"Tidak mungkin!" kecam Aziya yang begitu kesal. Tidak seharusnya Reza mengambil dan mengganggu kedua anaknya yang sudah bisa adaptasi dengan baik di rumah neneknya. "Aku tidak akan menyerahkan kedua anakku pada kalian selamanya!"
"Aziya...kalau kamu tidak ingin berpisah dengan anak-anak, sebaiknya kamu kembali ke rumah ini dan batalkan saja gugatan cerai kamu, dengan begitu kalian bisa berkumpul lagi. Bagaimana?" kata mertua Aziya. Wanita itu berjalan santai ke sisi jendela besar dan membuka jendela rumah lebar - lebar, memberikan celah udara segar dari kebun kesayangan Aziya. Yah, setidaknya hal itu mengganti dan mengisi udara ruangan mereka tersebut yang mulai memanas.Bersyukur rasanya dulu Aziya rajin merawat bunga. Dia sungguh butuh banyak oksigen untuk bisa bernapas saat ini.Membayangkan kembali pada Reza sama saja kembali ke neraka mengerikan, itu tidak ada dan terjadi lagi dalam kamus hidupnya."Ma, aku tidak akan kembali sama mas Reza selamanya. Dia berselingkuh dengan sepupuku sendiri, aku tidak akan sanggup.""Itu hanya kesalahan lumrah seorang lelaki, Aziya. Itu cuma pubertas, kamu tidak perlu takut dan ragu bahwa perempuan itu bakal mengganggu kamu lagi. Asalkan kamu kembali, aku akan membuat wanita itu jera mendekati Reza.""Kesalahan lumrah?" Aziya bahkan tak tau masih ada kesalahan yang lebih buruk daripada kelakuan menjijikkan mereka berdua. Bagaimana bisa itu dikatakan lumrah? Sebagai seorang wanita yang selalu berusaha menjadi terhormat, maka ia akan menghormati dirinya alih-alih menjadi pendamping lelaki bejat ini.Merasa penat, Aziya tak ingin banyak berdebat, lalu ia menegaskan, "Datanglah ke pengadilan, Mas. Aku hanya butuh tanda tangan untuk yang terakhir kali ini, maka urusan kita selesai."Ia lalu melangkah pergi meninggalkan rumah itu untuk melanjutkan tujuannya ke perusahaan tanpa perduli lagi pada kedua orang itu. Tadinya ia berpikir untuk mengambil beberapa mainan kesayangan Humaira dan mengirimkan pada mereka di desa, tapi rencana itu gagal total karena bertemu dengan Reza dan ibu mertuanya.Sesampainya di kantor, Fahita melihatnya dan segera memeluk Aziya."Ziya, aku sedih banget mendengar kamu ada masalah dengan Reza. Tapi...apa kalian beneran mau cerai?" tanya sahabatnya setengah berbisik."Iya, Fa. Aku sudah nggak tahan lagi.""Ah, Ziya, kami berpikir kamu sangat mencintai Reza, lalu tiba-tiba kalian bercerai? Belum lagi kedua anak kalian bagaimana? Aku benar-benar tidak habis fikir kau menghadapi semuanya ini," Fahita sangat sedih sejak pertama mendenykabar tersebut, ia tak percaya Aziya tidak berterus terang soal keretakan rumah tangga mereka."Sudahlah, Fa. Aku sudah memutuskan, aku sudah bulat untuk bercerai. Maafkan aku karena tidak sempat cerita sama kamu, aku sangat shock dan butuh waktu untuk menenangkan diri," ujarnya."Ya sudahlah Zi, kamu yang menjalani, aku cuma tak tahu apa yang begitu kuat membuat kamu ingin bercerai. Sekarang Reza jadi pimpinan kamu, apa itu tidak akan canggung? Kalian sungguh berpisah baik-baik?"Aziya terdiam membeku, tapi ia tak bisa berbuat banyak kecuali menerima saja kenyataan."Aku mau menghadap kepala HRD, siapa tahu aku bisa pindah divisi, sehingga tidak terus kontak sama mas Reza. Aku sudah lelah, Fa. Kamu tahu kan bagaimana aku berusaha mendapatkan cintanya meskipun aku juga tidak terlalu menyukai karakternya? Aku berusaha untuk bertahan atas rumah tangga perjodohan