Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.
Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.
Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.
Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.
Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya kosong, namun dalam benaknya, ia ingin mengunjungi sebuah tempat di mana semuanya bermula.
Salira melambaikan tangan, menghentikan taksi pertama yang lewat. Sepanjang perjalanan, ia menatap keluar jendela, menyaksikan kota yang seolah tak berubah sejak hari itu—hari ketika ayahnya dikubur di tanah asing, tanpa keadilan, tanpa kebenaran yang ditegakkan. Gedung-gedung, jalanan, pejalan kaki... semua bergerak, hidup, dan tertawa. Sementara hatinya tertinggal di satu liang lahat yang basah oleh hujan dan air mata.
Setibanya di gerbang pemakaman, angin menyambutnya dengan dingin yang menggigit. Langkahnya mantap menyusuri jalan setapak berbatu, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah nisan yang tertutup lumut tipis. Ia berjongkok pelan, menyapu debu dan daun kering dari batu itu, lalu menatap tulisan yang tak pernah berubah.
Said Jayadi.
Hatinya terasa berat, seperti ada bara yang berkobar dalam diam. Angin berdesir pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang tak kunjung usai.
Matanya memanas, tapi ia tak menangis. Ia sudah terlalu akrab dengan kehilangan. Yang tersisa kini hanya amarah yang ditata rapi menjadi keteguhan.
“Aku datang, Yah,” bisiknya lirih. “Dan aku belum lupa akan janjiku.”
Pikirannya melayang jauh. Kembali ke beberapa tahun lalu. Tepat di tempat yang sama, ia mengepalkan tangan dengan mata yang basah namun penuh nyala. Suaranya gemetar, tapi tegas.
“Aku bersumpah akan mengadili pembunuh ayah dengan tanganku sendiri, jika hukum tidak berpihak pada keluarga kita.”
Itu bukan sekadar janji, tapi sumpah yang ditulis di hatinya dengan luka dan darah. Sejak saat itu, ia hidup dalam bayang-bayang tekad dan dendam, mengejar keadilan yang mungkin takkan pernah datang lewat jalur biasa. Setiap langkah yang ia ambil sejak hari itu adalah untuk menepati sumpah yang terucap di hadapan nisan ini.
*
Sesaat sebelum malam panas...
Di dalam apartemen murah yang ia sewa harian. Salira memegang sebuah foto lama. Wajah Elang Ganendra dari arsip berita kriminal tujuh tahun lalu. Di belakang foto itu ia tulis dengan sepidol merah.
PEMBUNUH AYAHKU.
Ia menarik napas panjang. Tangan kirinya sedikit gemetar saat mengoleskan eyeliner. Bukan karena gugup. Tapi karena malam ini, dia akan melakukan langkah pertama dari rencana yang sudah ia simpan bertahun-tahun.
Dua bulan lalu, Salira mendapatkan akses ke salah satu jalur pencucian uang milik Elang. Lewat seorang rekan hacker di darknet, ia membobol jaringan kecil yang mengarahkan pada klub malam eksklusif: VALISSE.
Klub yang tak bisa dimasuki sembarangan orang. Klub tempat Elang memilih “permainannya”.
Salira tak butuh koneksi. Ia hanya butuh satu malam tampil sebagai umpan.
Ia memesan gaun hitam ketat—model slit tinggi, terbuka di punggung, dengan permata kecil di dada. Bukan terlalu seksi, tapi cukup untuk membuat mata pria manapun berhenti berpikir logis. Termasuk (semoga) seorang bos mafia yang sudah terlalu kenyang melihat wanita.
“Dandanlah seperti pelacur, fokus pada tujuanmu... menghancurkan Elang,” gumamnya pada diri sendiri sambil menyemprotkan parfum terakhir.
Malam itu, VALISSE gemerlap.
Musik mengalun pelan—bukan dentuman liar, tapi elegan dan mahal. Di klub elit seperti ini, percakapan lebih penting daripada tarian. Rahasia dibisikkan, bukan diteriakkan.
