Share

Bab 5

Itu dimulai dengan suara alarm yang membangunkan pagi Rene, hari terakhir di Scotland dan dia sangat antusias untuk kembali pulang ke rumahnya.

Rene melihat kasur Kate yang sudah kosong, itu artinya Kate sudah mulai mencari sarapan.

Pesta yang diselenggarakan di bar itu sangat luar biasa, Rene hampir terbawa suasana untuk ikut mabuk tapi untungnya Orlan mencegahnya.

Mengenai Orlan, kekasihnya itu benar-benar orang yang sangat baik hati. Dirinya tidak segan-segan menasehati bahkan mengantarkan teman-teman mereka pulang kembali ke hotel dengan selamat.

Setelah mereka memastikan semua teman-temannya masuk ke dalam kamar mereka, Orlan mengantar Rene sampai ke kamar Rene. Mencium dahinya dan mengucapkan selamat malam dengan suara beratnya.

Orlan tidak pernah mabuk, hampir tidak pernah mabuk jika itu di dekat Rene. Yang Rene ketahui, Orlan tidak ingin mabuk disampingnya karena Rene pasti akan merasa tidak nyaman.

Ucapan Orlan kembali melintas di pikirannya.

"Menurutmu apakah kita di takdirkan untuk bersama?" Keraguan Orlan terdengar begitu menyedihkan.

Rene menoleh ke arah kekasihnya itu dan untuk sesaat mata hangat Orlan menjadi terlihat dingin.

"Mengapa tiba-tiba bertanya hal itu?" Tangan Rene yang dari tadi terurai di meja berusaha menggapai tangan Orlan.

"Karena aku merasa tidak yakin."

Tangan Orlan mendingin dalam hangatnya tangan Rene, bisa Rene pastikan kekasihnya itu sedang berusaha menyampaikan isi hatinya yang disimpan olehnya hingga saat ini.

"Kau percaya takdir Tuhan?" Rene bertanya lembut sambil mencium tangan Orlan.

"Ya, aku percaya itu."

"Maka percayalah bahwa Tuhan menakdirkan kita untuk bersama." Rene tersenyum lembut meyakinkan kekasihnya, "karena jika Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama, aku tetap akan memilih mu. Kita akan terpisah jika sudah tidak ada lagi cinta diantara kita."

Orlan berusaha percaya atas perkataan Rene, bisa Rene lihat bahwa raut wajah Orlan masih terlihat kaku.

"Hei, ada apa dengan ini semua. Kau bisa mengatakan semua hal yang kau rasakan. Kau tahu itu kan?"

"Aku ketakutan, ada kalanya aku menyadari bahwa kita berdua belum tentu diciptakan untuk menjadi satu kisah cinta. Kau tahu aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa hidup tanpamu dan aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Bagaimana jika aku memang tidak ditakdirkan untukmu? Bagaimana jika pada akhirnya aku hanya menjadi salah satu cerita indah atas perjalanan cintamu? Bagaimana jika...."

Ucapan Orlan terputus oleh ciuman hangat dari Rene. Ciuman itu begitu murni dan hangat.

"Kau terlalu banyak berpikir, bagaimana mungkin Tuhan sekejam itu untuk memisahkan dirimu dan diriku? Ingat kau adalah cinta pertamaku, yang sampai detik ini masih ku yakini sebagai cinta dan tempat pelabuhan terakhir ku. Mungkin memang kisah kita masih panjang dan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku berjanji padamu, bahwa apapun itu... Aku akan tetap bersamamu, menggenggam erat tangan mu dan mengecup kerutan di dahi mu sampai kita menua nantinya. Kau setuju dengan gagasan itu?"

Rene yang masih menempelkan dahi mereka menyunggingkan senyuman paling cerah yang bisa dirasakan oleh Orlan.

"Kau tahu Rene? Aku berharap kata-kata mu dan apa yang kau inginkan menjadi kenyataan. Aku berharap bisa menua dan melihat bagaimana lucunya anak cucu kita nantinya. Kau benar, masa depan masih sangatlah jauh disana... Yang kita butuhkan saat ini bukanlah mengeluh apalagi menerka-nerka, tapi yang harus kita lakukan adalah berjuang untuk mewujudkan masa depan yang kita inginkan."

