Pertanyaan itu akhirnya mengalir keluar seperti aliran yang tak bisa ditahan lagi. Callista merasa dadanya sesak. Udara di ruangan itu seperti mengunci pernapasannya sendiri.
Callista tidak sedang menuntut apa pun. Hanya ingin tahu apakah ia satu-satunya yang hanyut dalam badai perasaan itu? Adrian bersandar perlahan ke sandaran kursi. Matanya tak lepas dari wajah Callista yang kini menunduk, jemarinya saling meremas di atas pangkuan. “Kamu gak usah takut,” kata Adrian akhirnya, pelan namun mantap. Callista tetap menunduk. Suara itu membuat hatinya bergetar. Ada ketenangan di sana, tapi juga ketidakpastian. Ia menggeleng pelan. “Tapi… istri Bapak?” Selama ini, Adrian memang cukup tertutup soal kehidupan pribadinya. Tidak pernah membahas apa pun tentang rumah tangga. Tapi bukan berarti gosip tak pernah terdengar bahwa ia sudah menikah. Adrian tak langsung menjawab. Sekilas, sorot matanya meredup. Lalu ia tersenyum tipis. Sebuah senyum yang terasa lebih miris daripada menenangkan. Istri? Pernikahannya saja, dalam hatinya, sudah lama mati. Yang tersisa hanya status hukum yang menggantung, dan rumah kosong yang tak lagi dihuni perasaan. Adrian menggeleng pelan. “Gak usah khawatir soal itu.” Callista mengernyit. “Gak usah khawatir?” Nada suaranya sedikit naik. Ia menatap Adrian dengan tatapan tak percaya. “Apa Bapak gak sadar apa yang sedang kita lakukan ini? Saya ini mahasiswi Bapak. Dan Bapak… sudah beristri. Saya gak ingin jadi perempuan yang menghancurkan hidup orang lain. Niat saya hanya membalas kebaikan Bapak kepada saya…” Suara Callista mulai pecah. Ada ketegasan di balik gentarnya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Tapi hatinya benar-benar kalut. Ia ingin lari dari situasi ini, tapi di saat yang sama, bagian dirinya yang lain… tetap ingin bertahan. “Saya tahu,” jawab Adrian, masih dengan suara tenangnya. “Saya yang akan urus semua kalau ada masalah. Kamu gak usah tanggung apa-apa.” Jawaban itu malah membuat Callista semakin terdiam. Di satu sisi, ada rasa ingin percaya. Tapi di sisi lain, itu justru menambah kabut di pikirannya. Apa maksudnya ‘urus semua’? Apa semua ini hanya sesaat untuk Adrian? Apa benar ia dianggap penting, atau hanya bagian dari pelarian yang terlalu jauh? Kepalanya terlalu penuh. Dadanya terlalu sesak. Semua ini terlalu cepat dan terlalu dalam. Dan Callista merasa dirinya seperti hanyut dalam pusaran yang tidak ia mengerti. Beberapa saat, suasana kembali hening. Dan saat Callista sadar bahwa tak ada lagi yang bisa ia katakan tanpa menangis, ia memutuskan untuk pamit. “Saya permisi,” kata Callista pelan. Suaranya nyaris hilang. Adrian hanya mengangguk. Tapi matanya masih mengikuti Callista yang melangkah menuju pintu. “Besok sore jangan lupa ke ruang seminar,” ucap Adrian, suaranya datar namun terdengar menahan sesuatu. “Kita finalisasi hasil riset.” Callista tak menoleh. Ia hanya mengangguk sekali, lalu melangkah pergi—membawa kegelisahan yang tak tahu harus ia letakkan di mana. ** Siang itu, Adrian harus mengajar di kelas Callista. Begitu memasuki ruang kelas, pandangannya langsung tertuju pada sosok gadis itu yang duduk tepat di depan meja dosen. Callista tampak sibuk dengan buku dan beberapa lembar kertas, seolah begitu fokus, tapi Adrian tahu, itu bukan karena semangat akademis semata. Itu semacam pelarian. Pelarian dari percakapan mereka pagi tadi. Percakapan yang mengguncang keduanya lebih dalam dari yang mau mereka akui. “Siang. Hari ini kita melanjutkan materi minggu lalu,” ucap Adrian, berusaha terdengar santai. Callista sontak menegakkan kepala. Untuk sesaat, mata mereka bertemu dan hanya dalam sekilas itu, Adrian melihat sisa-sisa emosi yang tadi belum selesai. Bingung, canggung, dan luka kecil yang belum tahu dari mana datangnya. Callista buru-buru memalingkan wajahnya. Ia menunduk dalam-dalam ke catatan, mencoba menyibukkan diri, padahal dalam dadanya, gemuruh itu kembali bergelora. “Hari ini kita bahas analisis multivariat,” lanjut Adrian, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. “Siapa yang masih ingat variabel independen kita minggu lalu?” Seisi kelas diam. Adrian melirik Callista. “Callista?” Callista sedikit tersentak, tapi langsung menjawab, “Um… variabelnya adalah intensitas konsumsi dan pengeluaran bulanan.” Adrian mengangguk. “Bagus. Nah, kita akan uji keterkaitannya dengan variabel dependen berupa perilaku menabung.” Ia mulai