Elang duduk di lounge paling ujung, setengah tenggelam dalam bayangan. Dua anak buah mengapitnya, berdiri kaku seperti patung. Di pangkuannya, seorang perempuan pirang tertawa berlebihan, tanda bahwa ia ingin diperhatikan.
Salira mengabaikan mereka semua.
Fokusnya hanya satu. Pria bermata tajam itu. Elang. Targetnya.
Ia menghampiri meja bar. Duduk anggun, tenang, tapi setiap geraknya terukur.
“Brandy tua, single pour,” katanya pada bartender, menyebut minuman yang sama yang berada di genggaman Elang.Dua tegukan. Elang melirik.
Satu senyum tipis. Elang mengangkat alis.
Salira berdiri, mendekat. Langkahnya ringan, matanya lembut, senyumnya dibuat-buat dengan sempurna. Pura-pura gugup, tapi percaya diri.
“Selera yang bagus,” katanya sambil mengangkat gelas setinggi dagu.
Elang menatapnya lama. Sunyi. Lalu, tanpa menoleh, ia menyuruh anak buah dan si pirang pergi. Mereka patuh, tanpa ada pertanyaan.
Sinyal diterima.
Malam itu, Salira memainkan peran terbaik dalam hidupnya.
Ia tertawa di waktu yang tepat. Ia menjawab pertanyaan Elang dengan jujur... kecuali masa lalunya. Ia menyentuh lengan Elang secara tak langsung. Ia bahkan membiarkan Elang melihat sisi lemahnya—samar, sedikit, tapi cukup untuk memicu naluri pelindung pria itu.
Dan saat Elang mengundangnya naik ke mobil, Salira pura-pura ragu sebelum akhirnya setuju. Bukan karena ia tergoda. Tapi karena itu bagian dari skenario.
Malam itu harus terjadi.
Pistol itu harus diambil.
Dan perang akan dimulai.
Tapi ada satu hal kecil yang tak ia prediksi. Satu celah dalam pertahanan dirinya yang keras. Satu momen rapuh yang menyusup diam-diam di tengah malam yang seharusnya menjadi bagian dari skenario.
Kenapa, ketika Elang menatap matanya saat mereka menyatu, Salira merasa... dilihat?
Bukan sebagai alat. Bukan sebagai wanita cantik yang menyamar. Tapi sebagai manusia. Sebagai dirinya sendiri.
Itu membuatnya takut. Karena rasa itu begitu asing. Dan itu bisa jadi ancaman bagi tekad yang ia genggam dengan seluruh jiwanya.
Ia menutup pikirannya rapat-rapat. Ia bukan pecinta. Ia bukan wanita Elang. Dia adalah bayangan masa lalu yang datang untuk meruntuhkan segalanya.
*
Salira masih berdiri di hadapan makam sang ayah. Nisan itu tak bicara, tapi diamnya menuduh. Ia menatap nisan itu sekali lagi. Dalam dan lama. Seolah mencari kembali kepingan dirinya yang nyaris goyah.
“Fokus, Salira.” Ia membisikkan kata itu untuk dirinya sendiri.
Fokus pada dendam.
Bukan pada kehangatan Elang. Tapi pada Elang yang dingin, kejam, dan maut.
Karena pria itu—pria dengan tatapan tajam dan senyum iblis—adalah yang membunuh ayahnya tanpa belas kasihan.
Karena Elang-lah yang menghancurkan ibunya, perlahan, hingga wanita itu menyerah pada sepi dan memilih mati.
Karena Elang-lah yang merenggut segalanya dari Salira—masa kecil, keluarga, dan masa depannya.
Kini, Salira tak punya apa-apa lagi.
Kecuali dendam yang membara.
Dengan tangan tenang, ia mengeluarkan pistol Elang yang ia curi. Ia menatapnya.
Mata Salira memantulkan pantulan senjata itu.
Dingin. Fokus. Penuh tujuan.
Darah, harus dibayar dengan darah.
Dan Salira akan memastikan, saat waktu itu tiba, pelurunya tidak meleset. Satu orang harus mati, dan satu orang harus hancur pelan-pelan. []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson