LOGIN“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Christhoper tampak khawatir dengan keadaan Delia.
“Kepalaku sakit sekali, bolehkah aku ke kamar sekarang dan berbaring?” kata Delia dengan lirih berpura-pura kesakitan. “Tentu saja Sayang. Kita ke kamar sekarang, maaf karena waktumu terganggu akibat wanita bodoh itu,” ucap Christhoper yang kemudian membawa Delia ke dalam gendongannya. Setetes air mata jatuh membasahi pipi Amber mengiringi kepergian kedua orang di hadapannya. Tangannya meremas dadanya yang terasa sakit dan memukulnya pelan, berharap rasa sesak itu menghilang tapi hal itu malah membuat air matanya semakin deras mengalir. Perlahan, Amber berdiri dari tempatnya terjatuh dan menyeret kakinya yang masih berdenyut sakit menuju ke kamar. Baru saja dia ingin berbaring di ranjang, pintu kamar terbuka dengan keras. Christhoper masuk dengan wajah garang dan menakutkan. “Kenapa kamu malah enak-enakan di sini? aku menyuruhmu untuk melayani Delia, bukan malah tiduran di ranjang,” bentak Christhoper. “Kakiku masih sakit, aku belum bisa bergerak dengan bebas.” Amber berusaha menjelaskan kondisi kaki dan tubuhnya setelah apa yang Christhoper lakukan padanya. Christhoper mengerutkan kening dan menyipitkan mata karena tidak tahu apa yang Amber katakan. “Persetan dengan apa yang kamu katakan. BERDIRI ...! siapkan makanan dan obat untuk Delia sekarang juga,” bentak Christhoper. “Aku bukan pembantu Delia. Banyak pelayan yang bisa melayaninya.” Amber bersikukuh dengan sikapnya. “Jadi kamu tidak mau melakukan apa yang aku suruh? Dasar istri pembangkang.” Plaakkk... Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Amber, membuat tubuhnya terhempas di atas ranjang. Tangisnya pecah, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia terkejut ketika tiba-tiba Christhoper mencengkram lengannya lalu menarik tubuhnya dengan paksa. Pria itu menyeret Amber ke dapur dan mendorong tubuh wanita itu ke meja dapur. “Siapkan makanan untuk Delia sekarang juga!” perintah Christhoper sambil berdiri di ujung dapur. Dia mengawasi Amber sambil melipat tangan di depan dada dengan wajah menakutkan. “CEPAT...!” teriak Christhoper yang tak sabar dengan sikap Amber yang keras kepala. Tidak mau mendapat pukulan dan sikap kasar Christhoper, Amber terpaksa menyiapkan makanan dan obat untuk Delia. Dia mengantarkannya ke kamar Delia seperti layaknya seorang pelayan. Christhoper terus mengawasinya dan memastikannya melakukannya dengan baik. “Terima kasih, Amber. Maafkan aku telah merepotkanmu. Papamu membuatku seperti ini, membuatmu menanggung dan bertanggung jawab atas apa yang Papamu lakukan padaku,” ucap Delia dengan wajah melankolis, melakukan playing victim dan memposisikan dirinya sebagai korban. Padahal iblis di dalam dirinya sedang bersorak senang. “Selanjutnya, aku ingin kamu melayani Delia dengan baik. Sekali lagi kamu membuatnya terluka, kamu akan tahu akibatnya,” perintah Christhoper. “Sayang, aku pergi dulu. Ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan,” kata Christhoper kepada Delia. “Baiklah, aku akan menunggumu pulang. Hati-hati di jalan,” ucap Delia yang kemudian mendapatkan kecupan mesra Christhoper di bibirnya. Hal itu membuat hati Amber terasa semakin sakit. Setelah Christhoper pergi, Delia kemudian duduk dengan tegak di ranjang. “Jangan pikir setelah menjadi istrinya, kamu bisa memiliki Christhoper. Christhoper adalah milikku dan selamanya akan tetap menjadi milikku,” kata Delia dengan sinis yang mengagetkan Amber. “Apa maksudmu?” tanya Amber dengan bibir bergetar saat mengucapkannya tanpa suara. “Aku akan melakukan apa pun agar Christhoper menceraikanmu dan menjadi milikku seutuhnya,” kata Delia yang membuat mata Amber menyipit tajam. Amber tidak menyangka jika Delia bisa bersikap seperti itu padanya. Sikap lembut yang selama ini diperlihatkan di depan Christhoper ternyata hanyalah sandiwara semata. Tidak mau menanggapi sikap Delia dan membuat wanita itu semakin merasa senang, dia segera meninggalkan kamar wanita itu. Hari-hari berikutnya, Amber masih melayani Delia dengan baik. Dia berusaha bersabar ketika Delia mulai rewel dan mencari-cari kesalahan. Bahkan ketika wanita itu menumpahkan makanan di bajunya dengan alasan makanan yang dia bawa tidak enak, dia tidak berontak. Dengan sabar dia membersihkan makanan tersebut dan menggantinya dengan yang baru. Hingga puncaknya ketika tiba-tiba Delia berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Christhoper yang melihatnya, berlari menolongnya. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Christhoper. “Perutku merasa mual beberapa hari ini dan kepalaku pusing,” jawab Delia. “Berbaringlah! Aku akan memanggilkan dokter keluarga untukmu,” ucap Christhoper. Tak lama kemudian, dokter itu pun datang dan memeriksa Delia sedangkan Christhoper berdiri di samping ranjang ingin mengetahui apa yang terjadi. “Apakah Delia baik-baik saja, Dok?” tanya Christhoper. Wajah dokter itu tampak berkerut heran dan memeriksanya ulang. “Tampaknya Nona Delia keracunan, tapi untuk memastikannya, saya harus membawa sampel darah dan urine Nona Delia untuk saya uji ke laboratorium untuk memastikannya,” ucap dokter tersebut. “Keracunan? Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Christhoper seakan tidak percaya dengan apa yang dokter itu katakan. “Saya rasa Nona Delia keracunan dari apa yang dia makan,” jawab dokter itu. “Christhoper, bukankah selama ini Amber yang selalu menyiapkan makanan dan obat untukku? Mungkinkah dia tega melakukan ini semua? Dengan memberiku racun dan mencelakaiku seperti Papanya yang mencelakaiku?” tanya Delia menuduh Amber yang meracuninya. “Kita tunggu apa hasil uji laboratorium terlebih dahulu, jangan menyimpulkan sesuatu dengan gegabah,” ujar Christhoper yang dalam hati masih merasa tidak percaya jika Amber tega melakukan hal tersebut. “Saya akan membawa sampelnya dan akan segera menginformasikannya kepada Anda jika hasilnya sudah keluar,” ucap dokter tersebut. “Ya, lakukan yang terbaik dan segera kabari aku jika hasilnya sudah keluar,” kata Christhoper. Setelah dokter mengambil sampel darah dan urine milik Delia, serta memberi wanita itu obat, dokter itu meninggalkan rumah Christhoper. “Bagaimana jika Amber benar-benar meracuniku, Christhoper? Aku takut,” kata Delia dengan suara bergetar untuk menyakinkan jika dirinya ketakutan. “Tenanglah Delia, aku akan selalu menjaga dan melindungimu. Tidak ada seorang pun yang bisa mencelakaimu. Sekarang tidurlah!” kata Christhoper, menenangkan Delia. Malam harinya ketika Delia sedang sendiri di kamar, dia mengambil ponsel dan menelepon seseorang. Panggilan itu pun tersambung dengan cepat. “Halo Dok,” sapa Delia. “Selamat malam Nona Delia,” kata suara di seberang telepon. “Aku sudah mentransfer uangnya ke rekeningmu. Kamu tahu bukan apa yang harus kamu lakukan dengan sampel darah dan urineku?” kata Delia. “Tentu saja