Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Terakhir Diperbarui : 2025-06-04 Baca selengkapnya