Binar menggenggam tangan Dante dengan erat. Ia memilih duduk dan menyandarkan kepalanya di ranjang, menolak saran Matthias yang menyuruhnya istirahat. "Kau tau, Dante. Awalnya ... aku membencimu." Binar menarik napas panjang seakan memikul beban berat di dadanya. "Kau bertindak sesukamu ... mengurungku ... menganggap aku sebagai barang yang harus kau miliki, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku."Tangan Binar memainkan jemari Dante dengan hati-hati. "Tapi kau juga dengan kejam menjeratku. Sampai aku sangat bergantung padamu sekarang."Binar mengatakan semua itu dengan ekspresi kosong di matanya. Ia tak tau bagaimana hatinya. Ia benci, tapi ... ia juga peduli.'Apa yang membuatku jatuh cinta padamu?'Pertanyaan itu masih mengambang tanpa jawaban di hati Binar."Maaf."Binar tertegun mendengar suara lirih itu. Begitu mendongak, matanya bertubrukan dengan mata Dante yang nampak sayu."Kau sadar."Binar sudah berdiri hendak memanggil tenaga medis, tapi Dante menggenggam tangannya erat,
Darah terus menetes dari tubuh Dante saat Binar membopongnya masuk bersama Matthias dan dua pengawal lain. Binar menolak melepaskan Dante, mengabaikan seluruh ucapan Matthias. Napas Dante terdengar berat dan pendek-pendek, semakin membuat tubuh Binar bergetar. Ia melihat luka menganga di bahu dan dada kanan pria itu terlihat mengerikan. "Tenanglah, Binar! Dante akan baik-baik saja," ucap Matthias berusaha menenangkan Binar yang nampak kesetanan. “RUANG MEDIS!! SEKARANG!!” teriak Binar panik. Telinganya seolah tuli akan segalanya. Yang ia pikirkan hanya satu ... keselamatan Dante. Baju Binar telah basah oleh darah, mengejar tubuh Dante di atas brankar yang hendak dibawa ke ruang emergency yang terletak di basement Mansion. Saat pengawal membuka pintu ruang medis, Binar ikut berlari masuk, menekan luka Dante dengan tangannya sendiri.“Jangan mati ... kumohon ... kumohon ....” Binar gemetar melihat wajah pucat Dante yang tak sadarkan diri. Penglihatan Binar mengabur dan tubuh Dant
Suara hantaman pedang bak melodi bercampur dengan deru angin sore di halaman belakang yang selama beberapa waktu terakhir telah menjadi tempat latihan Binar.Kini, Binar mulai mahir menggunakan senjata berkat ketekunan dan kegigihannya. Dengan keringat yang membanjiri pelipisnya, binar bergerak gesit menghindar dan menyerang Sera yang menjadi mentornya."Aku harus menjadi kuat."Kata-kata itu terus Binar rapalkan sepanjang waktu sebagai pemecut semangatnya.Dari kejauhan, Binar bisa merasakan tatapan menusuk yang mengintainya sejak tadi. Namun, ia berusaha fokus denan latihannya dan berusaha untuk tak menoleh ke belakang.Dante duduk di serambi, menatap BInar dengan dingin. Menunggu dengan sabar walau Binar terus saja mengabaikan keberadaanya.Hingga beberapa waktu berlalu, Binar akhirnya mendekat sambil mengusap peluhnya.“Kau selalu terlihat paling hidup saat mengincar sesuatu," ejek Dante mengandung kekesalan.Binar hanya menoleh sebentar, mengeluarkan senyum polosnya. “Kau ingin b
Matahari bahan belum menampakkan diri, tapi Binar telah berdiri dengan nafas terengah di halaman belakang mengenakan setelan sederhana dan rambut yang diikat ekor kuda.Tak ada lagi sorot mata ketakutan, yang ada hanyalah mata tajam dan serius memperhatikan instruksi dari asistennya-Sera."Fokus! Jangan hanya mengandalkan insting. Kau juga harus menyerang menggunakan logika."Sera berdiri di sampingnya memberi arahan, sesekali memperbaiki postur tubuh Binar yang salah.Binar mengangguk, menghela nafas panjang sebelum kembali bergerak sesuai ajaran Sera.Meski beberapa kali terjatuh dan tergores, ia pantang menyerah. Hidup di dunia Dante, ia harus bisa melindungi dirinya sendiri.Binar samar-samar teringat Ayahnya yang mengajarinya gerakan sederhana.Seketika semangatnya semakin berkobar."Aku harus bisa melindungi diriku sendiri," tekad Binar dalam hati.Dari balkon lantai dua, Dante berdiiri menyilangkan tangan. Mata tajamnya mengikuti setiap gerakan Binar dalam diam.Memang ia menye
Binar terbangun di tengah malam dan menyadari gelasnya kosong, mau tak mau ia harus turun ke dapur untuk mengambil air. Malam itu, mansion rasanya terlalu hening. Biasanya, para pengawal bersliweran di koridor, tapi Binar tak menjumpai satupun dari mereka.Meski merasa janggal, Binar tetap meneruskan langkahnya ke arah dapur, kali ini lebih waspada.Tangannya mencengkeram gelas kosong, melangkah hati-hati saat menuruni anak tangga. Bisa saja Binar kembali ke kamar, tapi tenggorokannya benar-benar kering."Di mana mereka semua?" batinnya bertanya-tanya.Bahkan Sera yang biasa berjaga di luar kamar pun tak nampak batang hidungnya. Namun, Binar berusaha menenangkan diri. Mungkin saja sistem keamanan sedang diuji?Lampu otomatis menyala ketika Binar menginjakkan kakinya di dapur. Ia mengisi gelas dan minum dengan tenang. Begitu melihat pisau buah di meja, ia meraihnya perlahan. Entah mengapa, nalurinya berbisik untuk bersiap.Dan benar saja.Terdengar langkah kaki yan mendekat perlahan d
Pagi ini, Binar mengenakan kemeja longgar dan celana hitam panjang duduk tegak di ruang kerja Dante. Dokumen berserak penuh diatas meja, layar monitor yang menyala, dan beberapa foto berkas hadir di depannya. Di hadapannya, Sera berdiri tegap bak mentor menunjuk pada layar yang menampilkan struktur organisasi Daggers Pact.“Daggers Pact adalah organisasi bawah tanah paling ditakuti di benua barat yang bersekutu secara terbuka dengan pemerintah Orsaria. Mereka bukan sekadar mafia, tapi bagian dari sistem pemerintahan bayangan,” jelas Sera sambil menggeser layar ke bagian sejarah.“Dibentuk oleh kakek buyut Tuan Dante, Viero De Vaux. Filosofi mereka sederhana ... yang berguna akan dilindungi, yang mengkhianat akan dilenyapkan.”Binar menahan napas saat nama itu muncul. Viero. Nama yang kini dijadikan marga Keluarga Dante sejak turun temurun ternyata adalah nama pendiri Daggers pact. Lalu, ada Leonard De Viero, nama yang juga tercatat dalam catatan lama yang diam-diam ia baca semalam
Pagi harinya, Dante memanggil Binar untuk ke ruang kerjanya dan mendapati seorang wanita tinggi tegap berambut pendek sebahu berdiri layaknya prajurit di depan meja kerja Dante. Binar tak menanyakan apapun, ia hanya berjalan tenang menghampiri Dante. "Ada apa?" ia tak bisa mengendalikan rasa penasarannya. Dante menarik lembut tangan Binar untuk mengelusnya. "Dia adalah Sera. Agen wanita terbaik yang kumiliki. Sekarang dia akan menjadi asisten pribadimu."Raut terkejut tercetak jelas di wajah Binar. Kenapa Dante tiba-tiba memberikan seseorang di sampingnya? "Pengawal?"Dante tersenyum tipis. "Semacam itu. Dia akan membimbingmu untuk mempelajari duniaku perlahan-lahan."Binar semakin syok saat Dante dengan mudah memberinya akses masuk setelah lama dikurung tanpa bisa melihat atau mendengar dunia luar. "Kau serius?" tanya Binar memastikan. "Tentu saja. Surat ancaman semalam menjelaskan kalau penghianat keparat itu mengincarmu. Aku tak boleh lengah dan membiarkanmu terluka lagi," jel
Binar berdiri diam di ambang pintu kaca, memandangi taman kecil di halaman belakang DAnte yang luas-hasil karyanya sendiri. Lama, Binar tampak merenungkan sesuatu. Ia merapatkan sweaternya saat angin dingin mulai terasa di kulitnya. Dante menutup laptopnya, mendapati Binar hanyut dalam lamunan. Pria mempesona itu bangkit, menggulung kemeja hitamnya hingga siku, memperlihatkan urat-urat menonjol di lengannya yang terkena cahaya lampu. “Sudah malam,” kata Dante akhirnya. Binar menoleh pelan, “Aku suka melihatnya.” Dante sedikit mendengus. Ia bangkit dan mendekati Binar, meligkarkan tangan besarnya di pinggang Binar yang mungil. Menyalurkan hangat tubuhnya pada wanita keras kepala yang sayangnya ia cintai. "Jangan di luar terlalu lama," ucap Dante tepat di lekuk leher Binar dengan suara rendah. “Kau mudah masuk angin.” “Dante ...,” bisik Binar, jari-jarinya menyentuh lengan suaminya. “Kau ... tak marah lagi?” tanyanya ragu. Dante membuang pandangannya sebentar, “Tidak lagi.” Tan
Binar terbangun dan menemukan kalau ia tengah sendirian. Ruangan itu terlalu sunyi, padahal semalam begitu berisik diisi oleh jeritan saat mereka bercumbu. Kasur di sebelahnya dingin, menandakan Dante telah pergi lama. Jemari Binar meraba pelan dan menatap bantal Dante kosong. Binar akhirnya menarik nafas panjang. Tubuhnya masih terasa berat akibat sisa semalam. Dante benar-benar tak menahan diri. Saat Binar menggulingkan badan, ia menemukan secarik kertas yang dilipat rapi tergeletak di atas nakas, beserta muffin dan termos kecil berisi coklat panas. "Ada urusan. Aku akan pulang sebelum senja. —D" Kalimatnya masih terdengar seperti perintah, tapi kali ini ... ada jeda. Ada janji di sana. Senyum Binar terbit begitu saja. Ia tahu betapa keras usaha Dante untuk menahan sisi gelapnya akhir-akhir ini. Bahkan, melihat tulisan "Aku akan pulang" saja membuat dadanya berdebar. Ia menatap ke luar jendela, mendapati sinar matahari yang meninggi. “Pulanglah. Aku di sini ... menunggumu,"