Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.
Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.
Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.
Ia berbeda.
Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.
Ke ranjangnya.
Ke mansion-nya.
Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.
Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.
Apa yang terjadi padaku?
Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.
Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.
Pertemuan jam 10. Orang kementerian sudah tiba.
Elang membawa dirinya ke kamar mandi, sesaat kemudian ia keluar, dan mengambil jas gelapnya dari dalam lemari. Tak ada waktu untuk mengenang Salira. Ia harus kembali jadi bayangan yang disegani, ditakuti, dan dibayar mahal.
Begitu rapi, Elang turun ke bawah. Lalu langsung pergi.
Ia menyetir sendiri pagi itu. Langka, bahkan Gani menatapnya dua kali.
“Mobil siap. Mau saya yang bawa?”
“Tidak,” sahut Elang datar. “Aku pergi sendiri.”
Ia melaju menembus kabut tipis Jayapuri pagi hari, menuju pertemuan yang bisa menentukan wajah kota ini selama lima tahun ke depan. Tapi di antara gemuruh mesin dan detak jam, satu nama terus berdentang di kepalanya.
Salira.
Dan itu membuat Elang marah.
Bukan pada Salira. Tapi pada dirinya sendiri. Karena untuk pertama kalinya sejak jadi monster dalam sistem, ia merasa... terganggu.
Elang sampai ke tempat tujuannya. Mendekat ke sebuah Vila.
Vila itu tersembunyi di balik perkebunan teh yang luas, di lereng selatan Jayapuri. Kabut masih menggantung rendah, seolah alam pun tahu bahwa yang terjadi di dalam tempat ini bukan urusan orang biasa.
Empat mobil hitam parkir berjajar. Semua berpelat diplomatik atau milik perusahaan besar.
Elang datang terakhir. Dengan tenang. Dengan postur seorang pria yang tak pernah menunduk—meski di depan pejabat negara.
Di dalam, meja bundar kayu jati sudah disusun.
Di sekelilingnya duduk tokoh-tokoh penting. Dirjen Politik dan Keamanan Dalam Negeri, Rahman Zuardi, pria paruh baya tenang dengan senyum ular.
Putu Wiraatmaja, anggota DPR sekaligus pengendali dana partai mayoritas. Serta Taufan dan Fikri, dua pengusaha yang merupakan kaki tangan Elang, yang selama ini jadi wajah depan pencucian uang Elang. Dan satu kursi kosong, yang kini diisi Elang.
“Kukira kau tidak jadi datang,” ujar Putu, meneguk espresso.
Elang hanya melempar senyum tipis. “Aku tidak pernah absen untuk urusan penting.”
Rahman menyilangkan tangan. “Langsung saja, Elang. Proyek reklamasi di pantai selatan akan dibuka tahun ini. Empat triliun dana masuk. Kami butuh ‘pihak lokal’ untuk menyerapnya.”
Pihak lokal adalah kode untuk perusahaan fiktif yang digunakan untuk mencuci uang.
Taufan menyerahkan proposal. Fikri melirik Elang, menunggu anggukannya. Elang membuka map, membaca cepat, lalu menutupnya.
“Ini bisa dicuci bersih. Tapi saya butuh kompensasi lebih,” katanya pelan.
Putu menyeringai. “Kursi wakil wali kota?”
Elang mendongak. “Aku tidak butuh kursi. Aku butuh orangku duduk di sana.”
Rahman menyela, “Kita sedang bicara soal wajah publik, Elang. Jangan terlalu agresif.”
Elang menatapnya datar. “Kalau Anda bicara soal wajah publik, saya bisa tentukan mana yang hidup, mana yang mati. Jadi jangan bicara agresif pada saya, Pak Dirjen.”
Hening. Tegang.
Lalu Putu tertawa. “Tenang... tenang. Semua bisa dinegosiasi. Kau akan dapat apa yang kau mau, Elang.”
Elang menang lagi.