Orlan mengelus wajah Rene dengan kasih sayang yang teramat sangat menyakitkan.

"Percayalah dengan kata-kata ini karena mungkin suatu saat nanti aku tidak bisa mengucapkannya. Tapi aku berjanji akan terus mengucapkan kata cinta untukmu disetiap hembusan napasku. Aku tidak akan pernah melupakanmu bahkan jika Tuhan tidak mau menyatukan kita berdua."

Rene menutup matanya ketika Orlan mencium dahinya lembut.

Salah satu hal yang paling Rene sukai adalah ciuman dahi yang selalu diberikan oleh Orlan. Ciuman itu hangat dan polos layaknya kisah cinta mereka.

Rene menggeleng kecil karena pikiran mengenai Orlan menghantam ulu hatinya. Orlan tidak pernah memiliki keraguan apapun mengenai hubungan mereka berdua.

Tapi mengapa saat ini justru Orlan yang takut atas mereka? Mengapa Orlan begitu takut tidak ditakdirkan dengan Rene?

Napas Rene memberat begitu menyadari bahwa setelah hari ini mereka berdua akan baik-baik saja, jauh dari Scotland dan hidup dengan jalan mereka yang bahagia di London.

Tidak ada yang bisa memisahkan mereka kan? Rene yakin akan hal itu.

Ya, Tuhan pasti menakdirkan Rene dengan Orlan.

Tapi yang Rene tidak pernah ketahui adalah harapan manusia seringkali tidak pernah sejalan dengan takdir Tuhan.

*****

Sarapan terakhir di hotel itu benar-benar menjadi pengalaman paling menyenangkan dalam perjalanan Rene ke Scotland. Bagaimana tidak? Hampir seluruh teman-temannya tidak ada yang ingin makan di hotel dan lebih memilih untuk cepat-cepat pulang.

Tentunya karena beberapa dari mereka sudah mengalami Hangover akibat dari pesta semalam.

Para guru Rene jelas pusing memikirkan tingkah anak didiknya, Kate bahkan sampai muntah-muntah dan pucat pasi ketika mereka memaksanya untuk sarapan.

Rene agak menahan tawa melihat kekonyolan dari para teman-temannya itu. Berbeda sekali dengan Orlan yang terlihat tertawa lepas dan begitu mengejek Roby yang muncul seperti mayat hidup.

Telepon Rene berdering, nama Shelly ada di dalam deringnya.

"Halo?"

"Halo sayang, bagaimana kabarmu hari nak?" Nada bicara Shelly terdengar ceria.

"Seperti hari biasanya, aku baik."

"Huft, syukurlah. Penerbangannya masih dua jam lagi kan?"

"Ya, masih dua jam lagi sebelum aku resmi pergi dari sini. Kau akan menjemputku kan?" Rene bertanya karena Shelly cenderung melupakan janjinya sendiri.

"Oh tentu saja, setelah dari sekolah aku akan menjemputmu. Apa kau ingin langsung makan malam? Jika iya, aku akan memesan meja untuk kita berdua."

"Wah... Ku pikir kau akan memasak sendiri?" Goda Rene dengan nada mengejek.

"Oh Tuhan, lupakan. Aku akan memasak makan malam, apa kau ingin mengajak Orlan?"

Rene menatap ke arah Orlan yang kini juga ikut menatap kearahnya.

"Apa kau baru saja ingin mengundang Orlan?"

"Tentu, dia adalah kekasihmu."

"Kupikir kau tidak menyukainya."

"Ayolah sayang, aku tidak pernah menanyakan apapun tentangnya bukan berarti aku tidak menyukainya. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang kau pilih dan apa yang kau inginkan mengenai hidupmu. Lagipula Orlan terlihat baik."

Orlan mengangkat alisnya ketika melihat Rene tersenyum padanya.

"Ya, tentu saja dia."

