pisau yang mengiris keheningan di koridor kantor. “Ngapain kamu di sini?”
Nada itu tidak ramah, bahkan cenderung menegur, seolah kehadiran Alea adalah sebuah gangguan yang tidak diinginkan.
Alea mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku mau bicara sama kamu, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar. Matanya mencoba mencari sesuatu di balik tubuh Arka, berharap bisa melihat wanita yang tadi bersamanya.
Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, Arka bergerak cepat, tubuhnya dengan sengaja menghalangi pandangan Alea.
“Di luar aja,” katanya tegas, wajahnya tanpa ekspresi. “Jangan bikin ribut di kantor.”
Alea terdiam, tetapi ia tahu ini bukan saatnya mundur. Dengan langkah lamban, ia mengikuti Arka keluar gedung. Angin dingin menyambut mereka di parkiran yang sepi, menciptakan suasana yang lebih mencekam.
Arka berhenti di sudut yang jauh dari pandangan orang lain, menoleh ke Alea dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Sekarang apa?” tanya Arka, nadanya terdengar seperti seseorang yang sedang berbicara pada orang asing, bukan istri yang telah bersamanya selama bertahun-tahun.
Alea menatap suaminya dengan mata penuh luka. “Siapa wanita tadi, Mas?” tanyanya akhirnya, suaranya nyaris pecah.
Arka menghela napas panjang, tampak jelas bahwa pertanyaan itu membuatnya kesal. “Dia cuma teman kerja, Alea. Jangan mulai deh,” jawabnya datar, seolah itu jawaban yang harus cukup memuaskan.
“Semalam kamu nggak pulang,” lanjut Alea, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa remuk. “Ponsel kamu mati. Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Tatapan Arka berubah lebih tajam, penuh dengan kemarahan yang ia coba sembunyikan tetapi gagal. “Alea, aku sibuk. Aku punya banyak urusan. Dan kamu terus-terusan nanya hal yang nggak penting!”
“Nggak penting?” ulang Alea, suaranya gemetar. “Aku cuma mau tahu, Mas. Aku istri kamu.”
Arka tertawa sinis, tawa yang membuat hati Alea terasa seperti dihancurkan berkeping-keping.
“Istri?” katanya dengan nada mengejek. “Kamu harusnya tahu batasan kamu, Alea. Jangan ikut campur semua urusan aku. Kalau kamu nggak bisa ngerti, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Kata-kata Arka terasa seperti beban berat yang menekan dada Alea. Ia berusaha untuk tidak menangis, tetapi suaranya bergetar ketika ia berkata, “Mas … kalau aku memang nggak berarti lagi buat kamu, kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
Arka mendengus pelan, wajahnya tampak tidak sabar. “Apa bedanya aku bilang atau nggak, Alea? Kamu nggak akan pernah puas dengan jawaban apa pun.”
Alea terdiam, hatinya terasa pecah mendengar respons itu. “Aku nggak minta banyak, Mas. Aku cuma … aku cuma ingin tahu kenapa kamu berubah.”
Arka memutar matanya, menatap Alea seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk peduli. “Kamu yang nggak berubah, Alea. Kamu nggak pernah lihat aku. Kamu nggak pernah ngerti apa yang aku inginkan.”
Alea menatap Arka dengan mata berkaca-kaca. “Aku berusaha ngerti, Mas. Aku mencoba. Tapi kenapa aku selalu merasa aku yang salah?”
Arka tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di sana.
“Karena kamu memang salah,” katanya datar. “Kamu terlalu memaksakan diri. Kadang, cinta itu nggak cukup, Alea.”
Alea membeku, kata-kata itu seperti duri yang menusuk hatinya. “Kalau gitu, kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau aku nggak cukup?”
Arka menatapnya, matanya dingin seperti es yang tak bisa dicairkan.
“Aku sudah bilang semua yang perlu kamu tahu,” ucapnya dengan nada datar, tanpa sedikit pun jejak empati. Langkahnya menjauh, meninggalkan Alea yang berdiri terpaku, hatinya seperti dihancurkan berkeping-keping. “Kamu yang maksa aku tetap tinggal, jadi sisanya … terserah kamu.”
Suara langkah Arka yang semakin menjauh adalah detik terakhir sebelum keheningan melingkupi ruang itu. Ketika isakannya akhirnya pecah, Alea merasa dunianya runtuh sekali lagi. Ia berdiri sendirian di tempat itu, memeluk dirinya sendiri seolah berusaha melindungi hati yang telah hancur. Lelaki yang dulu menjadi dunianya kini tak lebih dari bayangan asing yang membuat luka semakin dalam
Alea berdiri terpaku, tubuhnya terasa beku di tempat. Air mata mengalir pelan di pipinya, namun ia bahkan tidak sadar. Tatapannya tertuju pada punggung Arka yang menjauh tanpa rasa ragu, seolah-olah ia tidak pernah menjadi bagian penting dalam hidup pria itu. Rasa sakit yang mencengkeram hatinya begitu nyata, seperti ribuan duri yang perlahan menusuk tanpa henti.
Akhirnya ia duduk di kursi kemudi. Matanya menatap kosong ke arah jalanan yang masih basah oleh hujan pagi, namun pikirannya terus berputar.
Kata-kata Arka yang dingin, tawa wanita itu, dan senyum yang dulu menjadi miliknya kini terlihat begitu mudah diberikan kepada orang lain. Semua itu menghujam hatinya, meninggalkan luka yang terasa mustahil untuk sembuh.
Dalam hatinya, Alea bergumam, “Seharusnya perpisahan yang Arka minta dulu aku berikan saat itu. Tapi aku terlalu egois dengan cintaku, terlalu takut kehilangan, sehingga aku membiarkan diriku terluka lebih dalam.”
Air matanya terus mengalir, seperti sungai yang tidak tahu kapan harus berhenti. Ia tahu bahwa cintanya kepada Arka adalah sesuatu yang nyata, tetapi cinta itu kini terasa lebih seperti hukuman daripada anugerah. Ia mencintai pria yang perlahan menghancurkannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara berhenti.
Mobil berhenti di depan rumah mereka. Alea tidak langsung turun. Ia memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melangkah masuk ke rumah yang hanya akan membuatnya merasa lebih kosong.
“Aku harus tetap kuat,” pikir Alea, meskipun hatinya berontak meminta keadilan. Untuk Raka, ia tahu ia harus bertahan, bahkan jika itu berarti menghancurkan dirinya lebih dalam setiap harinya.
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t