Mobil melaju pelan keluar dari gerbang kampus. Jalanan kota sore itu cukup ramai. Di kursi sebelah, Callista membuka catatan, kadang melirik ke luar jendela.
Adrian melirik sekilas. “Kamu masih mikirin data?” Callista menoleh, tersenyum kecil. “Sedikit, Pak. Saya cuma takut ada yang kelupaan.” “Tadi saya sudah bilang. Malam ini kita nggak bahas data.” Adrian melambatkan laju mobil, matanya tetap fokus ke jalan. “Kita makan dan istirahat sebentar. Kamu butuh itu.” Callista kembali menatap jendela. “Saya jarang makan di luar, Pak. Apalagi diajak dosen.” Adrian tertawa kecil. “Anggap aja bukan dosen. Cuma orang yang ngajak kamu makan karena kamu kerja keras.” Mobil berbelok ke arah sebuah restoran kecil yang tampak tenang. Tempat itu cukup tersembunyi di antara bangunan tua, tapi tampak bersih dan nyaman. Mereka duduk di salah satu meja pojok dekat jendela. Callista melepas masker dan menarik napas pelan. “Tempatnya tenang, ya.” “Biasanya saya ke sini kalau pengen sendiri,” jawab Adrian. “Tapi hari ini, saya nggak sendiri.” Pelayan datang, mengantarkan menu. Callista melihat sekeliling dengan rasa kagum yang tak ia tutup-tutupi. “Pesan aja yang kamu mau. Jangan lihat harganya,” kata Adrian pelan. Callista ragu sejenak, lalu memilih satu set nasi ayam dan teh manis. Adrian memilih menu serupa. Beberapa menit kemudian, makanan datang. Callista memindahkan lauk ke piring Adrian. “Ini, Pak. Ayamnya biar saya potongin.” Adrian terdiam. Ia hanya menatap Callista yang kini sibuk mengambil sendok dan membagi lauk ke piringnya. Gerakannya luwes, sopan. Tanpa dibuat-buat. “Aku jadi kayak suami yang lagi dilayani istri,” gumam Adrian, nyaris tak terdengar. Callista tak mendengar jelas, tapi melihat ekspresi Adrian yang sedikit berubah. Senyumnya tipis, tapi matanya menatap dalam. “Bapak kenapa?” tanya Callista akhirnya, sambil menyendok nasi ke piringnya sendiri. “Nggak apa-apa.” Adrian menarik napas. “Kamu sering bantu Ibu di rumah?” Callista mengangguk. “Iya, sejak kecil. Mama dulu dagang kecil-kecilan.” “Papamu?” tanya Adrian. Callista menunduk, bibirnya menegang. “Meninggal waktu saya SMA. Kecelakaan kerja.” Adrian menatapnya dalam diam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi matanya penuh empati. “Makanya saya harus kuliah yang realistis,” lanjut Callista dengan suara parau. “Yang bisa langsung dipakai kerja. Kemarin pun saya nekat daftar karena dapat beasiswa sejak awal. Kalau nggak, saya nggak mungkin berani.” Adrian merasakan sesuatu menekan dadanya, perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. “Tapi kamu hebat, Callista. Bisa sampai sejauh ini…” Callista tersenyum kecil, tapi senyum itu hanya menutupi luka. “Karena saya gak punya pilihan, Pak. Kalau saya gagal… siapa lagi yang bantu Mama?” Kata-katanya menusuk. Bukan dramatis, tapi jujur. Pandangan gadis itu kemudian beralih ke jendela mobil, menatap lampu jalanan yang melewati mereka. “Kadang saya iri,” lanjut Callista, suaranya lirih. “Sama teman-teman yang bisa kuliah sambil hangout, belanja, liburan. Tapi saya sadar, hidup saya nggak seperti mereka. Saya harus tetap tahu diri.” Adrian menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kamu bukan kalah, tapi kamu bertahan.” Pandangan mereka bertemu dan kali ini lebih dalam dari sekadar rasa kasihan. Ada kekaguman. Ada kepedulian. Ada dua jiwa yang, meski berbeda usia dan latar belakang, sama-sama lelah dan mencari tempat untuk bernaung. “Kenapa Bapak ngeliatin saya kayak gitu?” tanya Callista, canggung. Suaranya mengusik keheningan, dan keduanya tersenyum samar. “Nggak apa-apa,” jawab Adrian pelan, mengalihkan pandangan. “Mungkin karena saya udah lupa rasanya dihargai... tanpa harus minta duluan.” Callista mematung sejenak. “Maksudnya?” Adrian mengangkat bahu ringan. “Cuma... masalah kecil soal rumah.” Callista mengaduk makanannya, lalu berkata perlahan. “Saya gak ngerti banyak. Tapi… kalau saya gak salah nebak, mungkin tentang istri Bapak?” Adrian tak menjawab, tapi sorot matanya membenarkan. “Perempuan juga bisa capek, Pak. Kadang kalau udah gak hangat, bukan berarti dia gak cinta lagi. Tapi bisa jadi karena dia udah terlalu lelah jadi satu-satunya yang minta perhatian,” ucap Callista, lirih tapi mantap. Kata-kata itu seperti berasal