Share

BAB 2

Author: Atdriani12
last update Last Updated: 2025-06-12 03:01:00

Amelie membalikkan badan, matanya kini menatap Adrian dengan kemarahan yang tak lagi ia tahan.

“Nyewa perempuan? Serius kamu ngomong kayak gitu?” suara Amelie meninggi. “Cuma karena aku gak mau melayani kamu malam ini, kamu langsung bawa-bawa perempuan lain?”

Adrian menghela napas kasar, suaranya bergetar menahan emosi. “Ini bukan cuma soal seks! Bukan juga soal malam ini! Tapi, ini soal gimana kamu menghargai dan mengurus suamimu!”

Amelie mengernyit. “Aku kerja, aku juga sudah mengurus rumah tangga, aku …”

“Urus rumah tangga?” potong Adrian cepat, lalu tertawa pahit. “Kapan kamu terakhir kali masak buat aku, Amelie? Bukan pesan katering atau beli online. Masak pakai tanganmu sendiri. Kapan?”

Amelie terdiam, matanya menatap Adrian dengan kesal, tetapi tidak bisa membalas apapun.

“Kapan terakhir kamu tanya aku capek atau nggak? Aku sakit aja kamu gak peduli. Kamu pulang, masuk kamar, langsung tidur. Paginya kamu dandan, kerja, arisan, jalan-jalan. Seolah-olah aku ini cuma penghasil uang dan dekorasi di pernikahanmu,” kata Adrian lagi. Emosinya terasa semakin memuncak.

“Aku juga capek, Adrian!” suara Amelie mulai pecah. “Kamu pikir jadi aku itu gampang?! Aku kerja, aku harus jaga citra, aku...”

“Tapi aku suami kamu, Amelie!” potong Adrian, nadanya keras. “Aku bukan penonton dalam hidup kamu. Aku pasangan kamu, tapi kamu perlakukan aku kayak figuran yang nggak penting. Bahkan ngobrol aja sekarang harus aku duluan yang mulai, harus aku duluan yang peka!”

Amelie menunduk, rahangnya mengeras.

“Aku bukan minta banyak,” lanjut Adrian, suaranya mulai menurun, tapi dingin. “Aku cuma pengen diperlakukan sebagai suami. Dihargai, dirawat, dianggap ada. Tapi kayaknya kamu udah terlalu sibuk hidup di dunia kamu sendiri.”

“Cukup!” seru Amelie. “Aku capek, Adrian!”

Amelie langsung melangkah ke arah kamar, meninggalkan Adrian yang masih dipenuhi emosi.

Adrian masih berdiri di ruang tamu. Punggungnya bersandar di dinding, napasnya berat. Matanya menatap kosong ke arah kamar yang baru saja ditinggalkan Amelie.

Beberapa detik kemudian, ia melangkah ke dapur. Menuangkan air ke gelas. Tapi tangan kirinya justru memijit pelipis yang berdenyut.

"Ngomong pun sekarang susahnya setengah mati," gumamnya pelan.

Ia menenggak air itu sampai habis. Hambar. Sunyi. Rumah sebesar ini... tapi rasanya seperti tak ada yang tinggal di dalamnya.

Ia membuka laptop, mencoba mengalihkan pikiran ke data riset. Tapi hanya menatap layar kosong.

Lalu... yang muncul justru Callista. Pikirannya malah kembali pada kejadian kemarin. Ciuman yang tak direncanakan. Tapi terlalu lama untuk dibilang sekadar khilaf.

Hatinya berat. Ada rasa bersalah... tapi juga ada sesuatu yang tak bisa ia tolak.

**

Keesokan harinya di kampus.

Langkah kaki mahasiswa terdengar di lorong fakultas. Tapi tidak satu pun yang menyentuh perhatian Callista.

Ia berdiri di depan ruang dosen. Map putih di tangan. Jari-jarinya menggenggam erat, seperti berusaha meredam gemetar yang tak kunjung reda sejak pagi.

Satu tarikan napas... lalu ia angkat tangan.

“Masuk,” terdengar suara dari dalam.

Callista membuka pintu.

Adrian duduk di balik meja. Kemejanya digulung hingga siku, tanpa jas seperti biasanya. Tampak lebih santai. Tapi wajahnya serius.

“Selamat pagi, Pak,” ucap Callista hati-hati.

“Pagi,” jawab Adrian singkat. Pandangannya menatap sebentar, lalu mengangguk. “Ada yang perlu didiskusikan?”

“Saya bawa revisi draf kemarin,” Callista menyerahkan map.

Adrian menerimanya. Membukanya. Beberapa detik, hanya suara kertas di balik yang terdengar.

“Bagian ini...” Adrian menunjuk halaman. “Kamu udah bandingkan dengan data dari jurnal yang saya kasih minggu lalu?”

“Sudah, Pak. Tapi hasilnya beda dari yang sebelumnya. Jadi saya agak ragu,” jawab Callista.

