Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.
Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.
Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.
Kosong.
Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.
Elang membatu sejenak. Lalu...
BRAK!
Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.
“Brengsek!!”
Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat meneleponnya beberapa waktu yang lalu.
“Ada kasus pembunuhan. Sidik jarimu ditemukan di alat bukti. Pistol dengan inisial ‘E’. Lebih jelasnya aku akan ke rumah sekarang.”
Dunia Elang mendadak sempit. Segalanya masuk akal sekarang. Pistol itu bukan hilang, tapi dicuri. Dan bukan dicuri untuk dijual. Melainkan untuk menjebaknya.
Untuk menjatuhkan Elang Ganendra.
Darahnya mendidih.
Di ambang pintu, muncul sosok Pram. Pria muda yang setia dan kerap menjadi bayangan Elang. Ia berdiri di ambang, enggan masuk tanpa aba-aba.
“Elang,” napasnya terdengar tergesa, “Bagaimana?”
Elang membalik tubuhnya dengan cepat. Sorot matanya tajam, nyaris membunuh. Dengan suara yang teredam amarahnya, ia berkata, “Pistolnya tidak ada. Ada yang berani mencuri milikku... dan menjebakku.”
Pram menegang. Tak ada hal yang lebih berbahaya dari Elang yang kehilangan kendali. Tapi pria itu tak menggila secara brutal. Tidak. Elang diam, tapi ledakan besar sedang ditahan di dadanya.
“Yang nyentuh pistol itu cuma aku.” Elang berkata pelan, nyaris seperti gumaman, tapi suaranya dalam dan bergetar karena amarah.
Pram menunduk. “Saya akan menyelidiki semua orang di rumah ini. Semua CCTV, semua akses... saya cek satu per satu.”
Elang melirik tajam. Ia mengangguk singkat, lalu menarik napas panjang.
“Nanti saja. Kita sambut Kompol Rahardian dulu.”
Nada suaranya berubah. Dingin. Terukur.
Elang kembali menjadi raja dingin dunia bawah tanah Jayapuri. Tapi di dalam dirinya, badai sudah mulai menggulung.
Elang melangkah menuruni anak tangga utama kediamannya dengan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru kehilangan senjata paling personal miliknya. Di ruang tamu, Kompol Rahardian duduk santai, kaki disilangkan, jas polisi dibiarkan terbuka memperlihatkan pistol dinas di pinggangnya.
Wajahnya serius, tapi matanya selalu membawa senyum licik yang membuat siapa pun ingin menghantamnya.
“Elang,” sapa Rahardian tanpa berdiri. “Lama juga aku tak disuguhi kopi mahal di tempatmu.”
Elang tak mau menanggapi basa-basi Rahardian. “Apa yang mau kau sampakan padaku?” tanya Elang datar sambil duduk di hadapannya.
Rahardian menyeringai. “Berarti aku harus langsung ke intinya saja.”
Elang menatap tanpa berkedip.
“Ada penembakan dini hari tadi. Di belakang warung tua dekat SPBU Jalan Sumur Batu. Korbannya mati di tempat. Dada dan lehernya tertembak.”
Elang tidak bereaksi. Ia hanya diam, menunggu potongan berikutnya.
Rahardian membuka map, meletakkan satu foto buram hasil tangkapan TKP. “Yang menarik, pelurunya cocok dengan senjata berkaliber 9mm. Tapi yang membuat semakin menarik...”
Ia mengeluarkan plastik bening berisi kertas bukti forensik.
“Sidik jarimu ditemukan di pistol itu. Tidak ada sidik jari lain.”
Elang akhirnya mengangkat alis. “Aku tidak membunuh siapa pun.”
“Masalahnya bukan siapa yang membunuh. Tapi siapa yang disangka membunuh.”
Rahardian tersenyum miring. “Dan sayangnya, dunia tidak punya waktu membedakan dua hal itu.”Elang tidak bicara. Tapi Pram yang berdiri di sudut ruangan tampak mulai panik. Ia baru akan bicara saat Elang mengangkat tangan menghentikannya.
“Pistol itu milikku. Dicuri.”
Suara Elang datar, tapi rahangnya mengeras. “Sidik jariku memang di sana. Tapi aku tidak ada di TKP.”
Rahardian mencondongkan tubuh. Suaranya menurun, kini terasa lebih konspiratif.
“Aku tahu, Lang. Makanya aku ke sini. Aku bisa bersihkan ini semua. Tidak ada laporan, tidak ada bukti, tidak ada kasus.”
Elang menatapnya. “Kompensasinya apa?”
