Share

Mau Cerai

Aziya meringis menahan perih di pipinya. Ia menatap marah pada Reza.

"Sudah kubilang jangan pernah menyentuhku, gila kamu ya!" pekik Aziya, ia benci karena sentuhan Reza di kulitnya disisi kelakuan pria itu.

"Siapa bilang aku menyentuh kamu, aku menampar mulut ember jebol kamu biar tau rasa!"

Saat itu, seseorang nekat mendekati dan melerai mereka.

"Ssstt, berhentilah bertengkar. Pak Arthur sudah meminta kita untuk berkumpul di ruang rapat utama. Ayo cepat!"

Kalau saja bukan karena situasi itu, mungkin saja pertengkaran Aziya dengan Reza masih terjadi, maka Reza segera beranjak pergi.

Pria itu terlihat bangga dengan jabatan barunya.

Berbeda dengan Aziya yang sudah tak sanggup lagi untuk mengikuti rapat sehingga ia berbalik arah untuk pulang saja. Tak perduli jika pada hari itu ia harus dipecat, ia sudah tak perduli!

Aziya meninggalkan aula rapat untuk pulang. Toh ia sudah biasa pulang sendiri karena Reza biasanya tidak akan pulang bersamanya meskipun mereka punya jadwal waktu yang sama.

Sesampainya di rumah, kedua buah hatinya telah menunggunya, mereka tengah mempersiapkan peralatan sekolah dengan Mbak Siti pengasuh keduanya.

"Bu Ziya, tadi Davina datang kemari dan memberikan bingkisan ini buat anak-anak, saya dan anak-anak nggak berani buka," kata Mbak Siti menyerahkan sebuah tote bag dengan bermacam-macam camilan kering di dalamnya.

Tentu saja Aziya tidak tertarik dengan isi bingkisan itu, ia menepisnya dan berkata, "Bawa saja Mbak Siti, atau kalau nggak doyan, boleh Mbak Siti buang ke mana saja," jawab Aziya enteng lalu melepaskan atribut kantor yang dipakainya.

"Tapi Bu...ini..."

"Kenapa? Itu cuma camilan nggak seberapa, Mbak, anak-anak juga kurang menyukainya. Oh ya, Mbak, untuk seminggu kedepannya Mbak Siti bisa libur dulu ya. Saya dan anak-anak mau berlibur di desa. Dan ini uang saku buat Mbak Siti," kata Aziya sambil menyerahkan amplop gaji untuk wanita itu, no ia sudah berpikir dan menyiapkan hal ini.

Mbak Siti keheranan, tak biasanya Aziya cuti mendadak bahkan bukan di hari libur sekolah anak-anak.

Menatap ragu pada Aziya, Mbak Siti menggenggam amplop itu dengan gelisah. "Bu Ziya apakah baik-baik saja?"

"Uhmm, bisa dibilang begitu, Mbak. Akan tetapi aku tak bisa berharap banyak Mbak. Suatu saat Mbak Siti akan tau sendiri. Oh ya, aku ngantuk banget sekarang, Aku nitip anak-anak ke sekolah ya Mbak."

Setelah mengatakan hal itu, Aziya menghampiri Humaira dan Farhan. Iapun mengecup lembut puncak kepala keduanya dengan perasaan tak karuan. Akan tetapi ia harus bisa menahan perasaannya demi kebaikan psikologis mereka, tidak mungkin ia mengatakan bagaimana kejamnya Reza kepadanya.

Aziya segera ke kamar, menenggelamkan dirinya di dalam selimut di kamarnya, mengunci rapat pintu kamar tersebut. Sesekali terdengar isak tangisnya, namun tentu saja sangat lirih nyaris tak terdengar.

Menjelang siang hari, Aziya mendengar suara mobil Reza datang memasuki garasi. Reza pasti pulang lebih awal untuk membuat perhitungan dengannya karena pertengkaran tadi. Ia mulai panik dan traumatis sebab ditampar di perusahaan tadi sehingga rasa takut mulai merayap di hatinya.

Tak kurang akal, Aziya segera menghubungi kedua orang tua Reza dan kedua orang tuanya untuk secepatnya datang.

Pertama kali, iapun menghubungi mertuanya karena mereka lebih dekat rumahnya.

["Apa-apaan, Aziya. Kenapa begitu mendadak?" jawab ibu mertua.]

["Ini sangat penting, Bu. Ini sangatlah penting."]

["Tapi...ada apa sebenarnya? Sepenting apa Aziya?"]

["Bu, Aziya mau bercerai saja dengan Mas Reza."

"Apa? Bercerai?"]

Mertuanya seketika terkejut, dan Aziya berusaha keras meyakinkan agar mereka datang segera, tak perduli apa yang akan mertuanya katakan nantinya.

Setelah selesai menghubungi mertua dan kedua orang tuanya, terdengar ketukan dari luar kamar.

"Aziya, Aziya! Buka pintu!" panggil Reza sambil terus mengetuk pintu. Bahkan Reza berkali-kali melakukan panggilan telepon namun Aziya tak menggubris. Ia hanya akan membuka pintu jika mertua atau orang tuanya sudah tiba di tempat itu. Ia tidak mau sampai Reza mendaratkan sentuhan di pipinya lagi atau mencoba merayu dengan pelukannya, menjijikkan!

"Kenapa kau mengunci pintu? Kau takut bukan? Hah, kamu tau sekarang kalau kamu itu cuma selingan dalam hidupku bukan? Ayo kita selesaikan, Aziya!" kata Reza meneriaki Aziya.

Aziya tidak menggubris, ia sangat mengerti sekarang bahwa pernikahan mereka memang harus berakhir menyedihkan seperti ini, seperti apa yang dikatakan Reza barusan bahwa dirinya hanya selingan saja?

Aziya mulai menyesali perjodohan itu, akan tetapi bukankah itu takdir dari yang Kuasa?

Air matanya mulai menggenang lagi di kelopaknya yang sudah sembab, setelah sekian lama pernikahan yang tampak baik-baik saja, tiba-tiba badai menghancurkan segalanya dalam semalam, haruskah ia menjadi lemah?

Aziya mengambil koper, iapun memasukkan pakaiannya dan juga surat menyurat penting yang mungkin nantinya ia perlukan.

Ia menatap sebuah sertifikat rumah yang mereka tempati. Rumah itu adalah harta yang mereka hasilkan bersama, hanya saja ia yakin dengan surat itu urusannya dengan Reza pasti akan sepanjang sungai Bengawan Solo jika ia sampai mengusiknya. Maka iapun memutuskan meletakkan kembali sertifikat rumah tersebut pada tempat asalnya.

"Hei! Buka l*nte! Kenapa kau tak berani berhadapan denganku? Ayo cepat! Jangan hanya bisa menyalahkan orang lain, kau harus introspeksi diri!" teriak Reza lagi, suara itu begitu menggema di telinga Aziya begitu menghujam kalbu.

"Reza! Apa yang barusan mama dengar tadi? Kenapa kau memanggil istrimu dengan sebutan kotor?" kata sebuah suara menegur Reza dari arah belakangnya. Reza jadi sangat terkejut.

Wanita itu juga terlihat melotot ke arahnya.

"Mama? Kok mama ada di sini?" ujarnya sedikit gugup dan wajah yang sangat terkejut. "Ah, mama jangan salah faham, aku sengaja mengatakannya," kata Reza beralasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status