“Kamu pakai pendekatan statistik yang berbeda. Lihat sini.” Adrian berdiri. Membawa map ke sisi Callista. Tangan kirinya menunjuk langsung ke margin halaman. Bahunya hampir menyentuh gadis itu.

Callista bisa merasakan napas Adrian yang berada cukup dekat dengannya. Dan tiba-tiba, tubuhnya menegang. Sekilas, bayangan malam itu melintas di kepalanya. Sentuhan tangan Adrian di kulitnya, ciuman yang terlalu panjang, terlalu dalam.

Jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan karena takut, tapi karena tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Haruskah Callista menarik diri? Atau justru diam dan berpura-pura tak terjadi apa-apa?

“Kalau kita pakai metode ini, hasilnya lebih akurat untuk tren data jangka panjang,” jelas Adrian.

Callista mengangguk pelan. Tapi tatapannya tidak lagi ke angka-angka.

Adrian sadar. Ia segera mundur, kembali ke kursinya.

“Maaf,” ucap Adrian cepat.

Callista menggeleng kecil lalu menunduk, namun tak mampu menyembunyikan detak di dadanya yang kacau. Ia tidak marah. Tapi juga tidak tenang.

Yang ada hanya perasaan menggantung antara logika dan sesuatu yang lebih dalam dari itu. Perasaan yang belum sempat ia pahami.

Sementara itu, ada kegelisahan samar di hati Adrian. Ia terus menatap Callista yang masih menunduk, lalu menarik napas panjang dan berkata pelan, “Saya akan bicarakan ke pihak fakultas. Soal status kamu supaya jadi asisten riset resmi.”

Callista mendongak. Terkejut. “Serius, Pak?”

Adrian mengangguk. “Kamu kerja keras. Dan kamu butuh dukungan. Ini cara paling masuk akal.”

Mata Callista berkaca. Dadanya sesak oleh rasa syukur yang sulit diluapkan.

Dengan ini, jelas ia bisa mendapat sedikit penghasilan juga tetap melanjutkan kuliahnya. Tapi lebih dari itu, ada rasa dilihat. Dianggap mampu. Dan itu menohok sisi dirinya yang selama ini merasa tak cukup untuk siapa pun.

“Terima kasih, Pak. Saya nggak tahu harus bilang apa…”

“Jangan bilang apa-apa,” potong Adrian sambil tersenyum tipis. “Cukup lanjutkan kuliahmu dengan baik.”

Callista mengangguk. “Baik, Pak.”

Pandangan mereka sempat bertemu. Ada banyak hal yang tidak terucap di sana. Tapi tak satu pun dari mereka cukup berani untuk menyentuhnya.

“Kalau tidak ada yang perlu didiskusikan lagi, kamu bisa kembali ke kelas,” kata Adrian akhirnya memecah keheningan sesaat tersebut.

Callista mengangguk, tetapi masih diam di tempat. Tangannya meremas pegangan map. Ada desakan dalam dadanya yang tak bisa lagi ia abaikan. “Pak, sebenarnya… saya mau bertanya satu hal.”

Adrian mendongak. “Ada apa?”

Callista menunduk sebentar, menarik napas yang berat. Bibirnya nyaris bergetar ketika akhirnya ia berkata:

“Kemarin malam… kenapa bisa terjadi?”

Suasana ruangan seketika membeku.

Adrian menutup map perlahan. “Kamu marah?”

Callista menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, suaranya terdengar sedikit pecah. Karena sekali lagi, setelah menjadi lebih dekat dengan Adrian, kejadian semalam adalah yang pertama kali terjadi!

“Saya nggak tahu. Saya bingung.” Callista menggigit bibir, lalu melanjutkan, “Saya nggak tahu harus gimana bersikap di depan Bapak. Harusnya saya marah, atau merasa bersalah… tapi justru yang paling mengganggu saya … saya tidak bisa berhenti mengingatnya.”

Adrian mengusap tengkuknya gugup. “Saya tahu ini salah. Kita dosen dan mahasiswa. Saya juga tahu saya harus fokus ke kuliah. Tapi... malam itu, saya merasa seperti bukan orang yang harus terus-menerus bertahan. Saya merasa dilihat... disentuh... dihargai. Dan itu menakutkan.”

Air matanya nyaris jatuh, tapi Callista cepat mengalihkan pandang. “Saya takut. Tapi saya juga butuh jawaban. Saya butuh tahu, buat Bapak... itu cuma kesalahan sesaat atau… sesuatu yang Bapak juga rasakan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   EPILOG