Nona, terima kasih,” ucap dokter keluarga yang sebelumnya memeriksa Delia. Seringai jahat terlihat di ujung bibir Delia ketika menutup teleponnya. Dia yakin kali ini bisa membuat Amber diusir dari rumah tersebut. Christhoper membaca hasil pemeriksaan laboratorium Delia yang dokter kirimkan kepadanya, matanya memerah menatap istrinya yang berdiri di depannya. Hasil laboratorium menunjukkan darah Delia mengandung racun dalam jumlah hampir di ambang batas yang bisa diterima oleh tubuh. Sedikit lagi racun itu menumpuk di tubuh, Delia bisa saja kehilangan nyawa. Pria itu langsung mencengkram leher Amber dan berkata, “Kamu mau membunuh Delia?” Pada saat yang sama, tangannya terus mengencang, hampir membuat Amber tidak bisa bernapas. “Kamu pikir kamu siapa hmm ...? Hingga ingin membunuh wanita yang aku cintai,” bentak Christhoper di depan wajah Amber. Amber yang tidak tahu apa-apa sangat terkejut dengan sikap kasar Christhoper. Dia berjuang mati-matian melepaskan diri dari cengkeraman tangan suaminya. Sakit karena tercekik membuatnya menepuk lengan Christhoper berkali-kali, memohon agar pria itu melepaskan cengkeraman. “Kamu sengaja menaruh racun di makanan Delia bukan?” teriak Christhoper. Amber menggelengkan kepala dengan kesulitan, membantah apa yang Christhoper tuduhkan. Pria itu menghentakan tubuhnya dengan kasar ketika melepaskan cengkeramannya hingga wanita itu terdorong dengan kuat ke belakang. “Aku tidak pernah menaruh racun atau apa pun yang bisa membahayakan Delia. Dia pasti berbohong padamu,” bantah Amber mencoba menjelaskan dengan tubuh gemetar hebat. “Aku tidak pernah berbohong pada Christhoper. Bukti dari hasil uji laboratorium ini yang mengatakan jika di dalam darahku mengandung racun. Kamu yang berbohong pada kami semua. Jika bukan kamu, siapa lagi yang bisa menaruh racun di makananku?” sambung Delia merespon bantahan Amber. “Mengaku sekarang juga atau kamu akan mendapatkan hukumanmu!” ancam Christhoper. “Aku benar-benar tidak tahu, bagaimana bisa racun itu ada di dalam darah Delia. Bukan aku yang menaruh racun tersebut.” Amber masih membantah karena memang dia tidak pernah menaruh racun tersebut di makanan atau obat atau apa pun yang dikonsumsi oleh Delia. “Aku mengira kamu adalah wanita polos yang tidak mungkin tega mencelakaiku seperti apa yang Papamu perbuat padaku. Ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” ucap Delia memainkan sandiwara. Bahkan yang sebenarnya, orang tua Amber tidak pernah sedikit pun menyentuh Delia apalagi mencelakai wanita tersebut. “Dengan semua bukti yang ada, apakah kamu masih mau menyangkalnya?” geram Christhoper mengetahui jika Amber tetap tidak mau mengakui kesalahannya. “Percayalah padaku, Christhoper. Aku tidak mungkin mencelakai Delia,” Amber memberikan pembelaan, tapi Christhoper tidak mengerti apa yang dia coba ingin katakan. “Dasar wanita pembohong!!!” umpat Christhoper yang kemudian menarik dan mencengkeram lengan Amber dengan kasar, hingga meninggalkan bekas merah di kulit putihnya. Amber mencoba untuk memberontak, tapi cengkeraman Christhoper sangat kuat sehingga dia tidak bisa melepaskan diri. “Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Amber dengan gerak bibirnya. Namun tentu saja itu hanyalah gerakan bibir tanpa suara dan Christhoper sama sekali tidak mendengar apa yang dia katakan. Pria itu menyeret Amber ke ruang basement rumah. Tempat di mana pelayan menyimpan barang-barang yang sudah tidak