menulis di papan tulis, memberi penjelasan lebih lanjut. Tapi dari sudut matanya, ia melihat Callista kembali menunduk. Tampak tenang… tapi Adrian tahu itu bukan ketenangan sebenarnya. Itu cara seseorang bertahan dengan menyibukkan diri agar tidak perlu merasakan terlalu banyak. “Kalau hasil uji F signifikan, tapi salah satu uji T-nya tidak, apa maknanya?” tanya Aadrian kemudian. Callista langsung menjawab, nyaris otomatis, “Model secara keseluruhan berpengaruh, tapi tidak semua variabel independen berkontribusi signifikan terhadap dependen.” Seorang mahasiswa di belakang nyeletuk, “Wah, udah kayak asistennya Pak Adrian, Bu Callista.” Beberapa mahasiswa tertawa. Callista menoleh cepat ke arah suara itu, wajahnya memerah. “Bukan… cuma kebetulan lagi paham aja.” Adrian ikut tersenyum tipis, tapi hatinya menghangat dan terasa perih sekaligus. Kalimat ringan itu memang candaan… tapi juga kenyataan yang tak bisa sepenuhnya ia tolak. Callista bukan sekadar mahasiswanya sekarang. Dan hubungan mereka sudah melewati batas yang tak bisa dikembalikan begitu saja. Kelas berakhir sejam kemudian. Callista membereskan bukunya lebih cepat dari biasanya. Gerak-geriknya tampak terburu-buru, seolah ingin keluar sebelum ada momen canggung lagi. Ia bahkan tidak menatap Adrian saat melewati meja dosen. Adrian hanya memandangi punggungnya dalam diam. Bukan karena tidak ingin menahan… tapi karena ia tahu, satu kata saja mungkin akan meruntuhkan pertahanan yang mereka bangun setengah hati sejak pagi tadi. Yang tersisa hanyalah keheningan, dan denting jam dinding yang entah kenapa terdengar lebih keras dari biasanya. Adrian tetap duduk di sana cukup lama. Menatap papan tulis yang setengah penuh dengan catatan materi. Tapi pikirannya tidak di situ. Pikirannya tertinggal di meja depan. Di tempat Callista duduk. Di tempat mata mereka sempat saling menghindar. Perasaan itu… Adrian menghela napas pelan. Seseorang dari barisan belakang sempat melempar komentar sambil lalu: “Pak, saya doain aja deh. Soalnya kayaknya yang duduk depan tuh udah tahu semua isi kepala Bapak.” Adrian tersenyum kecil saat mengingatnya. Tapi senyum itu cepat hilang, tergantikan oleh rasa yang lebih berat. Bukan karena komentar itu salah, tapi karena terlalu jujur. Dan menyadarkan betapa rapuh batas profesional yang selama ini mereka jaga. Atau… pura-pura dijaga. Sementara itu, Callista berjalan cepat menuju tangga fakultas. Langkahnya panjang-panjang, seolah ingin lari dari sesuatu yang tak bisa ia sebut namanya. Tapi yang paling ingin ia hindari justru ada di dalam dirinya sendiri. Dadanya masih terasa sesak. Sepanjang kelas tadi, ia mencoba fokus. Menunduk. Menulis. Menjawab seperti biasa. Tapi ia tahu, tatapan Adrian yang sesekali menyentuhnya tak bisa ia abaikan. Sama seperti perasaan yang makin hari… makin sulit ia kendalikan. Ia takut. Takut akan keterikatan yang tak seharusnya. Takut pada dunia yang bisa menjatuhkannya hanya karena satu kesalahan. Namun, yang lebih menakutkan adalah betapa ia membutuhkan semua bantuan Adrian. Dan sekali lagi, juga bukan soal sentuhan. Namun kehadiran, rasa dilihat, rasa dihargai. Dan satu senyum tenang dari pria itu mampu meruntuhkan semua logika yang selama ini ia bangun rapuh-rapuh demi bertahan hidup. Callista berhenti di tangga paling atas, menatap halaman kampus yang ramai. Tapi matanya kosong. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Adrian. [Kalau kamu masih bingung soal semalam, setelah finalisasi data, kita selesaikan semuanya.]Rumah kecil mereka dipenuhi suara riang yang melompat dari satu sudut ke sudut lain. Elara, gadis mungil dengan senyum lebar, sibuk menumpuk balok kayu, menjatuhkannya, lalu tertawa sendiri saat menatap hasil karyanya yang roboh lagi. Adrian duduk di sofa, matanya mengikuti setiap gerakan anaknya, setengah cemas, setengah kagum.Callista berdiri di dapur, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat dua orang yang paling dicintainya. “Kalian berdua terlalu lucu,” ucapnya sambil mengangkat tangan, menyiapkan cangkir susu hangat untuk Elara.Elara menoleh. “Ibu… lihat! Aku bisa buat menara tinggi!” katanya dengan mata berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, memeriksa menara balok yang miring. “Hati-hati, nak… jangan sampai roboh sebelum selesai.”Elara tersenyum nakal, sengaja menjatuhkan beberapa balok dan tertawa lepas. “Ayah… menara ini lebih seru kalau roboh!”Callista tertawa, menatap Adrian. “Kau lihat? Itu cara dia membuat hari lebih c
Ruang gereja dipenuhi bunga putih dan lilin yang menyala lembut. Suasana hangat menyelimuti setiap sudut, dan musik lembut mengalun di udara. Callista berdiri di depan altar, mengenakan gaun pernikahan yang sederhana tapi elegan, memantulkan cahaya lampu dengan anggun. Di sampingnya, Elara memegang buket kecil, matanya bersinar penuh penasaran dan bahagia.Adrian berdiri di altar, jas hitam yang sempurna menyesuaikan postur tegapnya. Matanya terus menatap Callista, sorotnya lembut tapi penuh tekad. Seluruh perjalanan mereka—dari rahasia dan skandal, kesulitan hukum, hingga masa-masa penuh ketegangan—berakhir di momen ini.Ketika musik berhenti, Adrian melangkah maju dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Setiap langkahnya mantap, namun di dalamnya ada getaran emosional yang hanya bisa dirasakan orang yang jatuh cinta sepenuhnya. Callista menunduk sedikit, hatinya berdebar.“Callista…,” Adrian memulai, suaranya dalam dan hangat. “Setiap detik bersamamu
Callista sedang duduk di sofa, Elara di pangkuannya, sementara Adrian duduk di sebelah, memperhatikan dengan sorot mata lembut tapi protektif. Suara tawa kecil Elara mengisi ruang tamu, membuat semua kekhawatiran lenyap sejenak.“Kau lihat, Adrian? Dia mulai tersenyum saat melihat mainannya sendiri,” ucap Callista, matanya berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum tipis, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Kau aman. Kau bisa mencoba apa pun.”Elara menggerakkan tangannya mungil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Tapi aku harus mengakui… aku senang melihatmu begitu peduli.”Adrian tersenyum, mengecup pipi Callista singkat. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak.”**Pagi itu, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, mendapati tetangga m
Callista duduk di sofa dengan Elara di pangkuannya, sementara Adrian menata mainan di lantai. Matanya terus mengawasi bayi kecil mereka, sorotnya lembut tapi protektif.“Adrian… lihat dia mencoba meraih mainan itu,” ucap Callista sambil tersenyum lembut. “Dia begitu cepat belajar.”Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Lihat, nak… ayah di sini. Kau bisa melakukan apa saja. Ayah akan selalu ada untukmu.”Elara menggerakkan tangannya kecil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Aku yakin dia bisa belajar sendiri, tapi kau membuat segalanya lebih aman.”Adrian tersenyum tipis, mengecup pipi Callista. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak untuk membiarkan sesuatu terjadi.”**Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, men
Suara tangisan kecil Elara menggema di ruang tamu. Callista buru-buru bangkit dari sofa, menggendong bayi mereka dengan lembut. Adrian yang sedang menyusun buku di rak segera berdiri, matanya tajam tapi lembut menatap mereka.“Ada apa, Callista? Dia rewel?” Adrian mencondongkan tubuh, mencoba mengambil Elara.Callista menggeleng, tersenyum lelah. “Hanya sedikit lapar. Aku sudah menyiapkan susu, tapi aku rasa dia ingin ayahnya saja.”Adrian tersenyum, menunduk dan membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Elara menggerakkan tangan mungilnya seolah mengenal suara ayahnya.Callista menatap Adrian, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Kau terlalu protektif. Kau tahu, aku juga bisa menenangkannya.”Adrian menepuk bahu Callista, senyum nakal menghiasi wajahnya. “Aku tahu… tapi aku tetap ingin memastikan tidak ada yang salah. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengganggu kalian b
Suara tawa Elara kembali memenuhi rumah kecil mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan Adrian yang sibuk menata perlengkapan bayi di lemari. Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah selalu mengawasi kalian. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” ucap Adrian lembut, sorot matanya penuh kasih sayang.Callista menatap Adrian, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu ada di sini. Bahkan saat aku kelelahan karena merawat Elara, melihatmu membuatku merasa kuat.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Hari itu, rumah mereka kedatangan tamu: ibu Adrian dan bibinya yang ingin melihat Elara. Adrian segera berdiri, menata posisi duduk mereka, memastikan semuanya rapi. Callista menahan senyum, menatap Adrian yang terlih