Mendengar pintu ruang rawat inap Olivia diketuk, Angelica segera bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke arah pintu. Ia membuka pintu tanpa banyak tanya. Di hadapannya berdiri dua sosok yang sangat dikenalnya."Loh, Aunty, Uncle. Tahu dari mana Via di sini?" tanyanya kaget setelah memeluk sepasang suami istri paruh baya itu secara bergantian.Naura tersenyum tipis, sementara Davin mengangguk ringan sambil mengecup kening sang keponakan.“Barusan kami ke rumah. Pelayan bilang Olivia sakit,” jawab Naura pelan. Suaranya tenang, tapi jelas mengandung kekhawatiran. Setelah menjawab, mereka segera melangkah masuk dan mendekati ranjang pasien tempat Olivia terbaring.Olivia yang sedari tadi hanya diam, mendongak dan tersenyum manis ketika melihat kehadiran Oma dan Opa-nya. Ia langsung terlihat lebih cerah meski tubuhnya masih lemah. Gadis kecil itu merasa dikelilingi banyak cinta. Tapi yang paling utama, ia merasa sangat bahagia karena kedua orang tuanya ada di sisinya. Itu sudah cukup unt
“Sudah, Non?” Michelle akhirnya mengangguk pelan, sebuah gerakan kecil yang menandakan bahwa ia bersedia mencoba. Carlota tidak membuang waktu. Dengan cekatan ia mengambil jaket tipis milik Michelle dan meletakkannya di pangkuan wanita muda itu. Michelle hanya duduk diam, membiarkan Carlota mengambil kendali tanpa banyak bertanya.Carlota mendorong kursi roda perlahan ke depan, memastikan kaki Michelle dalam posisi aman sebelum mereka benar-benar keluar dari unit apartemen. Suara roda kursi menyusuri lantai marmer koridor apartemen terdengar jelas, mengiringi langkah Carlota yang mantap. Michelle tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya datar, tapi matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan pikiran yang berkecamuk di dalam kepala.Lift terbuka. Mereka masuk. Hanya ada mereka berdua di dalam. Carlota menekan tombol menuju lantai dasar. Michelle menarik napas panjang. Tangannya memegang lengan kursi roda erat-erat. Ia tahu keputusannya untuk datang ke rumah sakit bukan perkara kecil. Itu b
"Kenapa, Non?" tanya Carlota ketika melihat Michelle duduk termenung di kursi roda dekat jendela, wajahnya murung, kedua tangan saling menggenggam seperti orang gelisah. Ponsel di tangannya masih menyala, menunjukkan sambungan terakhir yang baru saja diputus. Suasana apartemen siang itu terasa hening, hanya suara jam dinding yang terdengar pelan dan sesekali bunyi panci dari dapur."Tadi Alvaro telepon," jawab Michelle pelan, suaranya datar tapi penuh tekanan. "Dia memintaku datang ke rumah sakit menjenguk Olivia yang lagi dirawat."Carlota langsung menghentikan aktivitasnya di dapur. Ia berjalan cepat ke ruang tengah, menatap Michelle dengan cemas. "Apa? Olivia dirawat? Olivia sakit apa, Non?" tanyanya khawatir. Seketika wajah wanita itu berubah mendengar nama Olivia yang disebut sedang dirawat di rumah sakit. Dia mengenal betul keluarga itu. Dan dia juga tahu kalau Olivia pernah menderita sakit kelainan jantung. Dia tak ingin Olivia kenapa-napa."Kata Alvaro sih, dia nggak apa-apa.
Alvaro melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan wajah serius. Setelah memastikan kondisi Olivia stabil dan hasil observasi sejauh ini cukup melegakan, ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya sebentar. Beberapa data medis Olivia masih harus ia catat sendiri, dan dia juga ingin menelepon seseorang—seseorang yang sejak tadi ada di pikirannya.Begitu pintu tertutup, Alvaro meletakkan map pasien di atas meja. Ruangan itu tak terlalu besar, tapi cukup nyaman dan tertata rapi. Komputer menyala di atas meja, ada tumpukan berkas pasien di sisi kiri, dan sebuah ponsel yang tergeletak di samping keyboard. Ia langsung mengambil ponselnya, membuka daftar kontak, lalu menekan satu nama.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara dari seberang menjawab.“Halo,” jawab Michelle dengan nada datar.“Halo, gimana keadaanmu hari ini?” tanya Alvaro sambil duduk di kursi putar. Ia menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit ruangan.“Baik. Kamu gimana?” Michelle balik bertanya.“Baik juga,”
Belum lama setelah Olivia kembali tertidur dalam pelukan Alex, pintu ruang rawat terbuka pelan, suster masuk membawa map hasil laboratorium di tangannya, langkahnya hati-hati karena tahu ruangan itu bukan ruang biasa, tidak sembarang pasien bisa dirawat di lantai ini, apalagi yang sedang berbaring di atas ranjang adalah Olivia, cucu pemilik rumah sakit dan anak dari direktur utama yang sekarang duduk di sisi ranjang dengan wajah sembab.“Permisi, apa Dokter Alvaro masih di dalam?” tanya suster itu pelan sambil mendekat.“Saya di sini, sus,” jawab Alvaro langsung, berdiri dari duduknya lalu menyambut map putih itu dari tangan si suster. “Terima kasih, nanti saya panggil lagi kalau perlu bantuan,” lanjutnya singkat tapi tetap sopan karena bicara dengan staf medis.“Baik, dok,” jawabnya.Begitu suster keluar dan pintu tertutup kembali, suasana dalam ruangan jadi makin senyap, yang terdengar hanya suara pelan dari alat pemantau detak jantung di sudut ruangan dan napas Olivia yang tenang k
Braaaaak.Pintu ruang rawat di lantai paling atas rumah sakit itu terbuka keras. Alex menerobos masuk, langkahnya terburu-buru. Wajahnya pucat, napasnya berat. Ruangan itu memang bukan ruang rawat biasa—satu lantai penuh diperuntukkan hanya bagi keluarga pemilik rumah sakit. Tidak sembarang orang bisa masuk. Tapi Alex tidak peduli. Detik ini dia hanya ingin melihat putrinya.“Sa… sayang…”Suaranya patah. Langkahnya otomatis ingin mendekat ke ranjang pasien di tengah ruangan. Tapi sebelum ia sempat menyentuh tubuh kecil itu, Angelica menahan tangannya.“Jangan, sayang. Olivia baru saja tertidur,” ujar Angelica pelan.Alex berdiri kaku. Matanya langsung basah. Di hadapannya, Olivia meringkuk kecil di atas ranjang pasien. Selimut menutupi sampai ke dada, salah satu tangan kecilnya diinfus, dan selang oksigen terpasang di hidung mungilnya. Tubuh itu terlihat lemah. Napasnya naik turun tak beraturan. Terlalu tenang, terlalu sunyi untuk ukuran anak kecil yang biasanya aktif dan cerewet sepe