Orlan menghampirinya, menanyakan dengan gestur siapa yang menelepon mu?

"Dengar Shell, aku sangat mencintaimu. Tapi maafkan aku, aku harus menutup telfonnya. Pastikan kau menjemput ku oke. Bye."

Telepon terputus ketika Shelly juga mengucapkan selamat tinggal pada Rene.

"Shelly menelpon."

Orlan mengangguk kecil, "apa itu berkaitan denganku?"

"Ya, sedikit."

"Dan apa itu?"

Rene menggenggam tangannya, "dia memintaku mengundang mu makan malam bersama kami. Aku terkejut karena ku pikir dia tidak menyukaimu."

"Kau pikir dia tidak menyukaiku? Oh gosh sayang, dia bahkan memiliki nomor telepon ku. Kami pernah saling berbincang beberapa kali."

"Kalian pernah melakukannya?"

"Ya."

"Mengapa aku tidak tahu?"

"Kau ingat ketika ada perkemahan musim panas mendadak itu? Kita hampir tidak boleh membawa telepon sama sekali. Dan saat itulah dia meneleponku dan memintaku untuk menjagamu."

Rene menyadari bahwa bibinya begitu menyayanginya.

"Orlan, bisakah kau pergi sejenak? Aku ingin menelpon bibiku."

Orlan ingin bertanya tapi Rene dengan cepat mengatakan bahwa dia ingin mengucapkan terimakasih.

Orlan pergi meninggalkan dirinya dan Rene langsung menelpon Shelly.

Dering pertama langsung tersambung dan saat itulah hal yang tidak pernah Rene katakan terucap dari bibirnya.

"Bibi Shelly, kau tahu aku sangat mencintaimu dan sangat berterimakasih atas semua yang kau lakukan. Maaf belum bisa membahagiakanmu, aku berharap bisa segera memelukmu dan mengatakannya secara langsung."

Shelly mengucapkan kata-kata dengan nada terharu dan itu membuat Rene menyadari betapa dirinya tidak pernah mengatakan hal yang membuat bibinya itu bahagia.

"Terimakasih bibi, aku mencintaimu. Sampai jumpa."

*****

Anthony berdiri di depan gedung pencakar langit itu. Para bawahannya kini sedang menjalankan misi untuk menghabisi salah satu orang yang sudah memporak-porandakan bisnis Anthony di Scotland.

Langkah kaki yang sudah sangat Anthony hapal membuatnya tidak menoleh sama sekali.

"Jadi semuanya sudah siap?" Anthony bertanya kepada kaki tangannya itu.

"Jason sudah pergi ke tempat bisnis kotor pria itu. Cio dan Andrea sudah pergi mengikuti pria itu dan tinggal menunggu eksekusinya saja."

"Bagaimana dengan pesawat milikku?"

"Aku sudah menyiapkan, tinggal menunggu waktu untuk langsung pergi."

"Kau sudah memberitahu semua anggota di sini?"

"Mereka akan tutup mulut Ant." Ucapan Bruno membuat Anthony menghela napas.

"Jangan sampai ada bukti yang tertinggal. Aku tidak ingin uangku habis hanya demi menutupi ketidakbecusan bawahan mu itu."

"Aku mengerti Ant, percaya saja pada mereka. Aku yakin mereka tidak akan membawa mu pada masalah apapun."

Ada jeda hening diantara mereka berdua.

"Scotland agak cerah hari ini, kemungkinan hari baik untuk kita." Lirih Anthony ketika dirinya menatap langit yang cerah itu.

Ada perasaan aneh saat pikirannya tiba-tiba terasuki oleh wajah gadis yang ditabrak olehnya di bandara.

Gadis itu jelas memiliki bola mata yang indah dan anehnya itu sama seperti langit yang di tatap oleh Anthony saat ini.

Sama-sama cerah dan hangat. Dan harus Anthony akui, dia menyukainya.

"Aku benci mengakuinya, tapi kau benar. Sejak awal cinta adalah sebuah parasit yang terus menggerogoti jiwa seseorang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status