orang tua karena aku yakin orang tuaku ingin anaknya bahagia dengan lelaki yang baik. Tapi sudahlah... semua sudah berakhir sekarang, orang tuaku juga sudah pasrah dengan keputusanku," terang Aziya dengan raut yang sedih.Fahita mengerti, rumah tangga mereka memang bukan keluarga romantis, akan tetapi Fahita menganggap normal saja karena toh mereka menjalani sampai punya anak dua. Pastilah cinta itu bisa dibangun setelah mereka punya anak. Tapi ternyata tiba-tiba Aziya memutuskan untuk bercerai?Di hari pertama, Aziya terlihat sangat sibuk menyelesaikan pekerjaannya setelah sekian lama cuti. Selagi menyusun berkas, Reza berhenti di meja kerjanya."Kamu berpikir membawa anakku begitu saja, dan juga membawa surat rumah milikku, apa kamu tidak punya malu? Dasar pencuri!" suara berat Reza menginterupsi Aziya yang sedang fokus di hadapan laptop.Tatapan Reza membuatnya mengerti, bahwa Reza memang tidak berubah dalam bersikap skeptis kepadanya."Apa maumu? Kau masih berpikir bahwa anak itu akan kau didik dengan baik? Jika ya, aku tak perlu repot-repot mengurus tanggung jawab kamu! Apa kau berpikir akan menitipkan mereka pada orang tuamu? Lihatlah, bahkan ibumu saja diselingkuhi ayahmu! Kalian itu keluarga abnormal. Kalian suka hura-hura dan meremehkan orang, jangan sampai anakku punya akhlak seperti kalian, ngerti nggak sih?!""Selain itu, aku tidak pernah membawa surat rumah itu. Puas?!""Aziya, kita belum selesai. Jangan coba-coba kamu mengambil anak itu lagi di tanganku. Jika kamu mau tenang bekerja di tempat ini, maka jaga sikapmu!" ancam Reza membuat Aziya semakin kesal. Akan tetapi tidak profesional rasanya meributkan masalah rumah tangga di tempat kerja. Ia tak bisa menerima ini, ia tak bisa bekerja sebagai bawahan Reza bagaimanapun juga.Aziya menggigit bibirnya kuat, meremas kertas di tangannya. Reza jelas melihat kemarahannya itu, pria itu melirik tangan Aziya yang mengepal meremas kertas dengan cengkraman yang kuat. Pria itu tersenyum miring, ia berhasil memprovokasi wanita itu. Lalu iapun melangkah menuju meja kantornya.Di sana, ia menatap dari kejauhan wajah Aziya yang sedikit tirus. Akan tetapi ia mulai merasa gelisah saat teringat dengan pengajuan gugatan cerai Aziya di pengadilan.Perkataan Aziya soal keluarganya yang abnormal, memang tidak sepenuhnya salah. Ia begitu tersinggung dengan tuduhan itu, tapi begitulah adanya, bahwa ayahnya, dia dan juga kakak lelakinya punya perilaku yang mirip. Hanya perempuan sial saja yang akan bertahan di dalam mendampingi pria keluarganya."Sial! Kenapa aku harus perduli dengan omong kosong Aziya?!" desisnya.Intinya kedua anaknya harus bersamanya tak perduli bagaimana pun kelakuan keluarganya! TITIK!Sementara mereka saling melemparkan pandangan tajam, Aziya juga tidak akan menyerah begitu saja. Ia sangat kuatir kalau kedua anaknya berada dalam lingkungan tak terdidik.Seperti rencananya semula, Aziya melangkah menuju ruang HRD dan bertemu dengan Ibu Nuri, wanita berperawakan tinggi dan sedikit antagonis. Wanita itu segera bertanya soal tujuan Aziya menemuinya di ruangannya.Aziya menjelaskan semuanya, termasuk rencana bercerai dengan Reza. "Pindah posisi? Bukankah posisi kamu sudah cukup bagus?" "Benar, tapi saya tidak men