    Rumah kecil mereka dipenuhi suara riang yang melompat dari satu sudut ke sudut lain. Elara, gadis mungil dengan senyum lebar, sibuk menumpuk balok kayu, menjatuhkannya, lalu tertawa sendiri saat menatap hasil karyanya yang roboh lagi. Adrian duduk di sofa, matanya mengikuti setiap gerakan anaknya, setengah cemas, setengah kagum.Callista berdiri di dapur, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat dua orang yang paling dicintainya. “Kalian berdua terlalu lucu,” ucapnya sambil mengangkat tangan, menyiapkan cangkir susu hangat untuk Elara.Elara menoleh. “Ibu… lihat! Aku bisa buat menara tinggi!” katanya dengan mata berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, memeriksa menara balok yang miring. “Hati-hati, nak… jangan sampai roboh sebelum selesai.”Elara tersenyum nakal, sengaja menjatuhkan beberapa balok dan tertawa lepas. “Ayah… menara ini lebih seru kalau roboh!”Callista tertawa, menatap Adrian. “Kau lihat? Itu cara dia membuat hari lebih c

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   BAB 195

    Ruang gereja dipenuhi bunga putih dan lilin yang menyala lembut. Suasana hangat menyelimuti setiap sudut, dan musik lembut mengalun di udara. Callista berdiri di depan altar, mengenakan gaun pernikahan yang sederhana tapi elegan, memantulkan cahaya lampu dengan anggun. Di sampingnya, Elara memegang buket kecil, matanya bersinar penuh penasaran dan bahagia.Adrian berdiri di altar, jas hitam yang sempurna menyesuaikan postur tegapnya. Matanya terus menatap Callista, sorotnya lembut tapi penuh tekad. Seluruh perjalanan mereka—dari rahasia dan skandal, kesulitan hukum, hingga masa-masa penuh ketegangan—berakhir di momen ini.Ketika musik berhenti, Adrian melangkah maju dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Setiap langkahnya mantap, namun di dalamnya ada getaran emosional yang hanya bisa dirasakan orang yang jatuh cinta sepenuhnya. Callista menunduk sedikit, hatinya berdebar.“Callista…,” Adrian memulai, suaranya dalam dan hangat. “Setiap detik bersamamu

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   BAB 194

    Callista sedang duduk di sofa, Elara di pangkuannya, sementara Adrian duduk di sebelah, memperhatikan dengan sorot mata lembut tapi protektif. Suara tawa kecil Elara mengisi ruang tamu, membuat semua kekhawatiran lenyap sejenak.“Kau lihat, Adrian? Dia mulai tersenyum saat melihat mainannya sendiri,” ucap Callista, matanya berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum tipis, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Kau aman. Kau bisa mencoba apa pun.”Elara menggerakkan tangannya mungil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Tapi aku harus mengakui… aku senang melihatmu begitu peduli.”Adrian tersenyum, mengecup pipi Callista singkat. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak.”**Pagi itu, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, mendapati tetangga m

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   BAB 193

    Callista duduk di sofa dengan Elara di pangkuannya, sementara Adrian menata mainan di lantai. Matanya terus mengawasi bayi kecil mereka, sorotnya lembut tapi protektif.“Adrian… lihat dia mencoba meraih mainan itu,” ucap Callista sambil tersenyum lembut. “Dia begitu cepat belajar.”Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Lihat, nak… ayah di sini. Kau bisa melakukan apa saja. Ayah akan selalu ada untukmu.”Elara menggerakkan tangannya kecil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Aku yakin dia bisa belajar sendiri, tapi kau membuat segalanya lebih aman.”Adrian tersenyum tipis, mengecup pipi Callista. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak untuk membiarkan sesuatu terjadi.”**Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, men

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   BAB 192

    Suara tangisan kecil Elara menggema di ruang tamu. Callista buru-buru bangkit dari sofa, menggendong bayi mereka dengan lembut. Adrian yang sedang menyusun buku di rak segera berdiri, matanya tajam tapi lembut menatap mereka.“Ada apa, Callista? Dia rewel?” Adrian mencondongkan tubuh, mencoba mengambil Elara.Callista menggeleng, tersenyum lelah. “Hanya sedikit lapar. Aku sudah menyiapkan susu, tapi aku rasa dia ingin ayahnya saja.”Adrian tersenyum, menunduk dan membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Elara menggerakkan tangan mungilnya seolah mengenal suara ayahnya.Callista menatap Adrian, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Kau terlalu protektif. Kau tahu, aku juga bisa menenangkannya.”Adrian menepuk bahu Callista, senyum nakal menghiasi wajahnya. “Aku tahu… tapi aku tetap ingin memastikan tidak ada yang salah. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengganggu kalian b

  • Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda   BAB 191

    Suara tawa Elara kembali memenuhi rumah kecil mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan Adrian yang sibuk menata perlengkapan bayi di lemari. Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah selalu mengawasi kalian. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” ucap Adrian lembut, sorot matanya penuh kasih sayang.Callista menatap Adrian, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu ada di sini. Bahkan saat aku kelelahan karena merawat Elara, melihatmu membuatku merasa kuat.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Hari itu, rumah mereka kedatangan tamu: ibu Adrian dan bibinya yang ingin melihat Elara. Adrian segera berdiri, menata posisi duduk mereka, memastikan semuanya rapi. Callista menahan senyum, menatap Adrian yang terlih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status