dari tempat paling dalam di hatinya. Adrian mengangguk perlahan. “Mungkin kamu benar.” Mereka kembali makan dalam diam. Tapi itu bukan diam yang canggung. Itu diam yang tenang, seperti ruang aman kecil yang tak mereka temukan di tempat lain. Usai makan, Callista menyeka mulut dengan tisu, lalu menoleh. Tatapannya lembut tapi tegas. “Saya memang belum menikah, tapi saya pernah dengar… katanya gak ada pernikahan yang sempurna. Yang penting, dua-duanya mau saling mengerti dan saling menambal yang kurang.” Adrian menatapnya. “Andai semua ini semudah ucapan itu… mungkin saya gak akan sefrustasi ini, Callista.” Callista terdiam, tapi matanya jelas berbicara. Ia ingin memeluk luka yang tak ia pahami. “Saya gak tahu seberat apa masalahnya, Pak,” kata Callista akhirnya. “Tapi saya doakan semoga semua ada jalan keluar.” Tatapan mereka bersirobok sekali lagi. Kali ini, mata Callista seolah menyampaikan sesuatu yang lebih dalam, keyakinan, atau mungkin harapan yang belum sempat ia beri pada siapa pun. Dan Adrian… merasakannya. Lalu Callista berkata pelan, “Saya izin ke toilet sebentar, Pak.” Adrian mengangguk, dan gadis itu bangkit. Namun saat Callista kembali dan hendak kembali ke meja, langkah Callista terhenti. Di sisi lain ruangan, di sebuah meja sudut, ia melihat seorang wanita... Amelie, istri sang dosen, sedang duduk berdua dengan seorang pria. Tangan mereka saling menggenggam. Wajah mereka terlalu dekat, terlalu hangat. Lalu, Callista mendengar suara yang membuat dadanya mencelos. “Aku nyesel nikah sama Adrian,” kata Amelie lirih. “Aku terpaksa. Waktu itu semua orang dorong aku buat terima dia. Mereka pikir dia sempurna. Padahal aku gak pernah cinta dia…” Callista terpaku. Tenggorokannya tercekat. Pria itu menjawab, “Tapi sekarang kamu punya aku.” “Aku gak kuat lagi,” bisik Amelie. “Setelah sertifikat rumah itu bisa menjadi milikku, aku akan menceraikannya.” Callista mundur setengah langkah, napasnya terputus. Ia bingung. Haruskah ia memberitahu Adrian? Apa ia harus pura-pura tak mendengar? Namun saat Callista membalikkan badan, di sanalah Adrian berdiri. Tepat di belakangnya. Wajahnya pucat. Matanya memerah, namun tetap dingin. Adrian sudah melihat. Sudah mendengar. Mata mereka bertemu. Namun, Adrian tidak mengatakan sepatah kata pun. Tanpa peringatan, Adrian menarik Callista dalam dekapan, lalu menciumnya.“Kalau benar Amelia yang kirim pesan itu, berarti dia udah siap hadapi kita langsung,” kata Callista, suaranya mantap meski jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan.Adrian duduk di depannya, bahunya sedikit menegang. Tatapan tajam pria itu menempel pada amplop kosong yang tergeletak di meja. “Dia nggak akan pernah kirim pesan sejelas ini tanpa tujuan. Pertemuan itu bukan undangan, tapi jebakan.”Callista mencondongkan tubuh. “Dan kamu tetap mau datang?”“Ya,” jawab Adrian tanpa ragu. “Tapi kita yang tentuin caranya, bukan dia.”Ada hening yang menggantung di antara mereka, seolah setiap detik mengandung kemungkinan yang bisa mengubah arah semuanya. Callista tahu, Adrian bukan tipe orang yang main-main dengan keputusan seperti ini. Jika ia sudah bilang akan datang, berarti pria itu sudah siap menanggung semua risikonya.“Aku ikut,” kata Callista tegas.Adrian menoleh cepat, matanya sedikit menyipit. “Aku nggak mau kamu jadi
“Aku masih nggak percaya kalau kita benar-benar ada di titik ini,” ucap Callista pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk Adrian. Adrian menatapnya, lalu menyentuh pipi gadis itu dengan lembut. “Kita ada di sini bukan karena kebetulan. Kita ada di sini karena kita mutusin buat nggak tunduk.” Callista menahan tatapannya, mencoba menyerap keyakinan yang selalu dipancarkan pria itu. Ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara—datar tapi penuh kepastian—yang membuatnya merasa mereka selalu punya peluang, bahkan ketika jalan tampak buntu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu, langkah mereka berikutnya akan membawa konsekuensi yang tidak bisa lagi ditarik kembali. “Aku kepikiran satu hal,” ucap Callista setelah hening cukup lama. “Kalau Amelia udah siapin semua ini dari awal, berarti dia juga udah prediksi langkah-langkah kita. Kita nggak bisa main normal. Kita harus bikin dia salah baca kita.”