Bu Nuri terdiam, ia tidak tahu berapa gaji yang diberikan untuk asisten seperti ini."Menurutku, kau bisa bertanya langsung dengan Pak Galih soal gaji itu. Saya sungguh tidak tahu. Kau juga bisa bernegosiasi langsung dengannya. Oke?"Aziya mengangguk, ia akan mencoba negoisasi terbaik esok hari.Keesokan harinya, Aziya benar-benar berpakaian santai tanpa riasan. Iapun menuju lantai dimana atasannya berada.Sudah hampir dua tahun, Aziya bekerja di perusahaan Hans GL. Akan tetapi tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di lantai dua puluh milik Galih Purnama, seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan multinasional itu.Rumor mengatakan, Galih Purnama adalah seorang pria yang sangat tegas dan tanpa kompromi.Panas dingin hawa yang keluar dari tengkuknya, apalagi di tangannya kini mengeluarkan keringat dingin semakin banyak, memikirkan seperti apa sosok pak Galih yang kontroversial itu.Ia sudah memakai setelan kasual, wajah polos tanpa make up dan tas kecil berwarna hitam menyilang di p
"Pak, saya tidak akan memakai kosmetik, berpenampilan menarik atau menggoda Pak Galih. Saya tahu batas karena saya juga punya suami, punya anak. Tapi...""Alasan kamu menghindari menjadi bawahan Reza...apa tidak ada maksud lain?"Bah! Seharusnya ia bertanya pada dirinya sendiri, batin Galih.Aziya menunduk dalam, sebutir air matanya hampir keluar di sudut matanya."Masalah ini...""Ini terlalu beresiko. Kau berpenampilan cukup buruk seperti ini, apa tidak mengganggumu?"Dalam hati Galih tertawa lebar, selama ini ia menantikan saat melihat wanita ini terlihat sangat buruk.Aziya menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak.""Baik, terserah kalau begitu. Besok, berangkat lebih awal, menghafal password apartemen dan juga pergi ke binatu. Siang harinya, ikutlah denganku untuk menyiapkan perlengkapan rapat dengan kolega dari Turki. Tugasmu hanya membersihkan ruangan dan menyiapkan peralatan, mengerti?""Siap, Pak. Apakah saya harus memakai pakaian khusus untuk pertemuan itu, Pak?" tanya Aziya pol
Sejenak setelah ia mengusap air matanya, Aziya mendongak ke arah orang yang baru saja datang memasuki rumah. Aziya mengedip tak percaya, apa maksud dengan kehadiran Davina diantara mereka? Sungguh perkembangan yang sangat cepat, batin Aziya."Ziya, menangis nggak akan menyelesaikan masalah bukan? Toh keadaan masih tidak berubah. Mas Reza membawaku bersama dengan kalian karena merasa perlu untuk mengenal kedua anaknya. Ini juga bukan kemauanku," kata gadis itu sambil melempar tas selempang miliknya, lalu menghempaskan dirinya di sofa. Seperti sudah di rumahnya sendiri saja."Emangnya kenapa? Aku juga tidak akan menyelesaikan masalah dengan mengemis pada seorang suami bejat, aku yakin kalian pasti akan mendapatkan karma dari perbuatan kalian," kata Aziya, kali ini Aziya membalas sambil menutup cuping putrinya dengan tangannya erat."Nggak usah sembunyi dari anak-anak, toh Humaira sudah besar. Dia akan mengerti kehidupan ayahnya yang telah berbeda."Lalu Davina berkata pada Humaira."Hum
Sesampainya di apartemen, Aziya bertemu ibu Nuri yang sudah menunggunya."Bu, apakah ini kediaman...?""Ini adalah tempat perawatan khusus untuk adik lelakinya. Pria itu telah koma selama tiga tahun dan tidak terbangun samasekali. Dan perlu kamu ketahui, bahwa pak Galih memintaku untuk memberitahu kepadamu inilah pekerjaan yang harus kau lakukan selanjutnya."Tak ada jawaban, karena Aziya sepenuhnya tak mengerti dan cenderung menurut saja apapun jenis pekerjaannya."Setiap hari, inilah tempatmu bekerja.""Disini?" Bu Nuri hanya mengangguk.Aziya merenung, karena ia merasa apartemen ini sangat jauh dari pusat kota. Apa ia akan sanggup melakukannya?Bu Nuri membawa Aziya semakin ke dalam, hingga ia diberi tahu soal penghuni tempat tersebut, di mana seorang pria terbaring lemah di sana dan ada sebuah tempat tidur lain yang ada di sampingnya yang terbaring seorang wanita cantik dan pucat pasi."Siapa dia?" lalu Aziya bertanya karena penasaran."Sssttt, jangan pernah bertanya soal siapa wa
