“Aku benci saat seseorang menyentuh apa pun yang menyangkutmu. Bahkan sekadar memanggil namamu, sayang,” bisik Dante di leher Binar. Menghembuskan nafas hangat, meski tubuhnya sendiri tengah tegang terbakar emosi. Binar menyentuh kedua pipi Dante lembut, menegakkan wajahnya agar bisa menatap tepat ke dalam mata hitam bak lubang hitam yang menyedot seluruh atensinya. "Lalu, kenapa kau tetap mengirimku ke sana jika tak suka?" Tarikan nafas berat Dante terdengar. Pria itu menyatukan kening keduanya dan menarik pinggang Binar dengan posesif. "Karena aku tau dia menginginkannya. Dan aku juga ingin menunjukkan siapa wanita yang kupilih untuk mengoloknya." Binar terdiam. Dante menyeringai getir. “Aku bisa membuatnya menghilang malam ini juga, Binar. Kau tahu itu dengan benar. Tapi aku ... mencoba tidak menjadi monster. Untukmu.” Lama, Binar mencoba memahami maksud Dante yang sebenarnya. Sampai matanya terperangah saat pemikiran itu terlintas di otaknya. "Kau ingin aku yang berger
Binar memutar gelas sampanyenya pelan, memandang para tamu lainnya menelisik. Sesekali ia akan menyesap minumannya dengan kening berkerut. Banyak hal yang mengisi pikirannya. Matthias menyandarkan tubuh di dinding, menyilangkan tangan sambil menatap tajam eka arah Binar, tapi kali ini ada sedikit kerutan di antara alisnya. “Kau bertemu Velda,” ungkap Matthias tanpa basa-basi. Bukan bertanya, tapi lebih seperti pernyataan. “Ya,” jawab Binar datar, tanpa menoleh. “Kau tahu?” “Aku memperhatikan dia sejak awal masuk ruangan. Dia menatapmu seolah ingin membunuhmu lewat tatapan mata,” ujar Matthias datar, penuh perhitungan. "Aku tahu dia merencanakan sesuatu." Binar menghela napas. “Dia menyebut tentang jatuh dari ketinggian, tentang cinta yang terlalu dalam. Aku tahu maksudnya. Dia ingin menjatuhkan Dante ... dan aku sasarannya.” Matthias mendekat, mengambil gelas dari tangan Binar dan meletakkannya di meja. “Kalau kau pintar, kau akan menjauh dari panggung ini, Binar.” Pria itu b
Binar menatap undangan bertuliskan emas di tangannya dengan skeptis. berulangkali membacanya setelah mendengar ucapan Dante yang mengejutkan. "Kau yakin ingin aku yang pergi?" tanya Binar untuk ke-tiga kalinya dalam beberapa menit terakhir. "Ke acara seformal itu sendirian?" Alis Binar terangkat tinggi, tak bisa mempercayai perintah Dante. Mendengar itu, Dante tak menjawab langsung. Ia menyandarkan diri ke kursinya yang tinggi dengan mata tajamnya mengunci pandangan Binar. Sejak ia bisa keluar dari ruang rawat, tubuhnya memang belum pulih seratus persen, tapi kuasanya tak pernah berkurang. Bahkan aura dinginnya terasa lebih mencekam dari sebelumnya. “Bukan sendirian,” kata Dante pelan. “Matthias akan menjagamu.” Binar mendesah. “Itu tidak menjawab pertanyaanku.” "Dari awal kau selalu melarangku keluar mansion. Dan sekarang ... kau ingin aku pergi ke Gala pertemuan tokoh elit di Orsaria?" imbuh Binar bertanya-tanya. Dante berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati Binar. Jema
Velda Lucienne adalah gadis kebanggaan Leonard. Seorang wanita ahli strategi, kejam, tapi mampu bergerak tenang. Kakek Dante melihatnya sebagai pasangan ideal untuk cucunya. Dua darah dingin yang akan membuat nama besar Daggers pact makin disanjung dan ditakuti. Tunangan Dante. Velda menerima status itu dengan bangga karena ia pun telah lama menaruh rasa pada pria tampan itu. Walaupun Dante tak pernah melihatnya selain sebagai senjata yang berguna. Dante memang tetap patuh ... selama kakeknya hidup.Namun, hari kematian pria tua itu jadi akhir segalanya.Tanpa basa-basi, tanpa pertemuan empat mata, Dante dengan kejam mencoret nama Velda dari daftar pewaris, menarik seluruh sumber dayanya, dan mengusirnya dari organisasi.“Dia bukan siapa-siapa,” ucap Dante dengan kejam kala itu. Baginya Velda hanyalah noda di kehidupannya. Sejak awal, posisi penting di hatinya telah jatuh pada gadis kecil yang ia jaga dulu ... maupun sekarang. Binar.Mendengar cerita itu, Binar hanya bergeming.
Binar terbangun perlahan, mendapati dirinya masih di sofa, dengan selimut yang membungkus tubuhnya rapat. Matthias tak terlihat di manapun, tapi aroma kopi samar-samar tercium dari dapur.Tak lama, atensi Binar teralihkan pada suara langkah berat terdengar dari pintu utama. Binar tak dapat menyembunyikan senyum haru saat melihat sosok itu ada di sana. Menatapnya dengan tatapan yang jarang sekali ia dapatkan. Dante berdiri di sana.Wajah tampan Dante masih memperlihatkan bekas luka samar dan kantung mata yang gelap. Namun, kekurangan itu sama sekali tak terlihat dibandingkan wajah dingin menawannya. Ada rasa lega yang Dante rasakan saat melihat Binar. Kemarahan yang ia tahan semalam, runtuh perlahan, walaupun rasa posesif tak pernah hilang. Binar bangkit segera dan berjalan cepat menghampiri Dante. “Kau terluka lagi?” tanya Binar terdengar cemas sambil menyentuh pipi Dante.Dante mengabaikan pertanyaannya. Ia hanya memeluk Binar dengan satu tangannya yang tak terluka. Tak begitu e
Ruang rawat Dante terasa sunyi meski diisi oleh tiga orang. Namun semua sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.Tubuh Dante masih belum pulih sepenuhnya, bersandar di ranjang tanpa mengenakan atasan, memperlihatkan luka-lukanya yang dibalut perban.Di tangan kiri Dante, ada sebuah belati kecil kesayangannya, mengkilap ketika terkena cahaya lampu.Binar melirik Matthias dan Dante beberapa kali sembari fokus mengoleskan salep di beberapa luka gores di tangan Dante.Kecanggungan merayapi ketiganya. Dan Binar memilih diam, memperlambat gerakannya.“Bicara, Matthias,” ucap Dante dingin. Namun mengandung tekanan. “Aku tahu kau datang bukan hanya untuk menatap istriku.”Matthias menatap Dante tenang meskipun mendengar nada sarkastis. Mata hitamnya berkilat. “Kau tetap setajam biasa.”“Dan kau tetap terlalu diam untuk orang yang menyimpan terlalu banyak,” sahut Dante menyipitkan mata.Binar menunduk, pura-pura sibuk dengan luka Dante, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia bisa merasakan