Amelie membalikkan badan, matanya kini menatap Adrian dengan kemarahan yang tak lagi ia tahan.
“Nyewa perempuan? Serius kamu ngomong kayak gitu?” suara Amelie meninggi. “Cuma karena aku gak mau melayani kamu malam ini, kamu langsung bawa-bawa perempuan lain?” Adrian menghela napas kasar, suaranya bergetar menahan emosi. “Ini bukan cuma soal seks! Bukan juga soal malam ini! Tapi, ini soal gimana kamu menghargai dan mengurus suamimu!” Amelie mengernyit. “Aku kerja, aku juga sudah mengurus rumah tangga, aku …” “Urus rumah tangga?” potong Adrian cepat, lalu tertawa pahit. “Kapan kamu terakhir kali masak buat aku, Amelie? Bukan pesan katering atau beli online. Masak pakai tanganmu sendiri. Kapan?” Amelie terdiam, matanya menatap Adrian dengan kesal, tetapi tidak bisa membalas apapun. “Kapan terakhir kamu tanya aku capek atau nggak? Aku sakit aja kamu gak peduli. Kamu pulang, masuk kamar, langsung tidur. Paginya kamu dandan, kerja, arisan, jalan-jalan. Seolah-olah aku ini cuma penghasil uang dan dekorasi di pernikahanmu,” kata Adrian lagi. Emosinya terasa semakin memuncak. “Aku juga capek, Adrian!” suara Amelie mulai pecah. “Kamu pikir jadi aku itu gampang?! Aku kerja, aku harus jaga citra, aku...” “Tapi aku suami kamu, Amelie!” potong Adrian, nadanya keras. “Aku bukan penonton dalam hidup kamu. Aku pasangan kamu, tapi kamu perlakukan aku kayak figuran yang nggak penting. Bahkan ngobrol aja sekarang harus aku duluan yang mulai, harus aku duluan yang peka!” Amelie menunduk, rahangnya mengeras. “Aku bukan minta banyak,” lanjut Adrian, suaranya mulai menurun, tapi dingin. “Aku cuma pengen diperlakukan sebagai suami. Dihargai, dirawat, dianggap ada. Tapi kayaknya kamu udah terlalu sibuk hidup di dunia kamu sendiri.” “Cukup!” seru Amelie. “Aku capek, Adrian!” Amelie langsung melangkah ke arah kamar, meninggalkan Adrian yang masih dipenuhi emosi. Adrian masih berdiri di ruang tamu. Punggungnya bersandar di dinding, napasnya berat. Matanya menatap kosong ke arah kamar yang baru saja ditinggalkan Amelie. Beberapa detik kemudian, ia melangkah ke dapur. Menuangkan air ke gelas. Tapi tangan kirinya justru memijit pelipis yang berdenyut. "Ngomong pun sekarang susahnya setengah mati," gumamnya pelan. Ia menenggak air itu sampai habis. Hambar. Sunyi. Rumah sebesar ini... tapi rasanya seperti tak ada yang tinggal di dalamnya. Ia membuka laptop, mencoba mengalihkan pikiran ke data riset. Tapi hanya menatap layar kosong. Lalu... yang muncul justru Callista. Pikirannya malah kembali pada kejadian kemarin. Ciuman yang tak direncanakan. Tapi terlalu lama untuk dibilang sekadar khilaf. Hatinya berat. Ada rasa bersalah... tapi juga ada sesuatu yang tak bisa ia tolak. ** Keesokan harinya di kampus. Langkah kaki mahasiswa terdengar di lorong fakultas. Tapi tidak satu pun yang menyentuh perhatian Callista. Ia berdiri di depan ruang dosen. Map putih di tangan. Jari-jarinya menggenggam erat, seperti berusaha meredam gemetar yang tak kunjung reda sejak pagi. Satu tarikan napas... lalu ia angkat tangan. “Masuk,” terdengar suara dari dalam. Callista membuka pintu. Adrian duduk di balik meja. Kemejanya digulung hingga siku, tanpa jas seperti biasanya. Tampak lebih santai. Tapi wajahnya serius. “Selamat pagi, Pak,” ucap Callista hati-hati. “Pagi,” jawab Adrian singkat. Pandangannya menatap sebentar, lalu mengangguk. “Ada yang perlu didiskusikan?” “Saya bawa revisi draf kemarin,” Callista menyerahkan map. Adrian menerimanya. Membukanya. Beberapa detik, hanya suara kertas di balik yang terdengar. “Bagian ini...” Adrian menunjuk halaman. “Kamu udah bandingkan dengan data dari jurnal yang saya kasih minggu lalu?” “Sudah, Pak. Tapi hasilnya beda dari yang sebelumnya. Jadi saya agak ragu,” jawab Callista. “Kamu pakai pendekatan statistik yang berbeda. Lihat sini.” Adrian berdiri. Membawa map ke sisi Callista. Tangan kirinya menunjuk langsung ke margin halaman. Bahunya hampir menyentuh gadis itu. Callista bisa merasakan napas Adrian yang berada cukup dekat dengannya. Dan tiba-tiba, tubuhnya menegang. Sekilas, bayangan malam itu melintas di kepalanya. Sentuhan tangan Adrian di kulitnya, ciuman yang terlalu panjang, terlalu dalam. Jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan karena takut, tapi karena tidak tahu bagaimana harus bersikap. Haruskah Callista menarik diri? Atau justru diam dan berpura-pura tak terjadi apa-apa? “Kalau kita pakai metode ini, hasilnya lebih akurat untuk tren data jangka panjang,” jelas Adrian. Callista mengangguk pelan. Tapi tatapannya tidak lagi ke angka-angka. Adrian sadar. Ia segera mundur, kembali ke kursinya. “Maaf,” ucap Adrian cepat. Callista menggeleng kecil lalu menunduk, namun tak mampu menyembunyikan detak di dadanya yang kacau. Ia tidak marah. Tapi juga tidak tenang. Yang ada hanya perasaan menggantung antara logika dan sesuatu yang lebih dalam dari itu. Perasaan yang belum sempat ia pahami. Sementara itu, ada kegelisahan samar di hati Adrian. Ia terus menatap Callista yang masih menunduk, lalu menarik napas panjang dan berkata pelan, “Saya akan bicarakan ke pihak fakultas. Soal status kamu supaya jadi asisten riset resmi.” Callista mendongak. Terkejut. “Serius, Pak?” Adrian mengangguk. “Kamu kerja keras. Dan kamu butuh dukungan. Ini cara paling masuk akal.” Mata Callista berkaca. Dadanya sesak oleh rasa syukur yang sulit diluapkan. Dengan ini, jelas ia bisa mendapat sedikit penghasilan juga tetap melanjutkan kuliahnya. Tapi lebih dari itu, ada rasa dilihat. Dianggap mampu. Dan itu menohok sisi dirinya yang selama ini merasa tak cukup untuk siapa pun. “Terima kasih, Pak. Saya nggak tahu harus bilang apa…” “Jangan bilang apa-apa,” potong Adrian sambil tersenyum tipis. “Cukup lanjutkan kuliahmu dengan baik.” Callista mengangguk. “Baik, Pak.” Pandangan mereka sempat bertemu. Ada banyak hal yang tidak terucap di sana. Tapi tak satu pun dari mereka cukup berani untuk menyentuhnya. “Kalau tidak ada yang perlu didiskusikan lagi, kamu bisa kembali ke kelas,” kata Adrian akhirnya memecah keheningan sesaat tersebut. Callista mengangguk, tetapi masih diam di tempat. Tangannya meremas pegangan map. Ada desakan dalam dadanya yang tak bisa lagi ia abaikan. “Pak, sebenarnya… saya mau bertanya satu