dipakai. Tubuh Amber gemetar hebat ketika Christhoper menyeretnya menuruni tangga yang gelap dan sempit. Hal itu membuat dia mengingat kembali trauma yang dia miliki. Mengingat ketika dirinya mengalami penculikan saat masih kecil. Dia disekap di dalam ruang yang gelap dan sempit. Mata Amber menatap nanar pria yang menyeretnya. “Christhoper ini aku, gadis kecil yang bersamamu ketika kita dulu diculik? Tidak ingatkah kamu padaku?” teriak Amber dalam hati yang tidak mungkin di dengar oleh Christhoper. “Dulu kamu berjanji akan melindungiku, apakah kamu telah melupakan janji itu?” teriaknya lagi. Mata Amber mengamati ke mana Christhoper membawanya. Ketika melihat ruangan sempit di ujung basement, dia langsung menghentakkan tangan Christhoper dengan kuat dan berlari menghindari pria itu. Namun dengan sigap, pria itu kembali menangkapnya.Jantung Amber berdetak kencang, rasa cemas menghinggapi dirinya ketika sadar berada di ruangan sempit dengan beberapa orang yang tidak dikenal. Ketegangan terasa ketika lampu meredup dan pandangannya mulai tidak jelas. “Aku tidak boleh panik, aku tidak boleh panik,” rapal Amber dalam hati seperti sedang membaca sebuah mantra. Dia menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, berusaha membuat dirinya merasa lebih tenang, melakukan apa yang diajarkan psikiaternya jika dirinya merasa cemas yang berlebihan dan tampaknya apa yang dia lakukan berhasil. Ketika dokter memeriksa detak jantungnya, keadaannya sudah normal kembali. Seorang perawat memiringkan tubuhnya lalu menyuntikkan sesuatu. Tidak lama kemudian, matanya menjadi berat dan mengantuk. Tak lama kemudian, dia merasa sangat tenang dan tidak mengingat apa pun lagi. “Tuan, Nona Amber sedang menjalani operasi pita suara hari ini. Apakah Anda akan datang ke rumah sakit,” kata seorang pria yang berdiri di depan Christhoper
Tubuh Delia merosot ke lantai ketika sadar jika dirinya tidak mempunyai harapan lagi. Dia menangis terisak di sana dan memutar otak harus pergi ke mana. Tanpa uang atau pun ponsel yang bisa digunakan. Jalan satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah pergi ke rumah Glen. Delia terpaksa berjalan kaki ke rumah Glen, padahal tempat tinggal pria itu cukup jauh dari apartemennya. Hari telah larut malam dan jalanan cukup sepi, bahkan taksi sudah jarang yang lewat. Beberapa kali dia mencoba menghentikan mobil yang lewat tapi tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tumpangan. Dengan keadaan lelah, Delia sampai di depan rumah Glen. Dia menggedor pintu rumah pria itu, tapi tidak ada yang membukanya. Dia berteriak sampai tenggorokannya sakit, tapi tetap saja Glen tidak membukakan pintu. Mencoba mencari jalan lain, dia memutari rumah Glen untuk mengetuk pintu samping rumah tersebut, tapi betapa terkejut dirinya ketika dari kaca jendela kamar Glen, dia melihat Glen sedang bercinta dengan s
“Saya sudah menyelidiki tentang kecelakaan yang Delia alami. Memang benar tidak ada keterkaitan Tuan Jackob, tapi bukti yang saya dapatkan malah membawa saya pada kenyataan jika kecelakaan itu disengaja oleh Delia sendiri,” ujar detektif menjelaskan lebih rinci terkait kecelakaan yang Delia alami. Denyut menyakitkan di dada Christhoper kini merambat ke kepala ketika kejahatan Delia kembali terkuak. Tidak tahan dengan rasa sakit itu, Christhoper mengusir orang suruhannya. “Keluar dari ruanganku sekarang juga dan tinggalkan semua informasi yang telah kamu peroleh di mejaku,” perintah Christhoper. Orang itu mengangguk, lalu menaruh semua dokumen yang dia bawa ke hadapan Christhoper, lalu pergi keluar. Setelah orang suruhannya pergi, Christhoper langsung merosot dari kursi yang didudukinya. Dengan tangan gemetar dia membuka satu persatu laci meja, mencari obat yang akhir-akhir ini dia konsumsi. Jika Christhoper tidak meminum obat itu, dia akan dihantui teriakan minta tolong Amber d
