Dua orang pria keluar dari rumah itu dan berjalan mendekati mobil Eric. Ketika mereka telah berhadapan, mereka membungkuk sebagai tanda menghormati.
Eric hanya diam saja sampai salah seorang di antara mereka menyerahkan sebuah dokumen padanya. Dia menerima dan membaca isi dokumen tersebut. Senyum tipis di wajahnya mulai tercipta, dia pun mengangguk puas.
"Bagus," ucapnya kemudian mengangkat kepala, melihat mereka. "Besok, kirimkan aku dokumen yang telah disahkan pengadilan," perintahnya.
"Baik, Tuan."
Eric menganggukan kepala, "Kalian boleh pergi."
Setelah kedua orang itu pergi, seorang pria mendekati mobilnya. Memberikan sebuah tab yang siap dibaca oleh Eric.
Eric menscroll tab tersebut seperti sedang membaca sebuah berita, dia menganggukan kepala lagi, merasa puas dengan hasil kerja para bawahannya. "Lihat apa yang terjadi nanti, Anna," Eric bergumam.
Sekretaris tidak terlalu mendengar perkataan Eric, jadi bertanya, "Iya, Tuan?"
Eric tanpa melihatnya berkata sembari mengembalikan tab tersebut, "Bagaimana perkembangan akuisisi grup Gwenevieve?"
"Sudah hampir 60%, Tuan."
Eric menoleh dan menatapnya dengan kesal, "Kita sudah melangkah sejauh ini dan hanya segitu yang bisa kau dapatkan?"
Liam menundukkan kepalanya, "Maaf, saya akan berusaha untuk memaksimalkannya."
Eric berdecak kesal, "Lakukan dengan benar dan cepat!"
"Baik, Tuan." Setelah beberapa saat, Liam kembali melihat Eric, "Tapi, sebenarnya kenapa Anda sangat bersikeras untuk mengakuisisi grup Gwenevieve? Perusahaan itu adalah perusahaan kecil yang tidak sebanding dengan Shailendra grup. Seharusnya—"
Mulut Liam tertutup rapat ketika mendapat kembali tatapan tajam dari Eric. Dia tidak lagi berani menyuarakan pendapatnya mengenai grup Gwenevieve.
"Lakukan saja apa yang sudah aku perintahkan tanpa banyak bertanya!" Setelah mengatakannya, Eric segera pergi dari sana meninggalkan Liam yang menatap keheranan.
Liam sama sekali tidak menduga bahwa Eric sangat menginginkan Gwenevieve grup. Meski perusahaan itu juga termasuk besar, tapi Shailendra sangat jauh di atas perusahaan itu.
Gwenevieve merupakan perusahaan besar yang mungkin sebentar lagi akan gulung tikar. Liam sangat tidak mengerti maksud dari sang tuan. Bahkan ketika tuannya itu memutuskan untuk memberikan bantuan pada perusahaan itu, dia sudah menduga bahwa ada suatu hal yang tidak diketahuinya.
Kemudian ketika perusahaan itu tidak mampu membayarkan hutangnya, dengan mudah Eric memberikan pilihan untuk menikahi putri pemilik Gwenevieve grup sebagai pelunas hutang. Liam sangat tahu bahwa tuannya bukan orang yang akan dengan mudah menikah meski dijodohkan dengan wanita paling cantik dan pintar.
Namun, dengan putri keluarga itu, Eric malah menyodorkan dirinya. Hal aneh semakin terjadi ketika pernikahan yang seharusnya dengan putri pertama malah berlangsung dengan putri kedua, Eric sama sekali tidak memprotesnya.
Liam terdiam dan seketika dia teringat dengan perintah Eric untuk menyebarkan sebuah rumor beberapa hari sebelum pernikahan. Rumor mengenai dia yang cacat dan hanya bisa duduk di kursi roda. Ketika hari pernikahan tiba, pengantin wanita langsung berganti menjadi putri kedua.
Berulang kali dipikirkan tetapi Liam tetap tidak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Dia sudah mengikuti Eric sejak lama dan masih saja tidak paham dengan semua sikap serta pemikiran pria itu.
Setelah berdiam di sana beberapa saat, Liam akhirnya pergi dari sana tanpa sebuah jawaban dan kembali ke perusahaan.
Eric berjalan menuju rumah Anna, ketika sampai di depan pintu, dia mendengar suara ribut-ribut. Salah satu dari suara itu, tentu dia sangat mengenalnya. Ketika kalimat terakhir diucapkan, otomatis membuat wajahnya berubah muram.
Pertengkaran kakak dan adik itu kini telah menjadi bahan tontonan yang tidak menyenangkan oleh Eric dari luar pintu rumah. Namun, dia sama sekali tidak berniat untuk melerai mereka.
Sementara itu, mulut Calista terbuka lebar saking terkejut dengan yang diucapkan Anna. Adiknya ini setelah menikah dengan pria kaya menjadi begitu berani dalam semalam.
"Kau ...!" Calista menunjuk Anna dengan kesal.
Anna menatapnya dengan sangat berani, dia tahu telah menang selangkah dari kakaknya. Setelah apa yang dilakukan oleh Calista dan juga Agatha, Anna bertekad untuk tidak lagi menjadi seorang anak yang selalu menuruti kemauan mereka.
"Semua yang telah kukatakan, adalah benar. Jadi, enyah dari hadapanku sekarang juga!"
Setelah mengatakan hal itu, dia langsung keluar dari rumah meninggalkan Calista yang masih terkejut dengannya.
"Jika kamu keluar, maka saat itu juga kamu bukan lagi menjadi bagian dari keluarga ini!"
Suara Agatha membuat Anna menghentikan langkahnya. Dia terdiam di tempatnya hingga suara langkah kaki perlahan berjalan mendekatinya.
"Dia adalah kakakmu. Tidak sepantasnya kamu berbicara kasar seperti itu padanya," ucap Agatha lagi seperti sedang memperingatkan.
Anna menoleh dan melihat Agatha yang wajahnya sudah merah karena amarah. Ketika dulu dia dan Calista bertengkar, maka akan selalu saja seperti sekarang. Agatha berbicara tentang seorang yang lebih muda harus menghormati yang tua. Sedangkan yang tua bisa bebas sesuka hati melakukan apapun yang diinginkan bahkan jika itu melukai hati orang yang lebih muda.
Jika dia adalah Anna beberapa hari lalu, tentu dia akan berbalik dan meminta maaf pada Calista. Namun, Anna beberapa hari lalu sudah mati dan tidak akan kembali.
Anna menoleh dan menatap balik Agatha dengan tajam, "Jika dia adalah kakakku, bukankah seharusnya dia melindungi ku? Bukan malah bersekongkol dengan Mama dan menjualku pada keluarga kaya!"
Agatha terbelalak, sesaat dia terpaku sebelum akhirnya kesadaran kembali menguasai, dengan marah dia berkata, "Kamu ... berani bersikap kurang ajar padaku?"
Tubuh Anna telah sepenuhnya menghadap Agatha, tatapannya seakan menantang, "Kenapa tidak berani? Kenapa aku harus takut pada orang yang sama sekali tidak melihat kehadiranku?"
Setelah mengatakan itu, Anna langsung pergi dari rumah itu dan mengabaikan Agatha yang berteriak memanggilnya. Dia berjalan menuju mobil hingga tidak menyadari Eric yang sudah berada di belakangnya.
Dia terus berjalan dengan cepat sampai tidak sengaja kedua kakinya tersandung sebuah batu yang membuatnya terjatuh. Belum sempat tubuhnya menyentuh tanah, sepasang lengan langsung menyambut tubuhnya.
Anna menolehkan kepala dan terbelalak ketika ternyata Eric telah menolongnya. Membuat dia tidak jadi merasakan kesakitan. Setelah beberapa saat, keduanya hanya saling memandang. Hingga Anna tersadar dan langsung melepaskan diri dari pelukannya.
"Sejak kapan kamu di sini?" Anna terheran. Pria ini seperti makhluk halus, datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui kehadirannya.
"Seharusnya kamu berterima kasih padaku!"
Sikap Anna yang ketus, seketika membuat emosi Eric kembali tersulut. Baru saja dia ingin kembali menyalurkan emosi, tiba-tiba tenggorokannya tercekat ketika melihat mata Anna yang bengkak dan sembab.
Kesadaran Anna kembali, keningnya berkerut, setelah beberapa saat barulah dia paham maksud pria itu. "Ya, terimakasih karena sudah menolongku."
Eric menganggukkan kepalanya, tentu saja dia tahu penyebab dari tangisannya. Tapi melihat mata wanita itu, hatinya kembali dihinggapi perasaan aneh.
Seketika Anna teringat pertengkarannya dengan Calista. Apakah pria ini tahu percakapan mereka? Apakah dia akan mengadukannya pada tuannya?
Ketika Anna tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Eric b
ersuara, "Apakah sudah selesai?"
BERSAMBUNG~~
Waktu berlalu sejak hari di mana mereka pergi ke taman yang ada di dekat rumah. Berhari-hari setelahnya, Ethan juga terlihat murung karena tidak bisa bermain dengan teman barunya. Anna berpikir bahwa ini hanya masalah anak kecil, waktu yang akan membuatnya lupa. Sekarang kedua anaknya sudah beranjak dewasa. Ethan sudah berusia 30 tahun sementara Lyra tahun ini baru menginjak usia 28 tahun. Anna menikmati kebersamaannya bersama dengan sang suami. Perusahaan pun sudah perlahan-lahan diserahkan pada Ethan. Kini dia dan Eric hanya tinggal menikmati masa tua bersama. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Sebentar lagi suami dan juga anak-anaknya akan kembali setelah selesai bekerja. Anna merapikan meja makan dan tepat pada saat itu dugaannya benar. Tak lama datang Eric dengan Lyra yang menggendong tangannya. Namun, tidak ada Ethan yang mengekori mereka. Hal itu membuat Anna bertanya-tanya, "Sayang, dimana kakakmu?" Lyra memeluk sang ibu kemudian berkata, "Kata
Akhirnya Anna harus merelakan pakaian dalam kesayangannya menjadi korban "keganasan" Eric yang sudah tidak bisa menahan gairahnya. Anna hanya bisa pasrah dan menikmati saja setiap perlakuan yang diberikan oleh suaminya. Anna merasa kehidupannya sudah sangat sempurna, suami yang sangat mencintainya dan juga anak-anak yang cantik dan tampan. Sudah lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya setelah bertahun-tahun hidup dalam kesedihan. Tahun demi tahun dilalui keluarga kecil itu dengan penuh semangat kebahagiaan. Kerikil tetap saja akan hadir tetapi jika Eric terus menggenggam kedua tangannya, maka semua akan menjadi baik-baik saja. Kini Anna dan Eric bersiap-siap untuk mengajak Lyra dan Ethan bermain ke taman. Mereka berdua dengan penuh semangat dan kebahagiaan mempersiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk hari yang menyenangkan bersama keluarga kecil mereka.Lyra yang ceria dan Ethan yang penuh energi dengan riangnya melompat-lompat karena hendak diajak pergi ke taman. Mer
Eric merasa sangat malu karena sudah tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak senonoh oleh istrinya. Padahal dia berusaha untuk menjaga kerahasiaan dirinya sendiri tetapi tidak disangka malah Anna tiba-tiba datang kembali setelah dia menyuruhnya untuk pergi beristirahat. Saat ini Eric sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk dan jemari yang saling bertaut. Dia seperti seorang penjahat yang sudah kedapatan tertangkap warga saat sedang melakukan aksinya. "Anna, aku ...." Eric tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk diberikan pada istrinya. Anna menggelengkan kepala, menatap Eric dengan tidak percaya. Dalam hati sedikit merasa bersalah karena dialah yang menjadi penyebab Eric melakukannya. Seandainya saja dia tidak ketakutan, mungkin hal seperti tadi tidak akan pernah terjadi. Anna menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berjalan mendekati suaminya kemudian duduk di sebelahnya. "Sayang, maaf, aku tidak bermaksud—""Maafkan aku." Eric meng
