Share

Aku Harus Pergi

Shhht! Arumi menggunakan kemoceng andalannya untuk menepis tangan wanita yang saat ini hampir berhasil menamparnya.

"Akh!" pekik wanita tersebut sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang tentu saja terasa ngilu akibat terkena kemoceng Arumi.

"Rasakan!" teriak Nita yang saat ini sedang duduk menikmati adegan tersebut dari teras tokonya. "Ayo Ar, pukul sampek gosong. Jangan kasih ampun!" teriaknya memberi semangat.

Langsung saja Arumi tersenyum menyeringai mendengar kalimat penyemangat tersebut.

Namun, berbeda dengan Arumi yang termotivasi, wanita di depan Arumi justru terlihat kebingungan. Ia pun mundur beberapa langkah ketika Arumi masih dengan senyum menyeringainya berjalan maju selangkah demi selangkah ke arahnya.

'Cara ini emang paling ampuh,' batin Arumi yang memang selalu menggunakan cara seperti itu untuk menakuti teman-temannya yang sering membully dirinya sejak SMP, hingga akhirnya hal itu membuat anak sebayanya tak ada yang berani melawannya dan membuatnya terkenal sebagai murid paling nakal kala itu.

"Pergi sana!" teriak wanita di depan Arumi tersebut.

Lalu Arumi pun menghentikan langkahnya. "Mbak, otakmu itu kau tinggal di mana? Ini tempatku, harusnya kamu yang pergi!"

Wanita tersebut langsung terdiam sesaat dan kemudian menegakkan tubuhnya di depan Arumi.

"Ayo, aku sedang semangat berkelahi ini," tantang Arumi.

"Tidak," tukas wanita tersebut.

"Yang tidak itu apanya?"

"Aku ke sini untuk membuatmu sadar kalau menjadi pelakor itu tid—"

"Pelakor lagi," keluh Arumi. "Dengar ya Mbak Kaila ... benarkan namamu itu?"

"Ya."

"Aku ini bukan pelakor, oke?" Arumi menjeda. "Aku sudah pacaran dengan mas Nizam selama setahun dan kamu baru bertunangan dengannya tiga bulan lalu. Selama ini dia tidak pernah mengatakan tentang kamu, dan ya ... kemarin malam aku sudah melepas dia."

"Lalu kenapa dia membatalkan pernikahan kami?" tanya wanita bernama Kayla itu.

'Lha mana aku tahu,' sahut Arumi di dalam hati.

"Aku nggak tahu. Pokoknya semua itu nggak ada hubungannya denganku. Mulai saat ini kamu bisa ambil dia, aku nggak butuh laki-laki kampret itu lagi."

"Tapi—"

"Mbak, yang namanya laki-laki kalau sekali bohong itu biasanya seterusnya bakal bohong juga!" teriak Nita yang sebenarnya tak begitu jauh dari tempat Arumi dan Kayla berdiri. "Jangan-jangan calon suamimu itu juga punya perempuan lain selain Arumi." Ia mengompori.

"Perempuan lain," gumam Kayla sembari mengerutkan keningnya mendengar provokasi Nita.

"Iya, pasti ada perempuan lainnya. Lha dia saja bisa menyelingkuhi Arumi yang bersama dia selama setahun, terus dia juga bisa membatalkan pernikahanmu yang sudah menghitung hari itu. Lha, masa toh kamu nggak mikir kalau dia bisa punya perempuan lain yang jadi incerannya?"

"Apa benar?" tanya Kayla sembari kembali menatap ke arah Arumi.

Tentu saja, Arumi yang mendapat pertanyaan tersebut pun langsung tersenyum aneh. 'Dia ini tipe perempuan yang bagaimana, masa dikomporin gitu aja udah bingung,' komentarnya di dalam hati.

"Lha mana aku tahu, tanyakan saja pada dia," sahut Arumi dengan santai sembari berbalik dan melangkah meninggalkan calon istri mantan kekasihnya itu.

Beberapa saat kemudian, calon istri Nizam itu pun meninggalkan halaman toko tersebut karena Arumi dan Nita sudah masuk ke dalam toko dan seolah tak memperdulikan keberadaannya lagi.

"Sudah pergi Ar," ucap Nita setelah mengintip dari balik etalase toko.

"Bagus," sahut Arumi sembari menyenderkan punggungnya di dinding dan mendongakkan kepalanya ke atas.

"Kenapa?" tanya Nita sembari mendekati Arumi.

"Nit, tolong bantu aku," ucap Arumi dengan suara serak.

"Kenapa?"

"Bantu masukin uang ke ATM," jawabnya.

"Uang yang dari Ibukmu itu?" tanya Nita.

"Iya. Setelah itu bantu aku cari tiket ke Jakarta."

"Jakarta?" Nita terkejut.

"Iya. Aku tidak aman kalau di sini," jawab Arumi lalu menghembus napas panjang.

"Kamu ke Jakarta sama siapa? Terus mau apa?" Nita benar-benar khawatir. "Kalau kamu mau kabur sementara, kamu bisa ke tempat saudaraku nanti—"

"Aku akan ke tempat Bapakku," potong Arumi.

"Bapakmu, dia masih hidup?"

"Masih."

**

Beberapa jam berlalu. Setelah selesai bersiap dengan semua hal, akhirnya kini Arumi bersama dengan Nita duduk di terminal, menunggu kedatangan bis yang akan membawa Arumi ke Jakarta

"Kamu yakin Ar?" tanya Nita untuk yang kesekian kalinya.

"Yakin Nit. Lagi pula ini hanya sementara, kalau nanti semuanya sudah aman aku pasti kembali."

"Tapi Ar—"

"Nit, tenang saja aku pasti akan pulang dan membantu kamu bikin kue lagi," seloroh Arumi.

"Ck, bukan itunya. Kamu ah—" Kalimat Nita terhenti ketika sebuan panggilan masuk ke dalam ponselnya.

Nita pun dengan cepat mengangkat panggilan tersebut dan segera menjauh dari tempatnya dan Arumi karena area tersebut sangat ramai.

Namun, belum sempat Arumi berkomentar tentang tingkah sahabatnya itu, tiba-tiba sebuah panggilan pun masuk ke dalam ponselnya.

"Nizam," gumamnya ketika membaca nama yang tertera di atas layar ponselnya. "Ck, untuk apa dia menelepon.

*

Sementara itu, di tempat Nizam.

"Arumi, di mana kamu," gumam Nizam yang saat ini berada di teras rumah Arumi sembari terus mencoba menghubungi Arumi yang sedari tadi tak mengangkat panggilannya.

Lalu ia pun menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Tadi dia bilang mau perginya kapan?"

"Dia cuma pamit mau pergi hari ini. Katanya sih mau ke Jakarta, tapi ndak tahu juga," jawab wanita yang menggunakan pakaian super ketat di samping Nizam saat ini.

"Ck, ke mana dia," gumam Nizam sembari kembali menelepon Arumi, hingga akhirnya panggilannya pun diangkat.

"Halo, Ar. Kamu di mana?" tanya Nizam dengan cepat.

"Aku mau pergi, tidak usah mencariku lagi."

"Ar, kamu sekarang di mana? Aku akan menyusul kamu, kita ke Jakarta sama-sama," ucap Nizam dengan yakin.

"..." Namun tak terdengar jawaban dari Arumi.

Hingga suara seseorang yang menyebut tentang bus pun terdengar di dalam panggilan tersebut. "Kamu di terminal kan? Aku ke sana, tunggu aku," ucap Nizam, lalu mematikan panggilan tersebut.

Tanpa berpikir panjang, dengan cepat Nizam membawa motor maticnya meninggalkan rumah Arumi.

Nizam pun membawa motornya ke arah terminal satu-satunya di kota itu. Hingga akhirnya ...

Ciiit! Nizam mengerem mendadak ketika menghindari seorang anak kecil yang sedang membawa sepedah.

Brakk!

"Akh!" Nizam terlempar ke aspal selama beberapa saat.

"Maaf Mas, maaf, kamu ndak apa-apa?" ucap seorang laki-laki yang entah dari mana.

Nizam pun langsung membuka helmnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa pusing. "Tidak, hanya ... akh!" Ia meringis merasakan kepalanya berdenyut.

'Aku harus ke terminal sekarang,' batin Nizam sembari memijat kepalanya yang masih terasa berdenyut.

*

Di tempat lain, saat ini Arumi terus menatap ke arah pintu masuk area terminal. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia mempunyai keinginan untuk bisa melihat Nizam sebelum ia pergi.

"Aku rasa dia tidak akan datang Ar," ucap Nita yang saat ini sedang berdiri di dekat Arumi.

Arumi pun langsung tersenyum pahit mendengar hal itu. "Kamu benar Nit, bisnya juga sudah hampir penuh," sahut Arumi, lalu menghela napas dalam-dalam.

"Aku akan menunggunya sampai dia datang dan bilang—"

"Tidak perlu," potong Arumi. "Kamu pulang saja setelah aku pergi Nit, terima kasih," ujarnya sembari memeluk sahabatnya itu dengan hangat.

"Iya Ar."

Di sisi lain, saat ini terlihat seorang pemuda dan dua orang laki-laki di belakangnya sedang mengawasi Arumi dan Nita dari kejauhan.

"Tuan muda, apa kita perlu membatalkan jadwal bus in—"

"Tidak. Kalian ikuti saja dia sampai ke Jakarta!" titah pemuda tersebut dengan santai sembari membuka kaca mata hitamnya.

"Baik," sahut kedua orang tersebut yang kemudian dengan cepat berlari ke arah bus yang akan dikendarai Arumi.

"Arumi ... Arumi, enak saja kamu bilang kita impas. Kamu masih punya hutang padaku," ucap pemuda tersebut sembari menatap ke arah Arumi yang saat ini berjalan mendekati bus.

Namun, tiba-tiba saja ....

"Ar!" teriak seseorang dari kejauhan.

Teriakan tersebut membuat Arumi, Nita, sekaligus pemuda yang ingin melindungi Arumi itu pun menoleh.

"Arumi!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status