hal.” Adrian mendongak. “Ada apa?” Callista menunduk sebentar, menarik napas yang berat. Bibirnya nyaris bergetar ketika akhirnya ia berkata: “Kemarin malam… kenapa bisa terjadi?” Suasana ruangan seketika membeku. Adrian menutup map perlahan. “Kamu marah?” Callista menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, suaranya terdengar sedikit pecah. Karena sekali lagi, setelah menjadi lebih dekat dengan Adrian, kejadian semalam adalah yang pertama kali terjadi! “Saya nggak tahu. Saya bingung.” Callista menggigit bibir, lalu melanjutkan, “Saya nggak tahu harus gimana bersikap di depan Bapak. Harusnya saya marah, atau merasa bersalah… tapi justru yang paling mengganggu saya … saya tidak bisa berhenti mengingatnya.” Adrian mengusap tengkuknya gugup. “Saya tahu ini salah. Kita dosen dan mahasiswa. Saya juga tahu saya harus fokus ke kuliah. Tapi... malam itu, saya merasa seperti bukan orang yang harus terus-menerus bertahan. Saya merasa dilihat... disentuh... dihargai. Dan itu menakutkan.” Air matanya nyaris jatuh, tapi Callista cepat mengalihkan pandang. “Saya takut. Tapi saya juga butuh jawaban. Saya butuh tahu, buat Bapak... itu cuma kesalahan sesaat atau… sesuatu yang Bapak juga rasakan?”“Kalau benar Amelia yang kirim pesan itu, berarti dia udah siap hadapi kita langsung,” kata Callista, suaranya mantap meski jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan.Adrian duduk di depannya, bahunya sedikit menegang. Tatapan tajam pria itu menempel pada amplop kosong yang tergeletak di meja. “Dia nggak akan pernah kirim pesan sejelas ini tanpa tujuan. Pertemuan itu bukan undangan, tapi jebakan.”Callista mencondongkan tubuh. “Dan kamu tetap mau datang?”“Ya,” jawab Adrian tanpa ragu. “Tapi kita yang tentuin caranya, bukan dia.”Ada hening yang menggantung di antara mereka, seolah setiap detik mengandung kemungkinan yang bisa mengubah arah semuanya. Callista tahu, Adrian bukan tipe orang yang main-main dengan keputusan seperti ini. Jika ia sudah bilang akan datang, berarti pria itu sudah siap menanggung semua risikonya.“Aku ikut,” kata Callista tegas.Adrian menoleh cepat, matanya sedikit menyipit. “Aku nggak mau kamu jadi
“Aku masih nggak percaya kalau kita benar-benar ada di titik ini,” ucap Callista pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk Adrian. Adrian menatapnya, lalu menyentuh pipi gadis itu dengan lembut. “Kita ada di sini bukan karena kebetulan. Kita ada di sini karena kita mutusin buat nggak tunduk.” Callista menahan tatapannya, mencoba menyerap keyakinan yang selalu dipancarkan pria itu. Ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara—datar tapi penuh kepastian—yang membuatnya merasa mereka selalu punya peluang, bahkan ketika jalan tampak buntu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu, langkah mereka berikutnya akan membawa konsekuensi yang tidak bisa lagi ditarik kembali. “Aku kepikiran satu hal,” ucap Callista setelah hening cukup lama. “Kalau Amelia udah siapin semua ini dari awal, berarti dia juga udah prediksi langkah-langkah kita. Kita nggak bisa main normal. Kita harus bikin dia salah baca kita.”
