Malam itu, Adrian masih di ruang kerjanya. Lampu meja menyala redup. Berkas-berkas tabulasi Callista tergeletak rapi di samping laptop yang menyala. Namun, layar hanya menampilkan dokumen kosong.
Ia memutar lehernya pelan, mencoba menghilangkan tegang di bahu. Tapi pikirannya jauh dari angka dan grafik. Tiba-tiba pintu terbuka perlahan. Amelie muncul dengan wajah datar dan dingin. Ia masih memakai baju kerjanya yang rapi, tetapi kali ini tanpa riasan berlebihan. “Aku besok ke luar kota. Seminar kementerian. Dua hari,” kata Amelie langsung. Adrian tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Sejak kapan kamu pamit kalau akan pergi?” Namun, Amelie tidak mengindahkannya. “Aku akan panggil pembantu infal, besok—” “Gak perlu,” potong Adrian, datar. “Setiap hari juga aku mengurus diriku sendiri. Jadi, buat apa kamu repot-repot cari pembantu infal?” Amelie diam, lalu mendesah pelan. Matanya menatap Adrian yang kini berdiri penuh amarah. Tapi sorotnya tidak lagi tajam, lebih ke bosan. “Adrian,” ucap Amelie datar, “kenapa obrolan kita selalu berakhir ke hal yang sama?” Adrian mengernyit. “Semua yang aku omongin, jawaban kamu selalu menjurus ke masalah yang sama. peran istri, perasaan suami, dan semua drama emosional itu. Kamu nggak capek?” tambah Amelie dengan kesal. Adrian menatapnya tajam. “Seharusnya itu jadi pertanyaan buat kamu. Sudah dikasih tahu berkali-kali, tapi gak berubah juga. Kenapa? Apa kamu pikir pernikahan itu cuma sekadar pulang ke rumah yang sama?” “Aku gak pernah larang kamu untuk pergi, gak pernah larang kamu untuk kerja dan lanjutin mimpi kamu. Tapi, bukan berarti kamu bisa lalai sama tugas kamu sebagai istri, sementara nafkah dari aku gak pernah absen,” tambah Adrian dengan nada serius. Amelie bungkam. “Atau jangan-jangan, ada pria lain yang lebih ingin kamu hangatkan?” Adrian mengangkat satu alisnya. “Jaga bicaramu, Adrian!” sanggah Amelie tak terima. Wajahnya berubah penuh emosi, tetapi entah kenapa perubahan ekspresi itu justru terasa aneh. Dulu, matanya bisa membuat Adrian menyerah hanya dengan isyarat. Sekarang… yang tersisa hanya kehampaan. Seolah ia bicara dengan seseorang yang sudah lama tidak tinggal di tubuh itu. Adrian diam. Tapi sorot matanya tajam, seperti sedang menahan sesuatu yang sudah bertahun-tahun dikubur. “Kalau kamu marah karena aku nggak jadi istri yang ideal, ya sudah. Bilang aja,” lanjut Amelie, suaranya lebih rendah tapi getir. “Tapi jangan hina aku kayak gitu. Jangan tuduh aku yang bukan-bukan.” “Bukan-bukan?” Adrian menatap Amelie lama. “Justru aku capek karena semua yang kupikirkan tentang kamu... nyata.” Amelie menyilangkan tangan di dada, berdiri dengan dagu terangkat. “Aku ini bukan boneka. Bukan juga istri rumahan yang kerjanya nunggu suami pulang dan siap kapan pun kamu mau!” “Aku nggak minta kamu jadi boneka!” suara Adrian naik. “Tapi setidaknya jadi pasangan. Bisa ngobrol. Bisa saling nyentuh tanpa harus aku duluan yang minta.” “Karena kamu terlalu banyak nuntut!” balas Amelie keras. Keheningan menyusul. Nafas mereka saling mendesak, seperti dua pejuang yang kelelahan tapi enggan menyerah. Amelie membalikkan badan, meninggalkan Adrian begitu saja di ruang kerja. Suara langkah sepatunya menggema menuju tangga, lalu– BRAK! Pintu kamar atas tertutup keras. Adrian masih berdiri di tempat. Matanya memejam. Tangan mengepal. Tenggorokannya kering. Ia melangkah perlahan ke meja, menarik kursi dan duduk kembali di depan laptop. Tapi layar itu kosong, dan pikirannya lebih kosong lagi. Lambat-laun, pikirannya tidak lagi tentang Amelie. Tapi tentang seseorang yang tatapannya berbeda. Yang hadir bukan sebagai tuntutan, tapi sebagai kejujuran yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Callista. Gadis itu membuatnya merasa seperti manusia lagi. Bukan kepala rumah tangga, bukan dosen, bukan pria gagal. Tapi lelaki. Seseorang yang bisa dicintai... dan mencintai balik. Adrian memejamkan mata sesaat. Apa yang sudah ia lakukan? ** Callista muncul di pintu ruang seminar sore itu. Mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang bahan. Rambutnya dikuncir longgar. Ia terlihat lelah tapi rapi dan tetap menawan di mata Adrian. “Permisi, Pak.” Adrian menoleh. “Masuk. Kita mulai.” Callista duduk di kursi paling dekat proyektor. Ia mengeluarkan laptop dan mulai menjelaskan satu per satu hasil tabulasi data. Adrian menyimak presentasi Callista dengan serius, tapi sesekali matanya melirik jemari gadis itu yang lincah di atas touchpad. Presentasinya sudah masuk bagian ketiga. Suaranya tenang dan runut. Sesekali ia menengok ke layar, lalu kembali ke laptop. Gesturnya fokus, penuh tanggung jawab. Namun pikiran Adrian... mulai melantur. Bukan lagi soal data atau grafik, tapi cara Callista menyelipkan rambut ke belakang telinga. Cara ia menarik napas sebelum bicara. Atau ekspresinya saat mencari kata yang tepat. Ada ketenangan dalam diri Callista. Sesuatu yang... sudah lama hilang dari istrinya. Istri yang kini lebih banyak bicara tanpa menatap. Lebih sering menyela daripada mendengar. Yang bahkan tak tertawa lagi saat Adrian melontarkan lelucon lama mereka. Hidup serumah, tapi terasa seperti dua orang asing. "Bagaimana kalau dulu aku menikahi Callista?" Pikiran itu muncul begitu saja. Diam-diam, tapi cukup kuat untuk mengguncang hatinya. Adrian belum tahu banyak tentang Callista di luar ruang kelas. Tapi, gadis itu membawa sesuatu yang meneduhkan. Seolah paham tanpa harus bertanya. Mengisi celah dalam dirinya yang selama ini bahkan tak ia sadari benar-benar kosong. “Pak? Saya lanjut ke bagian akhir ya?” Suara Callista menyentaknya kembali ke realitas. Adrian mengangguk cepat. “Iya. Lanjut.” Tapi pikirannya belum benar-benar kembali. Bagaimana kalau... bukan istrinya yang menemaninya pulang malam ini, tapi Callista? Adrian segera menggelengkan kepalanya ketika Callista mematikan proyektor setelah slide terakhir selesai ditampilkan. Di layar laptopnya, tab-tab Excel masih terbuka, sebagian data berwarna merah sebagai penanda ketidaksesuaian yang belum sempat Callista bicarakan. Ia tampak hendak membereskan semuanya ketika suara Adrian kembali terdengar. “Callista,” panggil Adrian lirih. Gadis itu menoleh cepat. “Ya, Pak?” Adrian menatapnya beberapa detik. Ada jeda sebelum akhirnya ia membuka suara, nadanya tenang namun tegas. “Sebelum kamu pergi… seperti yang saya bilang kemarin, kita clear-kan masalah itu.” Adrian menarik napas perlahan, lalu bersandar di kursinya. “Tentang kejadian tempo hari… saya sadar, itu mungkin membuat kamu tidak nyaman.” Callista langsung menunduk. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi ia tetap diam. “Saya tidak ingin kamu merasa tertekan atau canggung setiap kali bertemu saya. Kamu mahasiswa saya, dan kamu sudah bekerja keras sejauh ini. Seharusnya, saya bisa menjaga batas,” ucap Adrian, matanya lurus memandang Callista, nada bicaranya penuh kesungguhan. Adrian tersenyum tipis. “Mulai sekarang, saya akan lebih berhati-hati. Saya tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi, dan kamu tidak perlu khawatir soal apa pun.” Callista mengangkat kepalanya perlahan, menatap pria itu. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Sebuah kelegaan kecil, tapi juga rasa aneh yang menyelinap diam-diam. Callista ingin semuanya profesional, tetap lurus… tapi mengapa saat Adrian mengatakan akan menjaga jarak, hatinya justru terasa kosong? Dalam benaknya, terjadi pergolakan yang nyaris menyakitkan. Namun, segera setelah itu, Adrian kembali berkata, “Jadi, untuk permintaan maaf saya dan rasa terima kasih saya karena kamu sudah bekerja keras membantu saya di penelitian ini. Bagaimana kalau saya traktir makan malam? Kamu tidak ada agenda lain, kan?” Callista semakin bingung, semakin tidak enak. “Tapi … sepertinya gak perlu sampai makan malam, Pak. Bapak sudah memberi upah untuk saya, itu sudah cukup buat saya.” Ucapan itu terlontar dengan sedikit ragu, takut jika akan menyinggung. Adrian menggeleng pelan, lalu berkata, “Tidak apa, anggap saja bonus.” Callista tidak langsung menjawab. Ia semakin bingung. Melihat Callista tak kunjung menjawab, Adrian mengusap tengkuknya pelan, dan kembali bersuara. “Saya tahu kamu lelah. Kepala kamu pasti penuh dengan angka, grafik, dan tabulasi. Sesekali, kita butuh istirahat yang manusiawi juga.” Hening sejenak. Lalu, akhirnya Callista mengangguk pelan. “Baik kalau begitu… terima kasih banyak, Pak.”Rumah kecil mereka dipenuhi suara riang yang melompat dari satu sudut ke sudut lain. Elara, gadis mungil dengan senyum lebar, sibuk menumpuk balok kayu, menjatuhkannya, lalu tertawa sendiri saat menatap hasil karyanya yang roboh lagi. Adrian duduk di sofa, matanya mengikuti setiap gerakan anaknya, setengah cemas, setengah kagum.Callista berdiri di dapur, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat dua orang yang paling dicintainya. “Kalian berdua terlalu lucu,” ucapnya sambil mengangkat tangan, menyiapkan cangkir susu hangat untuk Elara.Elara menoleh. “Ibu… lihat! Aku bisa buat menara tinggi!” katanya dengan mata berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, memeriksa menara balok yang miring. “Hati-hati, nak… jangan sampai roboh sebelum selesai.”Elara tersenyum nakal, sengaja menjatuhkan beberapa balok dan tertawa lepas. “Ayah… menara ini lebih seru kalau roboh!”Callista tertawa, menatap Adrian. “Kau lihat? Itu cara dia membuat hari lebih c
Ruang gereja dipenuhi bunga putih dan lilin yang menyala lembut. Suasana hangat menyelimuti setiap sudut, dan musik lembut mengalun di udara. Callista berdiri di depan altar, mengenakan gaun pernikahan yang sederhana tapi elegan, memantulkan cahaya lampu dengan anggun. Di sampingnya, Elara memegang buket kecil, matanya bersinar penuh penasaran dan bahagia.Adrian berdiri di altar, jas hitam yang sempurna menyesuaikan postur tegapnya. Matanya terus menatap Callista, sorotnya lembut tapi penuh tekad. Seluruh perjalanan mereka—dari rahasia dan skandal, kesulitan hukum, hingga masa-masa penuh ketegangan—berakhir di momen ini.Ketika musik berhenti, Adrian melangkah maju dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Setiap langkahnya mantap, namun di dalamnya ada getaran emosional yang hanya bisa dirasakan orang yang jatuh cinta sepenuhnya. Callista menunduk sedikit, hatinya berdebar.“Callista…,” Adrian memulai, suaranya dalam dan hangat. “Setiap detik bersamamu
Callista sedang duduk di sofa, Elara di pangkuannya, sementara Adrian duduk di sebelah, memperhatikan dengan sorot mata lembut tapi protektif. Suara tawa kecil Elara mengisi ruang tamu, membuat semua kekhawatiran lenyap sejenak.“Kau lihat, Adrian? Dia mulai tersenyum saat melihat mainannya sendiri,” ucap Callista, matanya berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum tipis, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Kau aman. Kau bisa mencoba apa pun.”Elara menggerakkan tangannya mungil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Tapi aku harus mengakui… aku senang melihatmu begitu peduli.”Adrian tersenyum, mengecup pipi Callista singkat. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak.”**Pagi itu, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, mendapati tetangga m
Callista duduk di sofa dengan Elara di pangkuannya, sementara Adrian menata mainan di lantai. Matanya terus mengawasi bayi kecil mereka, sorotnya lembut tapi protektif.“Adrian… lihat dia mencoba meraih mainan itu,” ucap Callista sambil tersenyum lembut. “Dia begitu cepat belajar.”Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Lihat, nak… ayah di sini. Kau bisa melakukan apa saja. Ayah akan selalu ada untukmu.”Elara menggerakkan tangannya kecil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Aku yakin dia bisa belajar sendiri, tapi kau membuat segalanya lebih aman.”Adrian tersenyum tipis, mengecup pipi Callista. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak untuk membiarkan sesuatu terjadi.”**Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, men
Suara tangisan kecil Elara menggema di ruang tamu. Callista buru-buru bangkit dari sofa, menggendong bayi mereka dengan lembut. Adrian yang sedang menyusun buku di rak segera berdiri, matanya tajam tapi lembut menatap mereka.“Ada apa, Callista? Dia rewel?” Adrian mencondongkan tubuh, mencoba mengambil Elara.Callista menggeleng, tersenyum lelah. “Hanya sedikit lapar. Aku sudah menyiapkan susu, tapi aku rasa dia ingin ayahnya saja.”Adrian tersenyum, menunduk dan membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Elara menggerakkan tangan mungilnya seolah mengenal suara ayahnya.Callista menatap Adrian, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Kau terlalu protektif. Kau tahu, aku juga bisa menenangkannya.”Adrian menepuk bahu Callista, senyum nakal menghiasi wajahnya. “Aku tahu… tapi aku tetap ingin memastikan tidak ada yang salah. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengganggu kalian b
Suara tawa Elara kembali memenuhi rumah kecil mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan Adrian yang sibuk menata perlengkapan bayi di lemari. Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah selalu mengawasi kalian. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” ucap Adrian lembut, sorot matanya penuh kasih sayang.Callista menatap Adrian, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu ada di sini. Bahkan saat aku kelelahan karena merawat Elara, melihatmu membuatku merasa kuat.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Hari itu, rumah mereka kedatangan tamu: ibu Adrian dan bibinya yang ingin melihat Elara. Adrian segera berdiri, menata posisi duduk mereka, memastikan semuanya rapi. Callista menahan senyum, menatap Adrian yang terlih