Share

2. Awal Petaka

Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu.

Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu.

“Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun  rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi.

Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya  hanya pihak Almira yang merasakannya.

Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu.

Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar  kebencian.

Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar.

“Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” Matanya melotot ke arah Almira ngeri.

Mendapat perlakukan sedemikian rupa, Almira hanya bisa menahannya. Kalau boleh jujur sebenarnya Almira sudah tidak kuat, tapi mau bagaimana lagi. Suaminya terus-terus menasihatinya agar sabar menerima mamanya.

“Jangan ganggu saya,” ucap nyonya Subagiyo lalu pergi.

***

“Tante, kapan Mas Abdi jadi suami Vivi?” gadis berwajah blasteran ini merajuk pada nyonya Subagiyo.

Mereka memang mengadakan janji untuk keluar makan bersama, biasa nyonya Subagiyo tidak selera kalau harus melihat wajah menantu tak dianggapnya itu.

Kepala nyonya Subagiyo merasakan pusing  saat Vivi, gadis cantik ini mengadu soal hubungan dengan sang putra yang belum ada progres apa pun. Padahal sudah jelas Abdi sudah menikah.

Nyonya Subagiyo menghela napas berat, “Sabar Vi, Tante juga lagi mikir ini. Memangnya Tante tidak sebal apa ngelihat wajah wanita udik itu di rumah.”

Vivi memajukan bibirnya ke depan tanda protes, “Habisin aja Tan, Vivi muak kalau ngelihat Mas Abdi sama dia, Tante kan sudah janji dulu mau nikahin Vivi sama Mas Abdi.”

Dipandangi wajah cantik Vivi di depannya, janji itu tidak akan pernah dilupakan oleh nyonya Subagiyo. Bagaimanapun Vivi adalah aset penting untuk memajukan perusahaannya.

“Kalau Tante ada kesempatan tentu Tante lakukan, Vi. Sabar aja dulu, toh mereka belum mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA. Belum ada yang tahu kalau Abdi sudah nikah, sabar ya.” Dielus lengan polos Vivi.

Dengan sigap Vivi mengibas sehingga tangan nyonya Subagiyo yang sempat tersampir di sana lepas. Vivi memang seperti ini peranginya, selalu menang tanpa memedulikan orang lain.

“Awas aja, Tan. Kalau Tante tidak cepat bertindak jangan salahkan Vivi ngadu sama Opa,” ancamnya tak main-main.

Vivi sudah gerah selalu dijanjikan oleh nyonya Subgaiyo dijadikan mantu dan  hubungannya sampai sekarang tidak ada kemajuan, berita terakhir malah Abdi menikahi wanita lain. Meskipun mereka menikah tanpa payung hukum alias menikah siri.

Tetap saja seorang Vivi seperti dipermainkan, ditambah opa Vivi adalah orang terpengaruh di negeri ini membuatnya sangat mudah  mempersulit hidup orang lain. Termasuk perusahaan keluarga Subagiyo, di mana keluarga Vivi menaruh saham di sana.

Wajah nyonya Subagiyo terlihat mengetat, tidak menyangka jika gadis seperti Vivi bisa mengancam seperti tadi.

“Eh. Tenang sayang, tenang, percayalah Tante akan melakukan terbaik untuk mu, sabar ya....” nyonya Subagiyo terus terusan membuat hati Vivi tidak terbakar emosi.

“Vivi akan tunggu,” ujarnya dengan nada kesal, lalu pergi meninggalkan nyonya Subagiyo sendiri.

Terlahir dari keluarga kaya raya tidak ada yang banyak dilakukan oleh Vivi selain menghabiskan uang keluarganya. Setelah pertemuan dengan nyonya Subagiyo tadi, Vivi memilih berbelanja di sebuah toko terkenal dengan barang mewahnya.

“Vi, kapan lo nikah sama mas Abdi?” teman satunya menyinggung hubungannya. Karena sebelumnya Vivi selalu menyebarkan berita akan menikah dengan pemuda tampan dan mapan itu.

Jadi wajar mereka menagih janjinya, Vivi akan dicap sebagai pembual jika ucapannya tidak terbukti.

Bukannya menjawab Vivi malah memilih-milih barang koleksi di toko itu, sengaja mengabaikan.

“Eh, ada yang melihat Mas Abdi sama cewek. Masa sih, pacarnya.” Satunya menimpali.

“Katanya sih, wajahnya biasa ada yang bilang dia asisten rumah tangganya, iya kan Vi. Bukannya kamu yang paling tahu keluarga mas Abdi.”

Mendadak aktivitas Vivi dihentikan sementara, obrolan teman-temannya ternyata sangat mengganggu. Andai mereka tahu yang dimaksud tadi adalah istri mas Abdi, mungkin Vivi akan malu setengah mati.

Dasar wanita murahan, sudah merebut lelakinya sekarang membuatnya terpojok walaupun tidak ada di sini.

Vivi langsung mengubah mimik mukanya, “Yah, betul dia asistennya, gak mungkin Mas Abdi pacaran sama orang lain, yuk! Ke kasir, udah milih kan, biar aku yang bayarin.”

Kedua teman Vivi mendadak cerah senyumnya, memiliki sahabat kaya seperti Vivi memang ada keuntungan sendiri.

“Makasih, Vi.”

“Thanks ya, Vi.”

Dan Vivi membalasnya dengan anggukkan, cukup mudah membungkam mulut mereka agar tidak membahas masalah hubungannya dengan mas Abdi lagi. Tinggal kasih mereka uang, sudah masalah beres.   

Amarah Vivi belum mereda sejak di dalam toko, teman-temannya sudah mulai mencari tahu kebenarannya. Dan itu sangat gawat, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Yah, mungkin hari ini mereka bisa lupa tapi nantinya. Vivi langsung bergidik membayangkan jika pernikahan Mas Abdi terbongkar.

Masih dalam kabin mobilnya, Vivi menggeleng kuat. Mencoba mengusir gejolak apa pun yang menyangkut masalah hidupnya.

“Enggak, enggak. Aku gak mau ini terjadi,” ujarnya sambil mengemudi. Wajah Vivi benar-benar ketakutan.

Hingga tak sengaja ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya, tidak terlalu dekat tapi Vivi tahu siapa dia.

“Almira,” desisnya nyaris tak percaya dengan penglihatannya.

Sengaja Vivi memperlambatkah laju mobil diam-diam mengikuti dari belakang gadis itu. Masih dengan penasaran yang sangat tinggi Vivi mencoba mengintai, tumben sekali Almira berjalan sendiri di jalan.

Hingga niat jahatnya mendadak muncul setelah ada kesempatan, ditambah perlakukan teman-temannya tadi membuatnya lebih semangat. Ini kesempatannya menyingkirkan Almira dari muka bumi, kapan lagi coba mendapat kesempatan luar biasa ini. Vivi benar-benar tidak berpikir panjang.

Hingga menambah kecepatan laju mobil dalam waktu singkat dan ....

‘Brak!’

Mobil Vivi masih terus melaju dengan kecepatan tinggi tanpa mengidahkan manusia yang baru saja ditabraknya tadi. Gadis ini yakin tadi menabarak Almira, sekilas Vivi menatap kaca depan untuk meyakinkan korbannya terkapar dan sekarat. Setelah mobilnya dilambatkan lajunya.

Sekilas melirik ke kaca sambil mengemudi, akan tetapi bukan Almira yang tergeletak melainkan orang lain.

Tunggu! Siapa tadi?

Vivi benar-benar ketakutan luar biasa, rencananya ternyata gagal tapi siapa yang ditabaraknya tadi. Masih sambil memegangi roda kemudi dengan laju mobilnya yang semakin berkurang.

Gadis ini berharap kemungkinan yang terlintas di benaknya tidak terjadi, lantas manusia siapa yang mau menggantikan nyawa Almira.

Apakah, Abdi?

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status