Eric memicingkan kedua matanya, kali ini dia balik menatap Anna dengan kesal. Berani sekali istrinya ini berbohong dengan mengatakan bahwa dia belum selesai. Membuat Eric merasa uring-uringan selama seharian ini. Sementara Anna, dia tahu marabahaya akan segera datang. Dia segera bersiap, mendorong tubuh Eric, hendak bangun dan pergi meninggalkannya. Namun, gerakan Anna tidak kalah cepat dengan gerakan Eric. Prianitu segera menangkap pergelangan tangannya, membuat Anna tidak bisa pergi menjauhinya. "Kamu mau kemana?" Eric berkata dengan tatapan mengintimidasi. Anna yang melihat itu, seketika dia sadar bahwa riwayatnya akan segera tamat. Eric pasti tidak akan membiarkannya. "Eric, aku ...." Anna tidak bisa lagi berkata-kata. Dalam hati dia merasa harus mengubah strateginya. Jika ditolak, tentu Eric akan kecewa. Sementara jika diladenipun, Anna takut sebab dia masih merasa ngilu melakukannya. Anna berdeham, dia melingkarkan kedua tangannya di leher Eric kemudian memberikan kecupan-
"Mana ada! Bahkan aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal seperti itu di belakang!" Eric membela diri.Anna memicingkan kedua matanya, menatap Eric dengan perasaan curiga. Perlahan dia berjalan mendekati suaminya kemudian melirik ke arah layar laptop yang terbuka. Di sana hanya ada lembar kerja lengkap dengan catatan di sana. Anna membuka seluruh isi di dalamnya dan tidak menemukan hal-hal mencurigakan. Anna menolehkan kepala dan tatapannya langsung bertemu dengan Eric. Kedua tangan pria itu bersedekap di depan dada, melihat sang istri yang menatap yang tidak percaya. "Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukan hal-hal yang kamu cari?" Eric bertanya dengan penuh keberanian. Sementara Anna, dia hanya diam sembari terus memperhatikan ekspresi wajah suaminya. Tetapi dia hanya mencintai kebenaran di sana. Eric sama sekali tidak berbohong tentang dia yang memiliki pekerjaan. "Kalau gitu, sekarang tidur bersama denganku! Kamu sudah berjanji tidak akan menyentuh pekerjaan selama dua b
Sepanjang hari itu, Eric merasa sangat kesal dengan keadaan. Padahal dia yakin bahwa hari ini istrinya sudah siap. Dia sudah menghitung tanggal dan sekarang adalah hari yang tepat. "Bukankah sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa belum juga bisa? Apakah aku salah menghitung?" Eric bermonolog. "Kenapa, Eric?" Edmund bertanya, saat ini dia sedang mengajak Ethan bermain di halaman belakang tetapi tiba-tiba mendengar putranya berbicara. Hanya saja dia tidak terlalu mendengarkan, sehingga tidak tahu kalimat yang diucapkan oleh Eric. Eric menolehkan kepala dan dalam hati merasa malu sebab dia tidak menyadari bahwa telah menyuarakan isi kepalanya. "Tidak ada," Eric menggelengkan kepala. Edmund tidak bertanya lagi, dia memilih untuk kembali fokus pada Ethan hingga tiba-tiba Eric memanggilnya. "Kenapa?" Edmund bertanya. Eric terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Pa, apakah wanita memang membutuhkan waktu yang lama setelah melahirkan?" Mendengar pertanyaan putranya, seketi