Rahardian diam sesaat. Kemudian menyebutkan pelan, nyaris seperti menawar di pasar gelap. “Kamu ikut dalam proyek reklamasi, kan? Libatkan aku. Kita cuci dana bersama, kamu dapat saluran kekuasaan.”
Elang menyipitkan mata. “Apa kamu pantas masuk ke dalam proyek itu?”
Rahardian mengangkat bahu. “Semua saling butuh. Kau bersih, aku aman, dan proyek kita berjalan.”
Sebelum Elang bisa membalas, Rahardian melemparkan satu kalimat terakhir—peluru yang sebenarnya. “Dan, oh... korban penembakan itu—namanya Arman Wijaya.”
Detik itu juga, Elang membeku.
“Anak pertama Darmadi Wijaya.”
Elang perlahan duduk kembali, tangannya mengepal di atas lutut.
Tegang. Mata penuh badai.
Darmadi. Rival lamanya. Musuh tua yang bermain rapi. Dan kini... seseorang mencuri pistol Elang, membunuh anak Darmadi, dan meninggalkan jejak seolah-olah Elang yang melakukannya.
“Ini bukan jebakan biasa,” gumam Elang pelan. “Ini... desain perang.”
Setelah Rahardian pergi—membawa serta map dan janji yang penuh jebakan—Pram kembali dengan wajah penuh tekanan. Ia berdiri di ambang pintu ruang kerja Elang, ragu untuk bicara.
“Masuk,” kata Elang datar.
Pram melangkah masuk, tangan memegang tablet. “Semua rekaman CCTV sudah dicek. Tidak ada aktivitas mencurigakan dari orang kita atau ART. Tapi...”
Ia menahan napas sejenak, seperti enggan menyampaikan bagian selanjutnya.
“...lantai atas, termasuk kamar pribadi, tidak terekam. Karena memang tidak ada kamera di pasang di sana. Perintahmu sendiri.”
Elang memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras.
Tentu saja.
Privasi adalah mutlak baginya. Tidak ada mata yang boleh masuk ke ranah pribadinya. Tapi kini, keputusan itu menjadi celah. Celah yang dimanfaatkan seseorang... yang cukup dekat untuk masuk ke kamar.
“Yang masuk ke kamar selama seminggu terakhir?” tanya Elang dingin.
Pram menggulirkan data. “Cuma dua. ART buat bersih-bersih—dan... Salira.”
Nama itu menggantung di udara.
Elang terdiam.
Perlahan ia bangkit, melangkah ke jendela. Pemandangan Jayapuri membentang di luar, tapi yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya—dan bayangan seorang perempuan yang akhir-akhir ini menghantuinya.
Salira.
Malam itu...
Shower berembun. Tubuh Salira bersandar di kaca.
Tarikan napasnya. Jemari yang mencengkeram lehernya dengan pasrah dan menantang.
Tatapan matanya... yang sempat membuai Elang.
Apa semua itu hanya sandiwara?
Ia mengepalkan tinjunya.
“Saya curiga dia yang ambil pistolnya,” kata Pram hati-hati. “Dia satu-satunya yang punya akses tanpa pengawasan.”
Elang tidak menjawab. Sorot matanya kosong menembus jendela. Tapi di balik ketenangan itu, badai mulai tumbuh.
Dia datang bukan cuma untuk tubuhku. Dia datang membawa perang.
Kini, potongan-potongan puzzle mulai menyatu di kepalanya. Pistol yang hilang, pembunuhan Arman, sidik jari di senjata, dan Salira... yang datang terlalu mudah, dengan waktu yang terlalu aneh jika dianggap kebetulan semata.
“Temukan dia.” Suara Elang pelan, tapi tegas. “Sebelum Darmadi yang lebih dulu tahu.”
Pram mengangguk.
“Sebar semua orang. Pakai semua mata. Jalan, bandar, pelabuhan, klub, lapas. Aku mau dia ditemukan.”
“Oke.”
Pram bergegas keluar.
Elang menatap jendela sekali lagi. Kali ini, bukan bayangan Salira yang ia lihat, melainkan dirinya sendiri. Elang Sadar, ia terlalu meremehkan Salira. Padahal berkali-kali instingnya mengatakan, kalau Salira bukan wanita biasa.
Tapi Elang tak pernah menyangka, perempuan itu bisa bermain serapi ini. Salira mencuri miliknya, dan menyeretnya ke dalam kasus pembunuhan. Polisi pasti akan memburunya untuk ditangkap. Tapi Elang memburu Salira, untuk dihancurkan. []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson