“Shhh … Pak Adrian… ini masih di area kampus.”
Suara Callista lirih, bergetar seperti bisikan yang tak ingin terdengar siapa pun, namun cukup tajam untuk menggantung di udara sunyi ruang dosen yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu meja. Tubuhnya terjepit di antara lemari arsip dan meja kerja. Adrian berdiri terlalu dekat, terlalu dalam—bukan sebagai dosen, tapi sebagai pria yang sudah kehilangan pegangan. Napas mereka memburu, saling bertubrukan dalam jarak yang nyaris tak menyisakan ruang untuk waras. “Memangnya kenapa?” Suara Adrian serak, rendah. “Semua orang sudah pulang.” Tatapan matanya mengunci Callista. Gadis itu menunduk, tapi tubuhnya tak menjauh. Wajah yang biasanya tenang kini penuh keraguan, ketakutan, dan yang tak bisa ia dustai, adalah kerinduan. Adrian menunduk perlahan. Bibirnya menyentuh milik Callista dengan sedikit ragu, mencari celah dalam hati gadis itu. Namun, yang ia temukan adalah jawaban. Ciuman itu berubah. Dari ragu menjadi haus. Dari pelan menjadi deras. Seolah mereka berdua menyimpan lautan luka yang akhirnya tumpah melalui sentuhan itu. Tangan Adrian meremas pinggang Callista, menarik tubuhnya hingga tak menyisakan jarak. Callista membalas pelukannya, genggamannya pada bahu Adrian begitu kuat seolah jika ia melepaskan, ia akan kembali tenggelam dalam dunia yang tak memberinya ruang untuk bernapas. Mereka bergeser mundur, hingga punggung Callista menabrak meja kerja. Adrian mengecup lehernya, tangannya menyusuri punggung gadis itu yang mulai bergetar, bukan karena takut, tapi karena terlalu lama merasa hampa. “Pak…” bisik Callista, nyaris tak terdengar. Tapi kali ini bukan untuk menghentikan. Bukan juga untuk menegur. Itu hanya bisikan yang lemah, ragu, tapi juga terasa jujur. Semuanya berawal beberapa bulan lalu. Saat beasiswa Callista tiba-tiba dicabut tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. Saat masa depannya nyaris lenyap karena ancaman DO, dan saat dunia seolah membebaninya lebih dari yang bisa ia tanggung. Ayahnya telah lama tiada, dan ibunya divonis mengidap kanker serviks. Callista tak punya siapa-siapa, tak punya pekerjaan untuk membayar semua itu. Kemudian, Adrian hadir seperti jawaban—awalnya. Ia adalah dosen muda yang baik, peduli, dan mau memberikan jalan untuk Callista bertahan. Ia menciptakan celah agar Callista tetap bisa kuliah dengan menjadikannya sebagai asisten penelitiannya juga membantunya bicara dengan pihak kampus, bahkan ia menyisipkan uang makan melalui proyek asisten yang tampak resmi. Namun, semua kebaikan itu perlahan berubah bentuk. Menjadi candu, menjadi keterikatan, dan mungkin menjadi perasaan. Dan kini, di ruang kerja yang dingin dan penuh tekanan, keduanya terjebak dalam pusaran yang tak lagi bisa dibendung. Ciuman mereka terlepas. Tatapan mereka bersirobok dalam sunyi. Tubuh mereka berkeringat meski AC menyala penuh. “Maaf,” ujar Adrian akhirnya. Suaranya pelan, hampir tak terdengar, tapi berat. Ia melangkah mundur dan menunduk seolah menyadari apa yang baru saja ia perbuat. Callista hanya diam. Matanya basah, namun bukan karena menangis, melainkan karena terlalu banyak perasaan yang tak bisa ia salurkan. Selama ini, ini adalah kali pertama mereka melakukan hal sejauh ini. Callista menarik napas, lalu pelan-pelan merapikan kancing kemejanya. “Saya pulang duluan,” ucapnya. Suaranya nyaris patah. Tak ada yang menahan. Tak ada yang bicara. Dan ruangan itu tertinggal bersama bau kopi basi… dan dua orang yang tahu, malam itu mereka sudah terlalu dekat dengan jurang. Callista berjalan cepat keluar gedung. Di setiap langkahnya, ia ingin menahan air mata. “Kenapa semua harus serumit ini?” batinnya. Namun ia tahu jawabannya. Karena hidup tak pernah memberi pilihan mudah bagi orang yang hanya ingin bertahan. ** Sementara itu, di sebuah rumah mewah bergaya klasik… Adrian membuka pintu rumah dengan gerakan malas. Gerimis tipis menyelimuti jaketnya, tapi ia bahkan tak peduli. Begitu masuk, aroma parfum mahal langsung menyeruak tajam, menusuk, bercampur dengan sisa alkohol ringan. Lampu menyala, tapi rumah terasa kosong, dingin, seperti sesuatu yang telah lama mati. "Amelie?" panggilnya, suara parau. Dari arah tangga, suara langkah hak tinggi terdengar. Lalu muncullah Amelie, masih dengan gaun pesta berbelahan tinggi, kalung mutiara menggantung di leher. Lipstiknya memudar, tapi senyumnya masih angkuh. "Baru pulang? Dari mana?" tanya Adrian datar. “Dari arisan,” jawab Amelie sambil meletakkan clutch bermerek. “Ngobrol-ngobrol sama teman, sekalian wine tasting.” Adrian mengangguk kecil. Ia memandangi meja makan kosong. Rumah berantakan. Tak ada makanan. Ia mendekat ke arah tangga. Pandangannya tertuju ke punggung wanita itu—sosok yang dulu ia kagumi. Cantik. Cerdas. Tapi kini terasa asing. “Mel…” bisiknya, pelan, penuh permohonan. “Temani aku malam ini, ya?” Amelie berhenti sejenak. Tapi tidak menoleh. Ia hanya melanjutkan menyisir rambut yang mulai kusut. Lalu, dingin, ia menyingkirkan tangan Adrian dari pinggangnya. “Adrian… aku juga capek,” katanya. Datar. Tak ada sisa kelembutan. Adrian menahan napas. Sudah terlalu sering kalimat itu ia dengar. “Capek,” ulangnya lirih, getir. “Tapi kamu selalu sempat dandan. Sempat pesta. Sempat unggah foto di I*******m. Kamu cuma capek… kalau urusannya soal aku.” Amelie menoleh, tatapannya defensif. “Aku juga punya kehidupan, Adrian.” “Tapi kamu juga punya suami,” suaranya mulai meninggi. “Dan aku bukan figuran.” Keheningan menggantung. Amelie mengalihkan pandang. “Tapi aku gak harus melayani kamu setiap malam cuma karena kamu suamiku.” Di titik itu, sabar Adrian pecah. “Jadi aku harus apa? Nyewa perempuan buat nyentuh aku? Supaya aku bisa merasa kayak laki-laki normal? Karena jelas, istriku sendiri bahkan gak mau sentuh aku, bahkan saat aku minta dengan baik!”Rumah kecil mereka dipenuhi suara riang yang melompat dari satu sudut ke sudut lain. Elara, gadis mungil dengan senyum lebar, sibuk menumpuk balok kayu, menjatuhkannya, lalu tertawa sendiri saat menatap hasil karyanya yang roboh lagi. Adrian duduk di sofa, matanya mengikuti setiap gerakan anaknya, setengah cemas, setengah kagum.Callista berdiri di dapur, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat dua orang yang paling dicintainya. “Kalian berdua terlalu lucu,” ucapnya sambil mengangkat tangan, menyiapkan cangkir susu hangat untuk Elara.Elara menoleh. “Ibu… lihat! Aku bisa buat menara tinggi!” katanya dengan mata berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, memeriksa menara balok yang miring. “Hati-hati, nak… jangan sampai roboh sebelum selesai.”Elara tersenyum nakal, sengaja menjatuhkan beberapa balok dan tertawa lepas. “Ayah… menara ini lebih seru kalau roboh!”Callista tertawa, menatap Adrian. “Kau lihat? Itu cara dia membuat hari lebih c
Ruang gereja dipenuhi bunga putih dan lilin yang menyala lembut. Suasana hangat menyelimuti setiap sudut, dan musik lembut mengalun di udara. Callista berdiri di depan altar, mengenakan gaun pernikahan yang sederhana tapi elegan, memantulkan cahaya lampu dengan anggun. Di sampingnya, Elara memegang buket kecil, matanya bersinar penuh penasaran dan bahagia.Adrian berdiri di altar, jas hitam yang sempurna menyesuaikan postur tegapnya. Matanya terus menatap Callista, sorotnya lembut tapi penuh tekad. Seluruh perjalanan mereka—dari rahasia dan skandal, kesulitan hukum, hingga masa-masa penuh ketegangan—berakhir di momen ini.Ketika musik berhenti, Adrian melangkah maju dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Setiap langkahnya mantap, namun di dalamnya ada getaran emosional yang hanya bisa dirasakan orang yang jatuh cinta sepenuhnya. Callista menunduk sedikit, hatinya berdebar.“Callista…,” Adrian memulai, suaranya dalam dan hangat. “Setiap detik bersamamu
Callista sedang duduk di sofa, Elara di pangkuannya, sementara Adrian duduk di sebelah, memperhatikan dengan sorot mata lembut tapi protektif. Suara tawa kecil Elara mengisi ruang tamu, membuat semua kekhawatiran lenyap sejenak.“Kau lihat, Adrian? Dia mulai tersenyum saat melihat mainannya sendiri,” ucap Callista, matanya berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum tipis, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Kau aman. Kau bisa mencoba apa pun.”Elara menggerakkan tangannya mungil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Tapi aku harus mengakui… aku senang melihatmu begitu peduli.”Adrian tersenyum, mengecup pipi Callista singkat. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak.”**Pagi itu, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, mendapati tetangga m
Callista duduk di sofa dengan Elara di pangkuannya, sementara Adrian menata mainan di lantai. Matanya terus mengawasi bayi kecil mereka, sorotnya lembut tapi protektif.“Adrian… lihat dia mencoba meraih mainan itu,” ucap Callista sambil tersenyum lembut. “Dia begitu cepat belajar.”Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Lihat, nak… ayah di sini. Kau bisa melakukan apa saja. Ayah akan selalu ada untukmu.”Elara menggerakkan tangannya kecil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Aku yakin dia bisa belajar sendiri, tapi kau membuat segalanya lebih aman.”Adrian tersenyum tipis, mengecup pipi Callista. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak untuk membiarkan sesuatu terjadi.”**Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, men
Suara tangisan kecil Elara menggema di ruang tamu. Callista buru-buru bangkit dari sofa, menggendong bayi mereka dengan lembut. Adrian yang sedang menyusun buku di rak segera berdiri, matanya tajam tapi lembut menatap mereka.“Ada apa, Callista? Dia rewel?” Adrian mencondongkan tubuh, mencoba mengambil Elara.Callista menggeleng, tersenyum lelah. “Hanya sedikit lapar. Aku sudah menyiapkan susu, tapi aku rasa dia ingin ayahnya saja.”Adrian tersenyum, menunduk dan membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Elara menggerakkan tangan mungilnya seolah mengenal suara ayahnya.Callista menatap Adrian, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Kau terlalu protektif. Kau tahu, aku juga bisa menenangkannya.”Adrian menepuk bahu Callista, senyum nakal menghiasi wajahnya. “Aku tahu… tapi aku tetap ingin memastikan tidak ada yang salah. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengganggu kalian b
Suara tawa Elara kembali memenuhi rumah kecil mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan Adrian yang sibuk menata perlengkapan bayi di lemari. Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah selalu mengawasi kalian. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” ucap Adrian lembut, sorot matanya penuh kasih sayang.Callista menatap Adrian, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu ada di sini. Bahkan saat aku kelelahan karena merawat Elara, melihatmu membuatku merasa kuat.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Hari itu, rumah mereka kedatangan tamu: ibu Adrian dan bibinya yang ingin melihat Elara. Adrian segera berdiri, menata posisi duduk mereka, memastikan semuanya rapi. Callista menahan senyum, menatap Adrian yang terlih