Napas Callista mulai stabil, tapi tubuhnya masih diselimuti sisa hangat dari pelukan Adrian. Ia tidak bergerak, hanya membiarkan kepalanya tetap di dada pria itu. Suara detak jantung Adrian yang tenang menjadi pengingat bahwa di sini, ia aman.Namun di balik rasa aman itu, pikirannya tetap berjalan. Perang belum selesai. Mereka hanya mengambil jeda—dan jeda ini akan segera berakhir.“Aku nggak mau cuma bertahan, Adrian,” suaranya pelan tapi tegas. “Kita harus mulai nyerang.”Adrian membuka mata, menatap langit-langit sebentar sebelum menurunkan pandangan ke Callista. “Aku tahu. Dan aku udah siapin beberapa langkah. Tapi aku mau kamu dengar semuanya sebelum kita mulai.”Callista mengangkat wajah, mata mereka bertemu. “Oke. Katakan.”Adrian duduk, menarik Callista untuk duduk bersandar di pahanya. Tangannya masih memeluk pinggang gadis itu, memastikan kedekatan itu tetap terjaga. “Pertama, kita manfaatin jaringan yang kita punya di luar med
Begitu pintu baja itu kembali terkunci, suasana ruangan seperti tertutup rapat dari dunia luar. Tidak ada lagi suara mesin mobil, teriakan, atau ketukan mengancam. Hanya ada napas mereka berdua—masih sedikit berat karena ketegangan yang barusan terjadi.Callista berdiri mematung, pandangannya tertuju pada meja yang dipenuhi map. Tapi tubuhnya tidak lagi tegang seperti tadi. Kini, ada rasa lega bercampur adrenalin yang belum sepenuhnya reda.Adrian berjalan mendekat perlahan. “Mereka nggak akan balik malam ini,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Kita aman… untuk sekarang.”Callista menoleh, dan baru saat itu menyadari betapa dekatnya Adrian berdiri. Cahaya lampu membuat rahang pria itu terlihat tegas, matanya masih menyimpan sisa amarah sekaligus ketenangan yang ia ciptakan untuk melindunginya.“Aku nggak tahu kalau aman itu rasanya kayak gini,” gumam Callista.“Kayak gimana?” tanya Adrian sambil mendekatkan wajahnya.
Ketukan keras menghantam pintu depan, tidak seperti ketukan normal yang mereka kenal. Callista yang sedang merapikan map di meja langsung menegakkan badan. Adrian, yang berdiri di dekat jendela, menoleh cepat.“Jangan buka dulu,” katanya singkat.Namun ketukan itu datang lagi, lebih keras, disertai suara seseorang dari luar. “Adrian! Gue tahu lo di dalam! Buka pintunya!”Callista mengenali suara itu—bukan Amelia, tapi salah satu orang kepercayaannya. Lelaki berperawakan besar, bersuara kasar, sering terlihat mendampingi Amelia di acara-acara penting.Adrian melirik Callista, memberi isyarat untuk menjauh dari pintu. Ia sendiri berjalan mendekat, tapi tidak langsung membuka. “Apa maumu?” teriaknya dari balik pintu.“Gue cuma mau ngobrol,” balas suara itu, nada suaranya jelas menyimpan ancaman. “Ngobrol soal orang yang lo temuin tadi.”Callista merasakan darahnya berdesir. Mereka sudah tahu.Adrian tetap tenang. “Kalau mau
Suara pintu pagar otomatis tertutup pelan terdengar seperti gema pendek di telinga Callista. Ia berdiri di dekat jendela rumah kedua Adrian, memandangi halaman yang sengaja dibiarkan remang. Mobil hitam berhenti tepat di depan, lampunya padam begitu mesin dimatikan. Adrian berdiri di belakangnya, tubuhnya tegak, bahunya tegang. “Itu dia?” tanyanya pelan. Callista hanya mengangguk. Napasnya sedikit berat. Meski sudah berkali-kali berhadapan dengan situasi genting, kali ini terasa berbeda—karena orang yang akan datang membawa potongan kunci untuk menghancurkan Amelia sepenuhnya. Ketukan pintu tiga kali, cepat dan berirama. Adrian berjalan membukanya, dan di ambang pintu berdiri seorang pria berusia pertengahan empat puluhan. Wajahnya lelah, matanya tajam tapi gelisah, dan ia menggenggam tas selempang yang tampak berat. “Kalian Adrian dan Callista?” suaranya rendah, seperti takut dinding ikut mendengar. “Masuk,”