Napas Callista mulai stabil, tapi tubuhnya masih diselimuti sisa hangat dari pelukan Adrian. Ia tidak bergerak, hanya membiarkan kepalanya tetap di dada pria itu. Suara detak jantung Adrian yang tenang menjadi pengingat bahwa di sini, ia aman.Namun di balik rasa aman itu, pikirannya tetap berjalan. Perang belum selesai. Mereka hanya mengambil jeda—dan jeda ini akan segera berakhir.“Aku nggak mau cuma bertahan, Adrian,” suaranya pelan tapi tegas. “Kita harus mulai nyerang.”Adrian membuka mata, menatap langit-langit sebentar sebelum menurunkan pandangan ke Callista. “Aku tahu. Dan aku udah siapin beberapa langkah. Tapi aku mau kamu dengar semuanya sebelum kita mulai.”Callista mengangkat wajah, mata mereka bertemu. “Oke. Katakan.”Adrian duduk, menarik Callista untuk duduk bersandar di pahanya. Tangannya masih memeluk pinggang gadis itu, memastikan kedekatan itu tetap terjaga. “Pertama, kita manfaatin jaringan yang kita punya di luar med
Begitu pintu baja itu kembali terkunci, suasana ruangan seperti tertutup rapat dari dunia luar. Tidak ada lagi suara mesin mobil, teriakan, atau ketukan mengancam. Hanya ada napas mereka berdua—masih sedikit berat karena ketegangan yang barusan terjadi.Callista berdiri mematung, pandangannya tertuju pada meja yang dipenuhi map. Tapi tubuhnya tidak lagi tegang seperti tadi. Kini, ada rasa lega bercampur adrenalin yang belum sepenuhnya reda.Adrian berjalan mendekat perlahan. “Mereka nggak akan balik malam ini,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Kita aman… untuk sekarang.”Callista menoleh, dan baru saat itu menyadari betapa dekatnya Adrian berdiri. Cahaya lampu membuat rahang pria itu terlihat tegas, matanya masih menyimpan sisa amarah sekaligus ketenangan yang ia ciptakan untuk melindunginya.“Aku nggak tahu kalau aman itu rasanya kayak gini,” gumam Callista.“Kayak gimana?” tanya Adrian sambil mendekatkan wajahnya.
Ketukan keras menghantam pintu depan, tidak seperti ketukan normal yang mereka kenal. Callista yang sedang merapikan map di meja langsung menegakkan badan. Adrian, yang berdiri di dekat jendela, menoleh cepat.“Jangan buka dulu,” katanya singkat.Namun ketukan itu datang lagi, lebih keras, disertai suara seseorang dari luar. “Adrian! Gue tahu lo di dalam! Buka pintunya!”Callista mengenali suara itu—bukan Amelia, tapi salah satu orang kepercayaannya. Lelaki berperawakan besar, bersuara kasar, sering terlihat mendampingi Amelia di acara-acara penting.Adrian melirik Callista, memberi isyarat untuk menjauh dari pintu. Ia sendiri berjalan mendekat, tapi tidak langsung membuka. “Apa maumu?” teriaknya dari balik pintu.“Gue cuma mau ngobrol,” balas suara itu, nada suaranya jelas menyimpan ancaman. “Ngobrol soal orang yang lo temuin tadi.”Callista merasakan darahnya berdesir. Mereka sudah tahu.Adrian tetap tenang. “Kalau mau
Suara pintu pagar otomatis tertutup pelan terdengar seperti gema pendek di telinga Callista. Ia berdiri di dekat jendela rumah kedua Adrian, memandangi halaman yang sengaja dibiarkan remang. Mobil hitam berhenti tepat di depan, lampunya padam begitu mesin dimatikan. Adrian berdiri di belakangnya, tubuhnya tegak, bahunya tegang. “Itu dia?” tanyanya pelan. Callista hanya mengangguk. Napasnya sedikit berat. Meski sudah berkali-kali berhadapan dengan situasi genting, kali ini terasa berbeda—karena orang yang akan datang membawa potongan kunci untuk menghancurkan Amelia sepenuhnya. Ketukan pintu tiga kali, cepat dan berirama. Adrian berjalan membukanya, dan di ambang pintu berdiri seorang pria berusia pertengahan empat puluhan. Wajahnya lelah, matanya tajam tapi gelisah, dan ia menggenggam tas selempang yang tampak berat. “Kalian Adrian dan Callista?” suaranya rendah, seperti takut dinding ikut mendengar. “Masuk,”