Share

Aspri

Perkataan Aziya soal keluarganya yang abnormal, memang tidak sepenuhnya salah. Ia begitu tersinggung dengan tuduhan itu, tapi begitulah adanya, bahwa ayahnya, dia dan juga kakak lelakinya punya perilaku yang mirip. Hanya perempuan sial saja yang akan bertahan di dalam mendampingi pria keluarganya.

"Sial! Kenapa aku harus perduli dengan omong kosong Aziya?!" desisnya.

Intinya kedua anaknya harus bersamanya tak perduli bagaimana pun kelakuan keluarganya! TITIK!

Sementara mereka saling melemparkan pandangan tajam, Aziya juga tidak akan menyerah begitu saja. Ia sangat kuatir kalau kedua anaknya berada dalam lingkungan tak terdidik.

Seperti rencananya semula, Aziya melangkah menuju ruang HRD dan bertemu dengan Ibu Nuri, wanita berperawakan tinggi dan sedikit antagonis. Wanita itu segera bertanya soal tujuan Aziya menemuinya di ruangannya.

Aziya menjelaskan semuanya, termasuk rencana bercerai dengan Reza.

"Pindah posisi? Bukankah posisi kamu sudah cukup bagus?"

"Benar, tapi saya tidak menyukai posisi dimana saya harus selalu bersama dengan calon mantan suami saya. Ini sangat tidak nyaman dan membosankan."

Ibu Nuri menatap tajam mata Aziya, ia sedikit heran.

"Kalian punya masalah rumah tangga sampai harus bercerai, kenapa? Apa kamu banyak menuntut? Ah, wanita jaman sekarang sering tidak bersyukur dengan apa yang ada pada suaminya. Tapi, bukankah suamimu itu punya kredibilitas dan attitude yang bagus di perusahaan ini? Saya yakin dia profesional di kantor," wanita itu malah nyinyir dan mengkritik dirinya.

"Bu, apa permintaan saya ini sangat sulit dan tidak bisa dipenuhi? Kalau begitu, akan lebih baik saya mengundurkan diri dari perusahaan," kali ini Aziya sedikit menekankan dan Bu Nuri memicingkan matanya.

"Kau bahkan rela di posisi apapun selama tidak sekantor dengan Reza, apa kamu serius?"

Cepat Aziya mengangguk, sebagai bentuk jawaban yang lebih dari serius.

Bu Nuri melihat ke komputer miliknya, membuka file sana sini, barang kali ada lowongan pekerjaan lain untuk Aziya. Hanya saya yang tersedia adalah...

Wanita itupun lalu mengirimkan pesan untuk atasannya soal permintaan Aziya.

"Hanya ada satu lowongan, tapi ini agak berbeda," katanya kemudian.

"Baik, apa itu? Aku akan mengambilnya," katanya sedikit antusias.

"Asisten Pak Galih Purnama, tapi bukan sekretaris utama."

"Jadi?"

Aziya menunggu Bu Nuri menjelaskan, tanpa berkedip.

"Jadi... tidak banyak yang lolos dalam kriteria ini walaupun pekerjaan ini terlihat remeh. Banyak sekali syarat yang pak Galih minta."

"Baik, katakan saja," Aziya makin penasaran karena Ini Nuri terkesan bertele-tele.

"Yang pertama adalah wanita yang diinginkan pak Galih tidak memenuhi standar cantik. Kalau dilihat kayaknya kamu nggak masuk standar ini. Hanya saja, boleh di coba. Soalnya cuma pak Galih yang tahu mana yang menurut dia cantik dan enggak."

Aziya menelan ludah. Susah payah dia merawat kulit halusnya di sebuah salon kecantikan hanya karena ingin terlihat cantik, tapi ternyata itu nggak guna. Ah, ada bagusnya juga, itu akan mengurangi pengeluaran.

"Terus?"

"Pakaian standar biasa, yang penting rapi, tapi bukan pakaian orang kantoran. Artinya... pakaian bebas, santai dan nggak terlihat mahal."

"Aneh sekali, apa sih masalah Pak Galih? Apa dia mengidap gangguan jiwa?" desis Aziya karena terkesan syarat itu terlalu naif. Kalau pegawai biasa rasanya tidak seperti ini, bukan apa-apa, kenapa harus terobsesi dengan pakaian babu? batin Aziya dengan senyum mengejek.

"Bukan cuma gangguan jiwa sepertinya, tapi cenderung sudah gila," kekeh Bu Nuri merasa lucu dengan ekspresi Aziya. Aziya hanya memanyunkan bibirnya. Nggak masalah, banyak pakaian santai yang dia miliki, jadi itu bukan masalah besar sebenarnya.

"Terus?"

"Nggak boleh gadis perawan. Dia mau karyawati yang pengalaman mengurus anak dan rumah tangga, tapi juga punya latar belakang kantor. Punya suami tidak masalah."

"Tentu saja. Aku bisa melakukannya dengan baik urusan rumah dan kantor. Aku juga sudah punya anak. Tapi...apa sebenarnya pekerjaan itu? Apa sebenarnya Pak Galih cari pembantu rumah tangga?"

"Sssttt, dia itu nggak butuh pembantu rumah tangga biasa. Dia butuh asisten pribadi yang profesional. Jadi inilah kriteria yang dia butuhkan. Kurasa kamu akan ditolak karena wajahmu cukup cantik. Atau..." Bu Nuri melihat Aziya menyipit, memegang dagu Aziya dan memutar ke kanan dan ke kiri. "Aku punya akal," katanya kemudian.

Apa-apaan, kenapa sebenarnya Bu Nuri menganggap dirinya punya standar kecantikan? Apa Pak Galih takut tergoda?

Dan lagi, profesionalisme apa yang dicari kalau penampilan saja sudah nol.

"Aziya, apa kamu bersedia tidak mengenakan make up sedikitpun?" tanya Bu Nuri.

Menimbang dan memikirkan apa yang paling baik untuknya saat ini, tentu saja bukan masalah besar kalau ia tidak memakai perias wajah.

"Tentu saja. Ini bahkan tidak bikin repot."

"Deal. Aku akan segera mengajukan resume kamu. Akan tetapi aku butuh foto kamu tanpa make up, cepat kirim padaku, dan kamu bisa mulai bekerja setelah wawancara khusus dengan Pak Galih. Bagaimana?"

Rasanya tak percaya, persyaratan itu sepertinya sangat mudah meskipun sedikit aneh. Apakah ini bukan lelucon?

"Aziya? Kamu melamun?"

"Hah?"

"Berikan foto polos kamu, dan besok adalah wawancara khusus dengan Pak Galih. Jangan lupa, kamu adalah asisten pribadi, jadi kamu harus sudah tahu kira-kira pekerjaan apa yang bakal kamu kerjakan."

Mendengar itu, Aziya seperti menghadapi angin ribut di kepalanya. Penasaran, ragu tapi juga berharap pindah dari divisinya sekarang ini.

"Maaf Bu, berapa gaji saya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status