"Adikmu," jawab Arumi sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. "Tidak. Dia sedang mendapat hukuman," jawab Satria dengan dingin sembari terus memperhatikan tingkah Arumi dari belakang.Akhirnya Arumi pun manggut-manggut mendengar hal itu."Kenapa? Apa kamu ada urusan dengan Kania?" tanya Abi. "Kalau ada urusan, lebih ba—""Tidak-tidak," tukas Arumi sembari berbalik dan menatap Abi dengan ekspresi serius. "Aku hanya penasaran saja," jawabnya sembari tersenyum canggung.'Masa aku harus bilang pada dia kalau kemarin ada orang mengirim sekotak coklat besar, terus aku bilang mau tanyain ini pada Kania? Ntar aku dikira gimana … gitu lagi,' batinnya sembari mengingat kejadian kemarin, ketika tiba-tiba ada pengantar paket mengirim paket tanpa nama pada dirinya."Kamu bisa datang ke tempat Satria kalau kamu ingin bertemu dengannya," ujar Abi sembari tersenyum hangat.Sedangkan Satria yang berdiri di dekat Abi pun langsung melirik dengan ekspresi dingin pada Abi."Benarkan, Sat?
Dua jam berlalu dengan cepat. Saat ini Arumi tengah berada di warung bakso tempatnya bekerja. "Ada apa, sepertinya banyak yang kamu pikirkan?" tanya pemilik warung bakso tersebut sembari meletakkan wadah sambel di meja yang sedari tadi dilap oleh Arumi.Arumi yang memang sempat melamun pun langsung terkejut dan menoleh ke arah Pak Hamzah, bosnya yang sudah berusia hampir kepala enam itu. Pak Hamzah yang tahu dengan pasti kalau Arumi tak mendengar pertanyaannya pun, akhirnya mengulang kembali pertanyaannya. "Kamu sedang memikirkan apa? Kenapa melamun seperti itu?" 'Apa aku tadi lama ya melamunnya?' batin Arumi sembari cengengesan. "Tidak ada kok Pak, cuma sedang mikirin orang," jawab Arumi sembari kembali mengelap sisi lain meja."Pemuda yang waktu itu?" tanya Pak Hamzah sembari kembali ke bagian belakang."Bukan," jawab Arumi dengan suara yang lebih kencang, agar Pak Hamzah mendengarnya. "Saya itu penasaran, tadi pagi ada orang yang padahal sama sekali nggak pernah ngobr
Satria berjalan dengan santai mendekati Arumi dan Pak Hamzah yang saat ini sedang menatap dirinya. "Maaf, kami sudah tutup," ujar Pak Hamzah, tanpa menanggapi pertanyaan Satria sebelumnya."Baguslah kalau begitu, dia bisa segera bekerja untukku setelah ini," sahut Satria dengan ringan.Arumi memejamkan matanya. 'Tenang Ar, kamu tidak boleh terpancing emosi gara-gara dia,' batinnya mencoba untuk bersikap tenang menghadapi semuanya.Kemudian Arumi beralih menatap ke arah mangkoknya kembali dan melanjutkan makan tanpa memperdulikan keberadaan Satria.Sedangkan Satria yang melihat hal itu tentu saja merasa kesal. 'Apa dia menantangku?' batinnya sembari terus melangkah dan kemudian duduk di kursi dekat Arumi."Apa kamu sangat lapar?" tanyanya sembari memperhatikan Arumi yang makan bakso tersebut dengan lahap."Tidak," jawab Arumi di sela-sela acara makannya."Tidak? Tapi aku lihat sepertinya kamu bahkan bisa memakan mangkoknya," seloroh Satria.Kemudian Arumi dengan pelan mengangka
Sementara itu, saat ini Arumi tengah merenggangkan badannya dengan puas sembari tersenyum lebar ke arah langit cerah yang ada jauh di atasnya."Akhirnya … dengan begini dia tidak akan lagi mengganggu," ucap Arumi sembari mengepalkan tangannya dan kemudian menariknya ke bawah dengan keras. "Yes! Yes! Yes!" teriaknya di pinggir jalanan tempat ia berdiri saat ini.Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas selempangnya. Hingga ketika ia baru saja berbelok, tak sengaja dia melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di jalanan tersebut.'Kenapa dia di sini?' batin Arumi sembari mundur dan kemudian bersembunyi di dekat pagar yang ada di dekatnya. Ia kemudian mengintip dan memperhatikan gerak-gerik wanita yang sedang diawasinya itu."Dia menjual apa?" gumam Arumi ketika melihat teman sekamarnya itu sedang memberikan sebuah kotak pada laki-laki yang ada di depannya itu dengan tingkah mencurigakan.Selama beberapa menit Arumi terus m
Arumi dan Cheri pun akhirnya keluar dari kamar mereka karena Raisa terus berteriak-teriak, tanpa memberikan penjelasan apapun."Apa sih sebenarnya?" tanya Arumi pada Cheri yang saat ini berdiri di sampingnya."Lha mana aku tahu, Ar. Kita kan sama-sama baru keluar," jawab Cheri sembari menatap ke arah lain.Sesaat kemudian, Cheri tiba-tiba menggenggam tangan Arumi. "Ayo ke sana, kita lihat siapa yang mati," ucapnya dengan santai sembari menarik tangan Arumi.Arumi yang saat ini sedang berjalan di belakang Cheri pun terus memperhatikan tingkah teman sekamarnya itu. 'Apa dia ada hubungannya dengan ini?' batinnya yang merasa kalau sikap Cheri lebih tenang dari biasanya saat sedang terkejut. Setelah beberapa saat berdesak-desakan dengan para penghuni kost lainnya. Akhirnya Arumi sampai di depan pintu kamar kost tempat kejadian tersebut."Kok bisa," lirih Arumi ketika melihat tubuh perempuan tersebut menghitam di bagian wajahnya.Kemudian Arumi pun memasang telinganya untuk menden
Arumi benar-benar terkejut ketika tubuhnya ditarik oleh seseorang mundur. "Hust!" Laki-laki di belakangnya itu dengan cepat memberi tanda agar Arumi berhenti membuat suara.Arumi pun langsung menyalakan alarm di kepalanya. 'Dia ini mau apa? Apa aku teriak aja? Tapi kalau aku diusir gimana nanti?' pikirnya sambil mundur selangkah."Jangan takut," ucap laki-laki di depan Arumi tersebut.'Ya gimana nggak takut. Nggak Ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba aja ditarik kaya gini,' pikir Arumi sembari berekspresi aneh."Kamu sedang ngawasin dia kan?" tanya Choki yang ada di depan Arumi sembari menunjuk ke arah kamar yang beberapa saat lalu dimasuki oleh Cheri."Kamu juga?" tanya Arumi sembari menoleh ke arah kamar tersebut.Dan ketika Choki ingin menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba terlihat pergerakan dari kamar tersebut. Seketika mereka berdua pun bersembunyi kembali. 'Ke mana dia pergi?' pikir Arumi sembari terus mengawasi Cheri yang saat ini terlihat celingukan dan kemudian pe
Sementara itu, saat ini Arumi tengah melangkah dengan hati-hati masuk ke dalam sebuah restoran berbintang. Ia menatap ke sekeliling sembari memegangi tas kecilnya."Duh, nggak nyangka," gumam Arumi lalu menghela napas panjang. 'Jika aku tahu kalau rumah makan yang dia bilang adalah restoran, aku pasti tidak akan menerima pekerjaan ini. Jika dia menerimaku, bagaimana aku ngomong sama koki yang ada di dapur,' batinnya sembari mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan tempatnya berdiri saat ini.Setelah beberapa saat melangkah, akhirnya terlihat seorang pelayan mendekat ke arah Arumi yang masih memperhatikan sekelilingnya."Selamat pagi Nona, apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan tersebut dengan ramah sembari mengulas senyum di wajahnya."Em … itu, saya ingin bertemu dengan Pak Abi, apa beliau ada?" tanya Arumi sembari tersenyum canggung.'Pelayannya saja kelihatan cantik dan tidak main-main, lha terus masa aku yang begini di suruh masak? Sepertinya dia bercanda,'
'Kenapa wajahnya memerah? Apa yang ada di otaknya?' pikir Satria ketika melihat ekspresi janggal di wajah Arumi."Maaf, tapi pekerjaan apa itu?" tanya Arumi masih mencoba untuk mempertahankan kesopanannya."Itu adalah menjadi juru masak di salah satu cafe yang akan saya buka sebentar lagi. Bagaimana, apakah kamu tertarik?" tanya Abi sembari tersenyum hangat di wajahnya."Saya … eh, aku. Aku tentu saja akan langsung menyetujuinya. Tetapi, apa kamu tidak merasa kalau harus mengetesku dulu? Bagaimanapun juga kamu hanya pernah mencicipi kue buatanku, bukan masakanku," jawab Arumi dengan sangat hati-hati."Itu sudah cukup, karena nanti yang akan kamu buat di sana adalah berbagai jenis kue, bukan masakan."Mendengar hal itu mata Arumi pun berbinar. "Apa kamu yakin?" tanyanya.Kemudian ekspresi canggung pun muncul di wajah Abi. "Tentu saja aku yakin, aku adalah pemilik tempat itu," jawabnya dengan lurus.Spontan saja Arumi langsung memeluk Abi karena sangat senangnya. "Terima kasih Pak, teri