Sikap Galih sedikit aneh. Pria itu berkomentar soal kaos tipis yang ia kenakan. Ia mulai meneliti penampilannya yang berantakan, lalu lekukan dadanya yang sedikit kentara."Apa dia mesum?" lirih Aziya panik.Setelah Galih benar-benar pergi, Aziya mendekati pria bernama Guntur di tempat tidurnya. Sudah jelas pria itu berusia jauh lebih muda dari Galih. Dia tampan, dan sangat mirip dengan Galih. Pantas saja Galih terlihat sangat menyayangi Guntur.Aziya menatap pada wajah yang tertidur pulas itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kehidupan ini, ia tak melihat bagaimana manusia yang hidup sebenarnya terlihat lebih menyedihkan daripada seorang pria yang hanya bisa memejamkan matanya, batin Aziya."Ada apa denganmu sebenarnya? Kamu terlihat tenang di pembaringan ini. Kamu memiliki kakak yang sangat memperhatikanmu...," bisik Aziya sembari merapikan sisi pembaringan Guntur, lalu mulai mengelap wajahnya dengan kompres hangat."Kau tau...itu bukti kau sangat beruntung, meskipun kau tak be
Sikap dingin Galih membuatnya bertanya-tanya.Selama ini ia tak mengenal siapa pemilik perusahaan besar ini. Tidak pernah tahu kehidupan pribadinya ataupun hubungannya dengan orang lain.Akan tetapi apa haknya tahu lebih banyak urusan orang lain? Hanya menambah beban pikirannya saja. Ia segera mengambil penyedot debu dan membersihkan karpet di ruangan tersebut. Sesekali ia bisa menangkap siluet Galih yang menatap serius pada layar laptop di hadapannya. Hingga dering telepon mengusiknya, lalu ia mengangkat dengan hati-hati.["Bu, ini Humaira. Kapan ibu pulang? Humaira dan Farhan ada di rumah sendirian, tidak ada nenek dan Bibi Davina yang menjaga kami Bu," kata suara kecil di seberang sana, mengeluh karena berada di rumah sendirian saja bersama sang adik.]["Sayang, ibu sedang bekerja. Bagaimana kalau Humaira tunggu sebentar? Ibu mau telepon Tante Widi buat temani kalian, hmm?"]["Cepat ya, Bu. Humaira takut," kata gadis itu.]["Sayang
Di sebuah rumah sakit dimana kedua bocah itu dirawat, Reza berjalan cepat menyusuri lorong untuk mencari keberadaan Humaira dan juga Farhan.Saat melihat Aziya sudah berada di tempat tersebut di salah satu lorong rumah sakit, pria itu berjalan cepat dan mengatur napasnya yang terengah-engah mendekati wanita itu.Lalu Reza melihat dimana Ia harus menghampiri Humaira dengan melirik sebentar ke arah Aziya. Pria itu mungkinkah merasa bersalah karena teledor kepada kedua anaknya? batin Aziya."Syukurlah kalian tak apa-apa. Bagaimana bisa bocah ini tidak mengerti cara mematikan kompor?" cicit nya menyalahkan Humaira. Gadis itu hanya bisa menunduk sedih, ia merasa ayahnya sedang menyudutkannya saat ini atas kejadian kebakaran yang menimpa mereka."Mas Reza, kamu bicara apa? Mana oleh-oleh buat Humaira dan Farhan? Apa begini caramu bergaul dengan anakmu sendiri? Ah, aku lupa kalau kamu memang anak yang salah asuhan dari kedua orang tua mu sehingga tidak peka terhadap perasaan seorang anak," o