“Amber mengalami pendarahan dan hampir kehilangan nyawa. Malam itu Amber meminta bantuanku. Ketika aku sampai ke rumahmu dan membuka kamarnya, aku terkejut melihat Amber sedang kesakitan dan terduduk di atas kenangan darahnya sendiri di lantai. Keadaannya sangat menyedihkan. Dia harus merangkak ke lantai untuk mengambil ponsel yang kamu buang bersama tasnya. Dia ingin menjerit meminta bantuan, tapi tidak bisa. Bayangkan bagaimana perjuangan Amber meminta bantuan agar dia tetap hidup?” Nafas Aaron seperti banteng yang sedang marah ketika mengatakan semua itu di depan muka Christhoper. “Seandainya saja setelah kamu melakukan kesalahan, kamu bertanggung jawab atas kesalahanmu itu, Amber tidak akan sampai merangkak menahan sakit sendirian. Terlambat sebentar saja, Amber tidak akan selamat. Sampai di rumah sakit dia sudah tidak sadarkan diri dan harus mendapatkan transfusi darah berkantong-kantong. Di mana dirimu saat itu? Bersenang-senang di apartemen Delia. Kalian berdua memang sama-s
Amber sedang sibuk dengan tamannya ketika seorang pelayan membawakan ponsel miliknya yang berdering. “Nona, ada telepon untuk Anda?” ujar pelayan tersebut. Amber mengangguk mendengarnya, lalu pengambil ponsel dari tangan pelayan itu. Bibir Amber tersenyum melihat nama Aaron di layar ponsel. Dia dengan cepat menerima panggilan tersebut dan langsung mendengar suara Aaron yang bisa membuatnya terhibur. “Aku yakin kamu akan mengetuk layarnya satu kali karena kamu dalam keadaan baik-baik saja. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi Tuan Putri dengan pengamanan yang ketat,” kata Aaron. “Ya, aku baik-baik saja dan aku bahagia sekarang,” jawab Amber menggunakan alat bantunya. “Kamu sudah bisa berbicara?!” teriak Aaron terkejut. Amber tersenyum merespon teriakan Aaron, meski tahu jika pria itu tidak bisa melihat dirinya tersenyum. “Masih dalam mimpi, tapi saat ini aku sedang dalam proses pengobatan dan masih harus bolak-balik ke psikiater untuk menyembuhkan traumaku,” jawab Amber. “Lalu su
“Dia memang benar ibu kandungku dan aku telah melihat semua buktinya bahkan bukti DNA kami. Aku datang tidak untuk mengejek Papa,” jawab Amber menggunakan suara dari alat bantu yang dia miliki. “Jika kamu tidak ingin mengejekku, lalu apa tujuanmu ke sini?” tanya Jackob. “Aku hanya ingin tahu hati Papa dan Mama yang sebenarnya padaku saat kalian mengadopsiku. Apakah kalian benar-benar menyayangiku? Terlepas dengan sikap kalian yang kadang menyakiti dan merendahkanku. Aku bisa menganggapnya sebagai kekesalan dan kekecewaan orang tua pada putrinya karena tumbuh tidak seperti yang diharapkan.” Amber meminta penjelasan Papanya. “Aku tidak pernah mengharapkanmu hadir di keluargaku. Mamamu yang memaksa agar kami mengadopsi seorang anak karena dia malu pada teman-teman yang semuanya sudah mempunyai anak tapi kami belum. Awal kami melihatmu di panti asuhan, kamu terlihat begitu menggemaskan. Aku dan Mamamu merawatmu dengan baik dan semua berjalan lancar. Semuanya berubah ketika terjadi pen