Tapi saat yang lain sibuk membahas teknis dana, jalur distribusi, dan surat perintah kerja, Elang justru menarik napas dalam. Sorot matanya kehilangan fokus, menatap jendela kaca yang mulai mengembun dari perbedaan suhu ruangan dan udara dingin luar.
Kabut di jendela memantulkan bayangan samar... dan entah kenapa, bukan bayangan dirinya yang ia lihat.
Di balik kaca shower berembun, malam itu...
Kedua telapak tangan Salira menempel di kaca. Napasnya membentuk uap kecil. Tubuhnya terhempas ke belakang, tersudut antara dinding dan bahu Elang. Ia bukan menolak, tapi menantang. Dan Elang—ia tidak sedang menaklukkan. Ia sedang... terbakar.
Malam itu bukan sekadar gairah.
Malam itu ada sesuatu yang tidak bisa ia namai.
Mata Salira menatap balik ke arahnya, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin ia bagikan.
Dan itu membuat Elang gila.
Ia menutup matanya sejenak, mencoba mengusir bayangan itu.
Tapi tidak bisa.
Salira terlalu lekat. Terlalu nyata.
Ia masih bisa mencium wangi rambutnya yang lembab. Masih bisa mendengar tawa kecilnya ketika Elang menarik handuk dari bahunya.
“Elang?”
Sebuah suara dari meja membuyarkan lamunannya.
Putu menatapnya curiga.
Elang membuka mata, kedinginan dalam pikirannya sendiri. “Lanjutkan saja,” katanya pelan.
Ia menarik diri kembali ke kenyataan—ke dunia lelaki yang tak boleh lemah.
Tapi di balik jas mahal dan mata tajam itu, ia menyadari satu hal.
Salira telah masuk terlalu dalam.
Dan itu adalah kelemahan paling berbahaya. Karena bisa saja ia jadi musuh yang memikat bagi Elang.
*
Langit Jayapuri sore itu mendung.
Kabut tipis turun pelan, menyelubungi jalanan kota seperti rahasia yang belum terbongkar.
Di antara deretan angkot tua yang mengepul di terminal kecil pinggiran kota perbatasan Jayapuri dan Tanah Serut, satu perempuan naik diam-diam. Topi kain lusuh menutupi rambutnya yang disembunyikan rapi. Masker kain menutupi setengah wajahnya. Tak ada yang menoleh dua kali. Dia tampak seperti siapa saja.
Tapi sebenarnya dia adalah Salira.
Dan hari ini, ia akan menggerakkan bidak pertamanya.
Salira duduk di pojok belakang angkot, memeluk ranselnya erat. Suaranya bergetar pelan saat angkot mulai melaju, melewati jalanan sempit dan basah.
Di dalam ransel itu, tersembunyi sebuah senjata.
Bukan pistol biasa.
Senjata itu punya ukiran khas di gagangnya—huruf ‘E’ berlapis baja hitam. Pistol yang hanya dimiliki oleh satu pemilik.
Elang Ganendra.
Kini, pistol itu ada di tangan Salira. Tagannya sempat gemetar saat menyentuhnya tadi pagi. Tapi sekarang... jari-jarinya membeku seperti besi. Ia tau apa yang harus dilakukan.
Di ponselnya, pesan terakhir masih terbuka.
Temui aku di belakang warung tua sebelah SPBU Jalan Sumur Batu. Jam 11 malam ini. Sendiri. — AW.
Pria itu bukan target utama. Tapi umpan.
Seseorang yang cukup busuk untuk pantas dimatikan. Dan cukup penting untuk memancing perhatian Elang.
Karena Salira ingin Elang tahu sesuatu, bahwa permainan belum selesai.
Ia menunduk, menatap bayangan wajahnya sendiri di jendela kaca angkot yang buram. Sekilas, ia melihat sosok kecil dalam dirinya—gadis dua belas tahun yang menangis di pemakaman ayahnya.
“Tenang,” bisik Salira dalam hati. “Hari ini... kita mulai membalas. Musuh-musuh kita akan mati.” []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson